Silang
Sengkarut Wajah Hukum
Tim
Kompas
KOMPAS, 24 Juli 2012
Korupsi telah menjadi kanker yang
menggerogoti badan republik ini. Di dalam sejarah peradaban, tak satu
pemerintahan pun yang selamat melawan kanker korupsi ini. Sejak zaman Romawi
hingga pemerintahan modern, daya hancur korupsi sudah terbukti. Akankah negara
ini perlahan bisa bebas dari belitan penyakit yang kian masif itu?
Tak kurang upaya penindakan sudah dilakukan,
baik oleh aparat penegak hukum semacam kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi
Pemberantasan Korupsi. Operasi tangkap tangan bahkan tampak begitu gencar
dilakukan, terutama oleh KPK.
Di satu sisi kita memang mengapresiasi kerja
penindakan korupsi oleh KPK, tetapi di sisi lain hal itu justru memperlihatkan
bahwa upaya yang selama ini dilakukan ternyata tak pernah menjerakan. Pejabat
ataupun pengusaha/swasta tak berhenti mencari celah demi mengambil keuntungan
bagi diri sendiri.
Penangkapan Bupati Buol atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bogor menandakan bahwa tak ada rasa takut meski beberapa kali
KPK melakukan tangkap tangan dalam kegiatan serupa. Upaya institusi penegak
hukum, baik KPK maupun Kejaksaan Agung menyidik perkara mafia pajak juga tidak
menyurutkan atau membuat takut.
Hal-hal di atas hanya contoh kecil belum
adanya perubahan yang signifikan meskipun institusi pemberantasan korupsi telah
dibangun lebih dari satu dasawarsa lalu. Masih ada persoalan yang belum terurai
dan membelit, baik dalam hal penegakan hukum di bidang ini maupun sistem
pencegahan dini korupsi.
Dalam melihat wajah penegakan hukum di negeri
ini, ada tiga hal penting yang patut didalami. Pertama, situasi institusi
penegak hukum. Kedua, komitmen politik dalam pemberantasan korupsi. Ketiga,
upaya pencegahan korupsi yang seakan- akan tidak pernah dilakukan.
Dari segi institusi penegakan hukum,
perbaikan internal belum membuahkan hasil maksimal. Di institusi kejaksaan
misalnya, proses pembaruan kejaksaan telah dimulai sejak 2005 dan dilanjutkan
pencanangan reformasi birokrasi sejak 2008. Namun, belum juga menepis penilaian
negatif terhadap institusi ini. Institusi penegak hukum lainnya, kepolisian dan
pengadilan, pun belum juga lepas dari persoalan. Tarik-menarik antara budaya
lama dan budaya baru setelah reformasi masih terjadi.
Sebenarnya, persoalan internal institusi
penegakan hukum ini juga menunjukkan ada persoalan di bidang komitmen politik
terhadap pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah memang patut dipertanyakan
ketika institusi-institusi di bawah Presiden (baca: kejaksaan atau kepolisian)
belum berhasil mereformasi diri. Komitmen yang serius terhadap hal itu bisa
menjadi ampuh untuk menyelesaikan lemahnya substansi hukum, budaya hukum,
ataupun problem-problem internal institusi.
Belum Berkeadilan Sosial
Selain penegakan hukum di bidang korupsi, Hakim
Agung Artidjo Alkostar menengarai ada sebuah faktor yang menyebabkan munculnya
berbagai fenomena ketidakadilan hukum dan kesenjangan sosial. Faktor yang
dimaksud adalah kesenjangan ideologi hukum di antara berbagai perangkat hukum.
Hal itu, misalnya, konstitusi sebagai kosmos
telah mengadopsi dan memberikan jaminan terhadap hak-hak warga negara dalam
hubungannya dengan penegakan hukum. Akan tetapi, hal itu tidak diikuti dengan
perubahan paradigma di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (nomologos) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (teknologos).
Kesenjangan tersebut mengakibatkan
tersumbatnya arus keadilan sebagai kebutuhan pokok rohaniah rakyat kecil.
Paradigma KUHP dan KUHAP yang belum mengakomodasi, antara lain keadilan
restoratif (restorative justice), kesepakatan agar terdakwa mengaku bersalah
(plea bargaining), dan proses penyelesaian perkara kecil melalui prosedur
penyelesaian informal serta mediasi penal atau penyelesaian perkara di luar
pengadilan.
Kelompok masyarakat yang lemah secara politik
dan ekonomi menjadi kelompok rentan dan kesulitan mengakses keadilan. Fenomena
kasus sandal jepit, pencurian kakao, pencurian pisang, dan lain-lain yang
secara materiil melibatkan nominal jumlah kerugian yang relatif kecil, tetapi
mereka tetap harus melewati masa-masa penyidikan, penuntutan, dan pengadilan di
muka persidangan.
Mahkamah Agung telah mencoba mengisi
kesenjangan tersebut dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mengikat
secara internal. Ketua Mahkamah Agung (ketika itu) Harifin A Tumpa memberikan
sejumlah terobosan, seperti menyesuaikan batasan tindak pidana ringan dan
jumlah denda yang ada di dalam KUHP yang belum pernah disesuaikan sejak 1960.
Penyesuaian batasan tindak pidana ringan ini diharapkan bisa membuat penanganan
kasus pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan, dan sejenisnya
dapat ditangani secara proporsional.
Di dalam KUHP, batas untuk nilai kerugian
sebuah tindak pidana ringan adalah Rp 2.500. MA mewajibkan para hakim untuk
membaca ketentuan tersebut menjadi Rp 2,5 juta. Ini berlaku untuk
perkara-perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan.
Ketua pengadilan harus menunjuk seorang hakim
tunggal untuk memeriksa kasus tersebut. Apabila dilakukan penahanan oleh
penyidik atau penuntut umum, ketua pengadilan haruslah tidak memperpanjang
penahanan atau tidak menetapkan penahanan.
Dalam rangka mengisi ketentuan mengenai
justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam pengungkapan
kasus, Mahkamah Agung pun sudah membuat surat edaran yang bisa dijadikan
panduan untuk hakim dalam memutus perkara tersebut.
Untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi,
Mahkamah Agung pun mengambil inisiatif untuk memberikan perlindungan hukum
kepada para justice collaborator. Mahkamah Agung memberikan panduan bagi hakim
untuk menentukan siapa saja yang bisa dikategorikan justice collaborator dan
hukuman yang sepantasnya dijatuhkan.
Hakim diminta untuk mempertimbangkan pidana
percobaan bersyarat khusus atau menjatuhkan pidana penjara yang paling ringan
di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud.
Namun, dalam memberikan perlakuan khusus terhadap justice collaborator, hakim harus betul-betul memperhitungkan rasa
keadilan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar