Rabu, 25 Juli 2012

Belajar dari The Dark Knight Rises


Belajar dari The Dark Knight Rises
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2012


TAK ada yang dapat menyangka, Bioskop Aurora Century 16 di Denver, Colorado, AS, yang ramah dengan penayangan sejumlah film top berkualitas tiba-tiba berubah menjadi kamp pembantaian massal.

Ketika puluhan pasang mata asyik menyaksikan premeire The Dark Knight Rises garapan Christopher Nolan dari Warner Bros, mendadak kegaduhan terjadi setelah James Eagen Holmes (mahasiswa kedokteran saraf) melepaskan tembakan membabi buta ke arah penonton. Sebanyak 14 orang tewas dan lebih dari 50 luka-luka, termasuk 3 WNI yang menjadi korban aksi brutalnya.

Di depan tim pemeriksa FBI, Holmes mengaku melancarkan jurus maut itu karena terimajinasi petualangan Joker, tokoh antagonis dalam seri terakhir trilogi Batman itu yang dibintangi Christian Bale, Anne Hathaway, dan Morgan Freeman. Tragedi berdarah itu menambah panjang daftar kriminal yang menggunakan senjata api di AS. Kisah pilu itu mengingatkan kita pada kejadian serupa yang pernah dan mungkin akan terus terjadi di bumi Pancasila yang terusik oleh maraknya kasus kekerasan dengan senjata api. Tragis karena sebagian besar kasus kekerasan dengan senjata api di Indonesia dilatarbelakangi motif kejahatan perampokan dan kriminal lainnya. Hal itu kontras dengan fenomena kekerasan senjata api di AS, yang dominan masalah pribadi atau kelainan kejiwaan.

Apa pun yang menjadi motif kejahatan di balik penggunaan senjata api itu, semuanya berakar dari pranata kebebasan yang merupakan pilar utama HAM. Tak dapat dimungkiri bahwa kebebasan dalam konteks sosioyuridis terbangun dari dua kepentingan yang kontradiktif. Kepentingan pertama tertuju pada kebebasan individu untuk memiliki apa pun, termasuk senjata api, sehingga pembatasan atau pelarangan atas kebebasan itu dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Kepentingan kedua terletak pada hak setiap orang untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari rasa takut. Karena itu, segala yang mengancam dan mencabik-cabik hak itu juga merupakan pelanggaran HAM. Atas nama kebebasan dan martabat, negara memberi izin kepemilikan senjata api kepada individu dengan prosedur yang begitu longgar disertai rendahnya pengawasan dan penindakan terhadap penyalahgunaan senjata api.

Harus dipahami bahwa perubahan perilaku dalam masyarakat dapat menyentuh seluruh segi struktur sosial. Tidak jarang perubahan itu bernilai destruktif sesuai tren yang mendominasi pola hubungan dalam struktur sosial dimaksud. Tengoklah kondisi kehidupan sosial kita yang terpotret oleh media. Selain mengangkat informasi yang menyejukkan, mereka menayangkan kabar kriminal yang mengerikan.

Secara sosiokriminologis, rangkaian kejahatan itu menimbulkan rasa tidak aman bagi individu tertentu dalam masyarakat. Ironisnya Polri yang secara konstitusional dimandatkan untuk mengemban tugas dan fungsi mewujudkan kamtibmas bertindak tidak berbanding lurus dengan ekspektasi publik. Sampai detik ini, fungsi perlindungan dan pengayoman Polri terhadap masyarakat dirasakan kurang maksimal, bahkan tidak sedikit gangguan kamtibmas dilakukan anggota Polri sendiri.

Akibatnya tiap individu mencari solusi untuk menemukan rasa aman dan perlindungan dengan membekali diri berupa pemilikan senjata api. Hal itu konon diyakini mampu membentengi diri secara praktis dari ancaman kejahatan. Betapa tidak? Senjata api dalam jenis tertentu mudah dibawa dan digunakan serta mempunyai kemampuan melumpuhkan pelaku kejahatan secara cepat.

Namun, hal yang paling krusial dalam melahirkan stimulasi kepemilikan senjata api di kalangan warga sipil ialah faktor demand and supply. Selain banyaknya warga sipil yang berlomba-lomba memiliki senjata api yang kini diperjualbelikan secara bebas, sistem regulasi perizinan pemilikan senjata api nyaris tanpa kontrol. Kalaupun ada, semuanya musnah oleh intervensi keuangan dan kekuasaan. Belum lagi yang diproduksi atau didatangkan secara ilegal. Tragis jika benda yang sangat berbahaya itu jatuh di tangan kriminal.

Berdasarkan keterangan Kadiv Humas Polri, tertanggal 7 Mei 2012 diketahui, izin pemilikan senjata api yang dikeluarkan Polri sampai 2012 dalam rangka membela diri sebanyak 18.030 pucuk dengan rincian 3.060 berpeluru tajam, 9.800 berpeluru karet, dan 5.000 berpeluru gas. Namun, pada tahun ini 10.910 pucuk senjata api telah ditarik karena izinnya telah habis meliputi 1.524 berpeluru tajam, 5.812 berpeluru karet, dan 2.863 berpeluru gas.

Selanjutnya kasus penyalahgunaan senjata api dari 2009 sampai 2011 terjadi dengan beberapa modus, antara lain pencurian dengan kekerasan 174 kasus selama tiga tahun. Kasus penyalahgunaan senjata api muncul 152 kali. Adapun penemuan senjata api ilegal 76 kasus. Hal yang disebut terakhir cukup serius karena jumlah senjata api beredar di pasar gelap lebih banyak daripada perkiraan. Itu umumnya berasal dari bekas wilayah konflik seperti Ambon, Poso, dan Aceh.

Senjata api yang masuk dari luar negeri cukup rentan karena wilayah RI yang sedemikian luas dan sulit diawasi. Di beberapa daerah yang berbatasan dengan Malaysia, Singapura, Filipina, dan Papua Nugini marak terjadi transaksi senjata api ilegal. Senjata api rakitan dengan jumlah yang tak dapat didata masih merupakan masalah yang sulit dikendalikan Polri.

Itu sangat berbahaya karena jangankan rakitan atau ilegal, senjata api legal sekalipun tetap saja berpotensi menimbulkan ancaman bagi keamanan ma syarakat dan negara. Betapa tidak? Senjata api yang berada di tangan aparat keamanan dengan prosedur dan penguasaan teknik penggunaannya yang sangat ketat masih rentan mengalami penyalahgunaan, apalagi jika barang berbahaya itu bebas melenggang di tangan warga sipil. Belum lagi tingkat kemampuan mengontrol emosi seseorang yang memegang senjata api akan mudah membahayakan siapa pun di sekelilingnya begitu ia menarik pelatuk dalam keadaan iseng dan serius.

Dengan berkaca dari tragedi The Dark Knight Rises yang berkorelasi positif dengan tingkat ancaman kepemilikan senjata api di Indonesia, negara melalui lembaga yang berwenang harus mereformasi sistem regulasi kepemilikan senjata api. Hal itu perlu dilakukan karena aturan hukum yang selama ini menjadi dasar mengenai izin kepemilikan senjata api, yaitu UU No 8/1948 jo UU Darurat Nomor 12/1951 jo Perppu No 20/1960 jo PP No 31/2004 jo SK Kapolri No Skep/241/II/1999 jo SK Kapolri No 82/2004 jo Peraturan Kapolri No Pol 13/X/2006 jo Peraturan Kapolri No 2/2008, justru terkesan sangat longgar dan mengandung unsur pembiaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar