SBY
dan Genosida Rohingya
A
Safril Mubah ; Dosen Ilmu
Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga
JAWA POS, 24 Juli 2012
PEMBANTAIAN etnis Rohingya di Provinsi Arakan, Myanmar, yang
berlangsung sejak Juni lalu belum menggerakkan negara kita untuk bereaksi lebih
serius. Ini klop dengan sikap diam PBB yang biasanya rewel dengan isu kaum
minoritas.
Ramadan tahun ini menjadi bulan derita bagi minoritas muslim itu. Padahal, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah melancarkan kampanye penghentian pembasmian etnis minoritas muslim itu melalui forum PBB. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan di Jeddah Senin lalu (16/7), Sekretaris Jenderal OKI Ekmeledin Ihsanoglu mengatakan, "The recent restoration of democracy in Myanmar had raised hopes in the international community that oppression against Rohingya Muslims would end, and that they would be able to enjoy equal rights and opportunities. However, the renewed violence against Rohingyas has caused great concern to the Organization of Islamic Cooperation." (Arab News, 20/7/2012).
Di Indonesia, sejumlah tokoh agama juga mengecam pembumihangusan etnis muslim tersebut. Mereka mendesak pemerintah mengirimkan protes keras kepada junta militer Myanmar. Sayangnya, sejauh ini pemerintah SBY masih bersikap lembek dalam menyikapi tragedi kemanusiaan itu. Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemenlu RI Mohammad Anshor Rabu lalu (18/7) menegaskan bahwa derita muslim Rohingya adalah masalah internal Myanmar sehingga proses penyelesaiannya pun menjadi wewenang dalam negeri negara itu.
Terlepas dari berlakunya prinsip nonintervensi di kalangan ASEAN, genosida terhadap etnis Rohingya harus dihentikan secepatnya karena hal itu termasuk pelanggaran berat HAM. Atas nama penegakan HAM, dunia internasional harus mengupayakan langkah-langkah penyelamatan sesegera mungkin. Anehnya, hingga saat ini PBB masih "santai", padahal korban nyawa terus berjatuhan.
Pelanggaran HAM Universal
Siapa pun pasti sepakat bahwa pembersihan etnis Rohingya merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sebulan terakhir, tercatat 650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang, dan sekitar 80 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Mereka yang terusir dari rumahnya lantas mengungsi ke luar negeri dan daerah-daerah perbatasan.
Sejarah resmi Myanmar menyebutkan, etnis Rohingya menghuni wilayah Myanmar bagian barat sejak penjajahan Inggris pada abad ke-19. Waktu itu Inggris sengaja memasukkan penduduk muslim India bagian timur (sekarang Bangladesh) ke wilayah Myanmar. Mereka lantas menamakan diri Rohingya dan menetap di perbatasan Myanmar-Bangladesh yang termasuk dalam kawasan Rakhine Utara. Semula mereka merasakan kedamaian dan ketenangan hidup di wilayah itu.
Sejarawan yang lebih independen, misalnya Jacques Leither, menyebut etnis Rohingya sudah ada di Rakhine lebih lama, yakni abad 18 atau 1700-an. Suku Rohingya membuka tanah berhutan-hutan itu. Jadi, mereka bisa disebut penduduk asli.
Ketika junta militer mengambil alih kekuasaan pada 1962, nasib mereka jadi nestapa. Di bawah kekuasaan junta milter, melalui Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, etnis Rohingya dianggap imigran ilegal asal Bangladesh sehingga diberi status warga tanpa kewarganegaraan (stateless people). Berdasar sumber hukum itu, Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai satu di antara 137 etnis negara ini. Akibatnya, mereka kehilangan hak-haknya di tengah mayoritas kaum Buddhis, sehingga junta militer dapat bertindak sewenang-wenang.
Selama tiga dekade terakhir, etnis Rohingya menjadi korban pelanggaran HAM, seperti pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pengusiran dari tempat tinggal. Mereka tidak memiliki kebebasan mengakses layanan kesehatan, menikmati bangku sekolah, mencukupi kebutuhan pangan, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan menjalankan aktivitas ekonomi. Suara mereka benar-benar dibungkam oleh rezim penguasa.
Kondisi inilah yang menjadikan jutaan etnis Rohingya memilih mengungsi ke berbagai negara. Separo dari populasi mereka yang mencapai tiga juta terdiaspora ke Bangladesh, India, Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Thailand, Jepang, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa. Ironisnya, di sebagian negara itu, mereka juga dianggap imigran gelap. Di Bangladesh, misalnya, di antara sekitar 228 ribu pengungsi Rohingnya, 200 ribu tergolong imigran gelap. Mereka hidup dengan ancaman ketakutan karena sewaktu-waktu dapat mengalami tindakan kekerasan dari aparat maupun penduduk asli.
Beberapa pekan terakhir, ribuan pengungsi Rohingya menyerbu Bangladesh lewat jalur laut. Karena ditolak masuk oleh Bangladesh, mereka akhirnya terombang-ambing di balik gelombang lautan yang ganas. Harapan mereka untuk mendapatkan kehidupan layak benar-benar berujung derita. Dalam kondisi demikian, upaya penyelamatan perlu dimaksimalkan agar tragedi kemanusiaan ini tidak terus berlanjut.
RI, Jadilah Pemimpin
Ada tiga upaya penyelamatan yang harus dilakukan. Pertama, seiring dengan nota protes OKI, negara-negara mayoritas muslim harus bersatu padu menyuarakan sikap yang sama atas penderitaan etnis Rohingya. Kesatuan antarnegara mayoritas muslim ini akan menjadi kekuatan penekan efektif terhadap junta militer Myanmar. Keefektifannya berpotensi meningkat jika disuarakan melalui forum-forum internasional. Dengan demikian, masalah ini tidak lagi terbatas masalah domestik maupun masalah regional, tetapi juga masalah global yang perlu diselesaikan seluruh negara di dunia.
Kedua, karena pembantaian etnis Rohingya sesungguhnya bukanlah masalah satu agama saja, seluruh negara di dunia harus ikut memperhatikan genosida ini. Dunia internasional semestinya tidak hanya mempermasalahkan proses demokratisasi Myanmar, tetapi juga harus mempersoalkan bencana kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Pengiriman misi kemanusiaan ke Myanmar adalah langkah penting dan mendesak yang harus dilakukan PBB dan negara-negara lain di dunia.
Ketiga, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sekaligus negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia harus bersikap lebih tegas dan keras. Banyak negara mayoritas muslim yang sesungguhnya menggantungkan harapan kepada Indonesia untuk turun tangan mendesak Myanmar menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Indonesia dipandang sebagai negara yang paling mampu melakukan tindakan tersebut, mengingat negara ini memiliki pengaruh besar di Asia Tenggara. Inilah momentum paling tepat bagi Indonesia untuk mengembalikan kejayaan masa lalu sebagai negara paling berpengaruh yang mampu menjamin stabilitas regional.
Ramadan tahun ini menjadi bulan derita bagi minoritas muslim itu. Padahal, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah melancarkan kampanye penghentian pembasmian etnis minoritas muslim itu melalui forum PBB. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan di Jeddah Senin lalu (16/7), Sekretaris Jenderal OKI Ekmeledin Ihsanoglu mengatakan, "The recent restoration of democracy in Myanmar had raised hopes in the international community that oppression against Rohingya Muslims would end, and that they would be able to enjoy equal rights and opportunities. However, the renewed violence against Rohingyas has caused great concern to the Organization of Islamic Cooperation." (Arab News, 20/7/2012).
Di Indonesia, sejumlah tokoh agama juga mengecam pembumihangusan etnis muslim tersebut. Mereka mendesak pemerintah mengirimkan protes keras kepada junta militer Myanmar. Sayangnya, sejauh ini pemerintah SBY masih bersikap lembek dalam menyikapi tragedi kemanusiaan itu. Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemenlu RI Mohammad Anshor Rabu lalu (18/7) menegaskan bahwa derita muslim Rohingya adalah masalah internal Myanmar sehingga proses penyelesaiannya pun menjadi wewenang dalam negeri negara itu.
Terlepas dari berlakunya prinsip nonintervensi di kalangan ASEAN, genosida terhadap etnis Rohingya harus dihentikan secepatnya karena hal itu termasuk pelanggaran berat HAM. Atas nama penegakan HAM, dunia internasional harus mengupayakan langkah-langkah penyelamatan sesegera mungkin. Anehnya, hingga saat ini PBB masih "santai", padahal korban nyawa terus berjatuhan.
Pelanggaran HAM Universal
Siapa pun pasti sepakat bahwa pembersihan etnis Rohingya merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sebulan terakhir, tercatat 650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang, dan sekitar 80 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Mereka yang terusir dari rumahnya lantas mengungsi ke luar negeri dan daerah-daerah perbatasan.
Sejarah resmi Myanmar menyebutkan, etnis Rohingya menghuni wilayah Myanmar bagian barat sejak penjajahan Inggris pada abad ke-19. Waktu itu Inggris sengaja memasukkan penduduk muslim India bagian timur (sekarang Bangladesh) ke wilayah Myanmar. Mereka lantas menamakan diri Rohingya dan menetap di perbatasan Myanmar-Bangladesh yang termasuk dalam kawasan Rakhine Utara. Semula mereka merasakan kedamaian dan ketenangan hidup di wilayah itu.
Sejarawan yang lebih independen, misalnya Jacques Leither, menyebut etnis Rohingya sudah ada di Rakhine lebih lama, yakni abad 18 atau 1700-an. Suku Rohingya membuka tanah berhutan-hutan itu. Jadi, mereka bisa disebut penduduk asli.
Ketika junta militer mengambil alih kekuasaan pada 1962, nasib mereka jadi nestapa. Di bawah kekuasaan junta milter, melalui Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, etnis Rohingya dianggap imigran ilegal asal Bangladesh sehingga diberi status warga tanpa kewarganegaraan (stateless people). Berdasar sumber hukum itu, Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai satu di antara 137 etnis negara ini. Akibatnya, mereka kehilangan hak-haknya di tengah mayoritas kaum Buddhis, sehingga junta militer dapat bertindak sewenang-wenang.
Selama tiga dekade terakhir, etnis Rohingya menjadi korban pelanggaran HAM, seperti pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pengusiran dari tempat tinggal. Mereka tidak memiliki kebebasan mengakses layanan kesehatan, menikmati bangku sekolah, mencukupi kebutuhan pangan, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan menjalankan aktivitas ekonomi. Suara mereka benar-benar dibungkam oleh rezim penguasa.
Kondisi inilah yang menjadikan jutaan etnis Rohingya memilih mengungsi ke berbagai negara. Separo dari populasi mereka yang mencapai tiga juta terdiaspora ke Bangladesh, India, Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Thailand, Jepang, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa. Ironisnya, di sebagian negara itu, mereka juga dianggap imigran gelap. Di Bangladesh, misalnya, di antara sekitar 228 ribu pengungsi Rohingnya, 200 ribu tergolong imigran gelap. Mereka hidup dengan ancaman ketakutan karena sewaktu-waktu dapat mengalami tindakan kekerasan dari aparat maupun penduduk asli.
Beberapa pekan terakhir, ribuan pengungsi Rohingya menyerbu Bangladesh lewat jalur laut. Karena ditolak masuk oleh Bangladesh, mereka akhirnya terombang-ambing di balik gelombang lautan yang ganas. Harapan mereka untuk mendapatkan kehidupan layak benar-benar berujung derita. Dalam kondisi demikian, upaya penyelamatan perlu dimaksimalkan agar tragedi kemanusiaan ini tidak terus berlanjut.
RI, Jadilah Pemimpin
Ada tiga upaya penyelamatan yang harus dilakukan. Pertama, seiring dengan nota protes OKI, negara-negara mayoritas muslim harus bersatu padu menyuarakan sikap yang sama atas penderitaan etnis Rohingya. Kesatuan antarnegara mayoritas muslim ini akan menjadi kekuatan penekan efektif terhadap junta militer Myanmar. Keefektifannya berpotensi meningkat jika disuarakan melalui forum-forum internasional. Dengan demikian, masalah ini tidak lagi terbatas masalah domestik maupun masalah regional, tetapi juga masalah global yang perlu diselesaikan seluruh negara di dunia.
Kedua, karena pembantaian etnis Rohingya sesungguhnya bukanlah masalah satu agama saja, seluruh negara di dunia harus ikut memperhatikan genosida ini. Dunia internasional semestinya tidak hanya mempermasalahkan proses demokratisasi Myanmar, tetapi juga harus mempersoalkan bencana kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Pengiriman misi kemanusiaan ke Myanmar adalah langkah penting dan mendesak yang harus dilakukan PBB dan negara-negara lain di dunia.
Ketiga, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sekaligus negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia harus bersikap lebih tegas dan keras. Banyak negara mayoritas muslim yang sesungguhnya menggantungkan harapan kepada Indonesia untuk turun tangan mendesak Myanmar menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Indonesia dipandang sebagai negara yang paling mampu melakukan tindakan tersebut, mengingat negara ini memiliki pengaruh besar di Asia Tenggara. Inilah momentum paling tepat bagi Indonesia untuk mengembalikan kejayaan masa lalu sebagai negara paling berpengaruh yang mampu menjamin stabilitas regional.
Semoga
berkah Ramadan segera dirasakan muslim Rohingya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar