Selasa, 24 Juli 2012

Agama: Ilmu Versus Laku?


Agama: Ilmu Versus Laku?
Donny Anggoro ; Pegiat di Lembaga Bhinneka di Surabaya
SUARA KARYA, 24 Juli 2012


Dalam sebuah seminar keagamaan di Padang tahun 2002 lalu, Djohan Effendi pernah menulis sebuah makalah yang isinya selain menohok nyatanya masih relevan saat ini, yaitu Agama: Ilmu versus Laku. Ia menyatakan boleh jadi pendidikan agama yang kita berikan selama ini lebih bertolak dari pendekatan yang memandang agama lebih sebagai ilmu dan bukan sebagai laku.

Akibatnya, hidup berdampingan dengan umat agama lain kurang dipahami maknanya lantaran beragama hanya melulu berkaitan dengan ketaatan ritual sehingga hanya memikirkan soal agama an sich dengan, misalnya, lebih memikirkan bagaimana memperbesar jumlah umat atau lebih banyak membangun tempat ibadah yang megah di samping mentaati teks-teks kitab suci sebagaimana adanya sehingga yang tampak adalah faktor individualitas yang terpojok dalam frame yang sangat sempit.

Agama masih dipandang sebagai sesuatu yang sakral sehingga sekedar dipelajari sebagai melulu ajaran tentang ketuhanan. Teks-teks kitab suci dipelajari secara cermat namun tak dipandang sebagai suatu tuntunan moral dalam interaksi sosial. Akibatnya, benturan kepentingan agama dan golongan makin berkembang lantaran iman sering dianggap sekadar mengamini syahadat bukannya melakukan tindakan dan way of life untuk melakukan kebajikan.

Wajah 'bermanis-manis' tapi makna ibadat di hati sebenarnya sudah meninggalkan rasa spiritualnya dengan hanya menjadi tindakan ritual semata. Pendek kata, jika orang sudah terlihat menganut agama tertentu yang terbukti sudah tercantum dalam kolom agama di KTP-nya sudah pasti dia akan menjadi warga negara yang baik. Seolah-olah hal itu sudah beres padahal kenyataannya, dalam perilaku sehari-hari orang tersebut tak mencerminkan layaknya orang beragama lantaran sering mencela agama lain sebagai sesat atau semacamnya.

Antropolog asal Filipina Melba Padilla Maggay memberikan contoh, kebangkitan rohani Kristen di Filipina pada saat terjadi revolusi pada 1986 pada kenyataannya belum menunjukkan kontribusi yang berarti pada kemajuan keadilan. Penambahan jumlah umat Kristen waktu itu terhadap peningkatan keadilan masyarakat nyatanya tidak terbukti.

Hal demikian mirip dengan yang terjadi di Indonesia ketika media massa juga sejumlah ormas saat ini begitu gencar mempublikasikan kegiatan rohani dengan sering menampilkan tokoh-tokoh tertentu bahkan selebritis mengenakan simbol-simbol agama. Yang tak disadari, perilaku demikian sebenarnya makin 'memperkuat' asumsi keliru bahwa 'banyaknya kegiatan agama dan khotbah tentang kasih mampu menghancurkan struktur ketidakadilan'.

Kepentingan Politik

Agama menjadi cukup sibuk menambah jumlah pengikut daripada meningkatkan kualitas keimanan. Lembaga-lembaga agama juga akhirnya menghormati bahkan 'mengamini' praktik para donatur pun sejumlah pejabat keagamaan yang ternyata membagikan hasil korupsinya untuk, misalnya, pembangunan tempat ibadat atau pengadaan kitab suci agama tertentu, seperti dilaporkan media massa, baru-baru ini.

Filantropi keagamaan di negeri ini jadi lebih mencorong secara pragmatis sehingga praktik kehidupan beragama sangat mudah sekali disetir untuk kepentingan politik. Misalnya, ramai-ramai kiai ikut partai politik seperti yang pernah didedahkan dalam Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan. (Dr Endang Turmudi, LKiS, 2004)

Belum lagi, ditambah dengan kondisi beberapa masyarakat dunia modern dewasa ini yang semakin menunjukkan adanya sikap skeptis (ragu) terhadap keyakinan dan agamanya sebagai sumber kebenaran mutlak maka klop sudah biang keladinya adalah 'sosok' ajaran agama yang tak mampu bergerak sesuai zaman akibat ulah pemuka dan penganutnya yang konservatif sehingga 'kebal' kritik dan bisa disetir ke sana ke mari. Yakinlah selalu daya kritik adalah hakiki pada setiap agama sebab daya inilah yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Agama yang kehilangan daya kritiknya segera beku dan akan mati.

Saya menekankan perlunya perbaikan pengajaran agama di sekolah-sekolah yang semestinya terkait dengan realitas kehidupan, di mana kita diajak secara aktif melihat, mengamati, mengambil sikap terhadap kejadian itu, bukan hanya sekedar hafalan doa yang melekat di bibir dan mewarnai kulit.

Memang 'Tuhan milik pribadi' - meminjam istilah budayawan Putu Wijaya dalam majalah sastra Horison pada 1982 - akan tetapi jika agama atau Tuhan adalah milik pribadi sudah layakkah disebut beragama jika pada kenyataannya kita masih kebanyakan melakukan sesuatu yang disebut Djohan Effendi dulu sebagai 'ilmu versus laku?'

Selalu ada jalan bagi manusia untuk menemui kembali mata rantai yang hilang dalam kehidupannya. Bukankah pemikir agung Heraclitus pernah bilang bahwa manusia sesungguhnya sedang putus hubungan dengan sesuatu yang hakikatnya dekat dengan dirinya sehingga ia selalu terobsesi untuk menemukan kembali mata rantai yang hilang? 

Sayangnya, mata rantai yang hilang itu di zaman kini sepertinya jadi sulit ditemukan jika deklarasi Foucault tentang 'kematian manusia' dalam Madness and Civilization menjadi benar adanya menyikapi wajah kita sendiri yang sepertinya masih sekedar menerapkan 'agama: ilmu versus laku'.

Berbagai pernyataan di atas barangkali perlu direnungkan jikalau kita memang ingin menghargai diri sendiri dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar hanya menanam tebu di bibir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar