Selasa, 24 Juli 2012

Mengompromikan Hisab dan Rukyat

Mengompromikan Hisab dan Rukyat
Agus Mustofa ; Penulis Buku Serial Tasawuf Modern 
JAWA POS, 24 Juli 2012


AGAR tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan kali ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat untuk umat, saya ingin memberikan usul yang bersifat kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa penetapan "awal bulan" Ramadan dan "awal puasa" Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?

Sesungguhnya, yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara "awal bulan" dan "awal puasa". Awal bulan adalah permulaan "bulan baru" yang ditandai oleh ijtima' alias posisi segaris antara bulan-matahari-bumi. Itu sebenarnya murni wilayah astronomi alias ilmu falak. Di mana kedua belah pihak yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan, sudah sama-sama pintarnya.

Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: Bulan Syakban berakhir pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Sebab, kesimpulan itu memang dibuat berdasar pada fakta posisi bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong? Dan kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Itulah universalnya sains, dalam hal ini astronomi. Dilihat oleh siapa pun dan dihitung oleh siapa pun, hasilnya kurang lebih sama. Bahkan jika yang melihat bulan itu seorang nonmuslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, bahkan detik, disebabkan oleh metode penghitungan saja.

Perbedaan baru muncul ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jumat (20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya, itu sudah bukan wilayah astronomi lagi, melainkan masuk wilayah fikih. Wilayah astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah fikih bersifat lentur sesuai dengan kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta astronomi yang eksak dan fikih yang lentur itu jangan dicampuradukkan. Sebab, hasilnya akan sangat membingungkan.

Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. "Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012."

Secara fakta astronomi, kesimpulan semacam itu tidak memperoleh pijakan. Sebab, Syakban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriah dan Ramadan adalah bulan kesembilan. Mestinya, tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada Kamis, tapi awal Ramadan jatuh pada Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung mengirim SMS ke saya. Mereka bertanya, "Lho, terus Jumat itu ikut bulan Syakban ataukah Ramadan ataukah tidak punya bulan, Mas?"

Logikanya memang menjadi "jumping". Sangat sulit mencernanya. Apalagi, ini wilayah ilmu astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat Kamis sore itu sebenarnya adalah hilal Ramadan. Namun, karena usianya masih enam jam, hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham bahwa hilal seumur enam jam tidak mungkin terlihat. Sampai di sini semua sepakat.

Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan "awal puasa". Ini sebenarnya sudah bukan wilayah astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu fikih. Jika rujukan kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah fikih itulah kita bisa memahami ketika salah satu pihak memutuskan mulai berpuasa pada Jumat dan lainnya Sabtu. Yang berpedoman pada wujudul hilal memutuskan permulaan puasanya Jumat. Sedangkan yang menganut rukyatul hilalmemutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah karena rujukan fikihnya sama-sama sahih.

Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi astronomi dan fikih yang kuat dan tegas sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini: 

"Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu, berdasar pada sunah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan dimulai SABTU, 21 Juli 2012...."

Clear. Secara astronomi valid dan secara fikih sah. Bahwa lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah dan memulai puasanya pada Jumat, misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan, hendaklah dia berpuasa (QS.2: 185). Astronomically, Jumat itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.

Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya sudah mulai terurai. Juga sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika urusan astronomi diserahkan saja kepada Lapan atau Bosscha. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama tinggal membacakan dua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah memperoleh solusi yang lebih baik. Sebab, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar