KEPEMIMPINAN DAN
PENGUATAN DEMOKRASI
Mencari
Pemimpin di Tengah Krisis Negarawan
Tim Diskusi Panel Ahli Media Group
MEDIA INDONESIA, 23 Juli 2012
Pengantar:
Media Group, Selasa (17/7) lalu,
menggelar diskusi panel ahli bertajuk Kepemimpinan dan Penguatan Demokrasi di
Kantor Media Group, Kedoya, Jakarta. Berbicara pada forum tersebut pengamat
politik dan penulis buku Negara Paripurna, Yudi Latif, pengamat politik Yunarto
Wijaya, Andi Irmanputra Sidin (pakar hukum tata negara), dan ekonom Ahmad Erani
Yustika. Berikut cuplikan hasil diskusi tersebut.
KEMENANGAN
sementara pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam
pemilihan Gubernur DKI Jakarta tempo hari memunculkan euforia sesaat sekaligus
pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sosok pemimpin seperti Jokowi-kah yang
dirindukan tidak saja oleh masyarakat Jakarta, tapi juga Indonesia?
Fakta
sudah terjadi, Jokowi yang semula tidak diunggulkan (berdasarkan survei yang
dilakukan lembaga-lembaga survei) dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu
kada) DKI yang digelar 11 Juli lalu (juga berdasarkan quick count lembaga-lembaga survei tadi) memenangi putaran pertama.
Banyak
pihak yang nyaris tidak percaya bahwa Wali Kota Surakarta yang berduet dengan
mantan Bupati Belitung Timur itu, ibarat permainan sepak bola, mampu
mengacaukan pertahanan lawan (Fauzi Bowo/Foke dan pasangannya, Nachrowi Ramli/
Nara), incumbent yang didukung
birokrasi, uang, dan partai yang tengah berkuasa.
Orang
seperti Jokowi-kah tipe pemimpin masa depan Indonesia? Jika tolok ukurnya ialah
kemenangan sementara yang diraih dalam pemilu kada DKI tempo hari, kita harus
berani mengatakan, “Nanti dulu.“ Kita mesti bertanya kepada diri sendiri dan
merenung, pemimpin yang berpenampilan (maaf) ndeso seperti itukah yang memang kita impikan untuk memimpin negeri
ini ke depan? Jangan-jangan kemenangan Jokowi hanya wujud pelampiasan dari
kekesalan masyarakat Jakarta-juga Indonesia pada saat Pemilu 2014--yang bingung
dan putus asa karena puluhan tahun pascaSoekarno tidak pernah menemukan sosok
seorang negarawan. Atau bisa jadi, kemenangan Jokowi hanya sebagai pertanda
bahwa masyarakat sekarang ini benar-benar telah jenuh dengan sosok pemimpin
negeri yang cuma mementingkan kantong, kelompok, dan partainya sendiri.
Ujung-ujungnya,
mereka memberikan `hukuman' kepada pemimpin yang sebelumnya berkuasa, tapi tak
mampu memberikan kontribusi apaapa. Pasalnya, ya itu tadi, pemimpin yang kini
berkuasa dan memerintah bukanlah seorang negarawan, melainkan pecundang.
Krisis Negarawan
Harus
diakui, negeri ini memang krisis negarawan. Para pemimpin kita belakangan ini
lebih peduli kepada pencitraan dan menjual `pepesan kosong' ketimbang
menyempurnakan diri menjadi negarawan. Masyarakat kini mulai berani menggerus
pemimpin penjual `pepesan kosong' itu. Memilih Jokowi-Ahok merupakan bentuk
penggerusan tadi.
Demokrasi
yang pemaknaannya diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dalam undang-undang
(UU Pemilu, UU Partai Politik, dan sebagainya) bukannya membuka peluang bagi
lahirnya negarawan, melainkan menjadi privilese orangorang berduit untuk
memaksakan diri menjadi pemimpin. Celakanya, undang-undang tadi justru
mengebiri lahirnya seorang pemimpin yang memiliki karakter negarawan.
Lebih
repot lagi, dalam sistem kenegaraan kita untuk melahirkan seorang pemimpin
(yang belum tentu atau otomatis menjadi negarawan), pintunya hanya satu, yaitu
partai politik. Maka, parpol sekarang ini benar-benar menjadi lembaga yang
eksklusif, seolah-olah hanya dialah yang mampu melahirkan pemimpin bagi negeri
ini.
Tanpa
disadari, sistem demokrasi yang diabsahkan di dalam perangkat undang-undang
itu, disadari atau tidak, telah membawa masyarakat ke pola pikir bahwa yang
namanya pemilihan umum merupakan peluang bagi rakyat untuk mencari pemimpin
baru. Artinya, `siapa' jauh lebih penting daripada `apa'.
Padahal,
sistem politik yang sengaja dibangun dan dilestarikan di Indonesia sekarang ini
tidak lain merupakan `penjara' bagi para pemimpin yang lahir dari sistem
tersebut. Artinya, siapa pun yang nanti bakal terpilih menjadi presiden, dia
pasti akan terpenjara oleh sistem yang kini masih berlaku.
Bagaimana
seorang pemimpin tidak terpenjara jika dalam sebuah negara yang jelas-jelas
bersistem presidensial, pada fakta di lapangan ia diatur atau bergantung pada
orangorang yang duduk di DPR (parlementer). Di luar itu, masih pula ada model
sekretariat bersama yang katanya untuk memperkuat pemerintahan. Apa pula itu?
Upaya
melahirkan pemimpin dan penguatan demokrasi tidak ada artinya jika masyarakat
hanya berpikir `siapa' yang bakal menjadi pemimpin dan tidak peduli dengan
`apa' yang akan dilakukan sang pemimpin. Akhirnya upaya memenangkan Jokowi
hanya bentuk kompensasi dari kejenuhan masyarakat yang sampai sekarang tak
pernah menemukan seorang negarawan. Kemenangan (sementara) Jokowi sesungguhnya
merupakan kemenangan emosional, bukan kemenangan ideologis.
Meskipun
pemilu kada kerap digelar dan sang calon pemimpin mendapat dukungan dari
partaipartai, kenyataannya, partai politik (parpol) gagal menciptakan budaya
politik yang berkembang (collective
behaviour). Padaha collective
behaviour itulah yang menjadi dasar munculnya political values. Sekali lagi, jangan heran kalau kemudian parpol
memegang peran utama terhadap kegagalan bangsa ini menciptakan negarawan.
Padahal, negeri yang sedang murung ini tidak cuma membutuhkan pemimpin, tapi
negarawan.
Kompromi di Ruang Tertutup
Tak
bosan-bosannya, kita harus jujur mengakui pemimpin yang lahir dan memimpin
negeri ini sebagai hasil kompromi dari ruang-ruang ter tutup untuk kemudian
disodorkan kepada masyarakat. Dia ditahbiskan sebagai pemimpin tanpa pernah
mengajak masyarakat untuk urun rembuk. Institusi demokrasi kita hanya memberikan
ruang kepada mereka yang memiliki uang.
Peraturan
perundangan tentang pemilu memberikan ruang untuk itu karena parpol jelas tidak
ingin kehilangan peran dalam mencetak pemimpin. Masyarakat hanya disodori nama
tanpa pernah tahu bagaimana prosesnya.
Kondisi-kondisi
seperti itulah yang memunculkan istilah pemimpin alternatif. Faktor kejenuhan
dari masyarakat membuat mereka melawan dengan cara memunculkan pemimpin
alternatif tersebut. Itu dilakukan karena setidaknya, masyarakat i ngin
menunjukkan pemimpin bukanlah sosok yang dihasilkan dari kompromi di
ruang-ruang tertutup.
Itulah
sebabnya ke tika banyak orang membicarakan kan didat calon presi den pada 2014,
tidak akan muncul nama lain yang dianggap memiliki kualifikasi lebih baik.
Jangan
heran kalau ke mudian muncul calon al ternatif untuk kepala daerah hingga
presiden, sejatinya lebih pada sebentuk rasa frustrasi. Perasaan tidak per caya
dengan sistem dan juga putus asa.
Ibarat
kita sedang mencari kudapan di restoran, ketika bi ngung memilih menu yang disajikan,
akhirnya telunjuk pun meng arah kepada menu nasi goreng. Banyak orang bilang
nasi goreng merupakan menu frustrasi karena kita tidak lagi bisa meng udap menu
lainnya.
Nama
yang muncul dan disodorkan kepada masyarakat hanya yang itu-itu, tidak bergeser
dari nama lain. Padahal, demokrasi yang kuat justru harus mampu melahirkan
pemimpin dengan watak kenegarawanan. Ke depan, di negeri ini tidak boleh ada
atau terjadi pemimpin lebih kuat daripada demokrasi. Kalau itu yang terjadi,
akan timbul tirani-tirani baru.
Jika
pada 2014 negeri ini masih gagal mendapatkan pemimpin yang kuat, saat itulah
masyarakat akan berpikir bahwa negara ini berada di ambang kehancuran. Tidak
ada lagi tempat bernaung untuk melindungi diri. Tidak ada lagi tempat aman di
negeri ini. Kondisi seperti itu tidak pelak memunculkan kondisi bahwa
masyarakat sudah berubah menjadi psikolog politik. Pemunculan `siapa' dan bukan
`apa' memaksa setiap orang untuk menginstal ulang benak mereka. Pemimpin al
ternatif itulah, suka tidak suka, menjadi bentuk yang dicari ketika kejenuhan
terhadap sosok 4L (lu lagi lu lagi).
Apalagi
ketika muncul yang dinamakan demokrasi kultus. Masyarakat dihadapkan pada fakta
bahwa sosok tertentu begitu mendominasi dalam suatu organisasi. Kondisi itu
sebetulnya menghadirkan peringatan dini untuk menentukan pilihan pada 2014.
Kalau
sekarang saja sudah begitu dikultuskan dan menjadi titik sentral kehidupan
organisasinya, bagaimana kalau nanti dia menjadi presiden?
Apakah tidak menjadikan Indonesia sebagai organisasi pribadi?
Butuh Keamanan Diri
Di
sisi lain, kemunculan banyak organisasi di masyarakat menjadi indikator bahwa
negara tidak aman. Bukan cuma rakyat kecil yang akhirnya akan memutuskan untuk
bergabung dalam organisasi tersebut, melainkan juga rakyat besar. Mereka
membutuhkan tempat bernaung agar merasa aman dalam melakukan aktivitas
keseharian.
Di
dalam organisasi itu, bisa jadi mereka mendapatkan rasa aman.
Padahal, itu bukan sesuatu yang sehat karena sesungguhnya memberikan rasa aman kepada warga menjadi tugas negara. Ketika negara gagal menghadirkan rasa aman, saat itulah mulai hadir pemikiran bahwa negara ini akan hancur.
Padahal, itu bukan sesuatu yang sehat karena sesungguhnya memberikan rasa aman kepada warga menjadi tugas negara. Ketika negara gagal menghadirkan rasa aman, saat itulah mulai hadir pemikiran bahwa negara ini akan hancur.
Ketika
seseorang yang memimpin banyak perusahaan bergabung dengan suatu organisasi, bisa
ditebak bahwa dia sesungguhnya ingin mencari keamanan diri. Karena negara tidak
lagi mampu memberikan perlindungan keamanan yang dicari, organisasilah yang
menjadi tujuannya.
Keputusan
untuk mengizinkan masuknya modal asing sebagai penguasa baru dalam sendi-sendi
ekonomi sebuah negara juga harus dijadikan indikator tersebut. Seharusnya
investasi asing itu hanyalah sebagai sebuah suplemen. Namun, Indonesia justru
mengizinkan penanaman modal asing itu menguasai hingga 80% saham di sejumlah
kondisi.
Di
sinilah perlunya sosok pemimpin yang kuat, tapi bukan diktator. Demokrasi yang
sehat ialah yang mampu melahirkan pemimpin yang tidak terkungkung oleh
kebijakan-kebijakan yang dibuatnya sendiri. Bukan juga melahirkan political
idol yang biasanya hanya untuk sesaat. Bukan pula pemimpin yang lemah karena
sosok, atau lemah karena keadaan.
Semoga hal itu tidak sampai terjadi sebab
negeri ini sesungguhnya memiliki banyak negarawan, cuma mereka tidak
terakomodasi di parpol. Buktinya, ada kok calon bupati yang berhasil memenangi
pemilu kada dan menjadi pemimpin di daerah tanpa uang dan melakukan
kompromi-kompromi di ruang tertutup. Kalau begitu, Indonesia memang membutuhkan
gerakan perubahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar