Kontrol
Diri yang Sangat Mahal
Tim
Kompas
KOMPAS, 24 Juli 2012
Alam Pikiran Yunani. Itulah
judul buku yang dihadiahkan Bung Hatta kepada Rahmi Hatta, yang saat itu
berusia 19 tahun, ketika menikah pada 18 November 1945. Buku itu ditulis
sendiri oleh Bung Hatta saat ia dibuang ke Boven Digoel sekitar tahun 1934.
Langkah Bung Hatta
menjadikan buku sebagai mas kawin tidak hanya menunjukkan bahwa buku merupakan
harta yang amat berharga untuknya. Lewat buku itu, Bung Hatta juga ingin
menyampaikan pandangannya bahwa Indonesia, yang saat itu baru sekitar tiga
bulan merdeka, akan beres jika memiliki kontrol pada hasratnya sendiri.
Manusia Indonesia akan
berhasil membuat sistem dan menjalankannya dengan lebih baik jika memiliki
kontrol yang kuat, nurani yang bening, dan budi yang jernih. Kontrol diri juga
akan menjaga kepercayaan di antara manusia Indonesia. Kepercayaan ini adalah
dasar bagi masyarakat Indonesia ketika memutuskan hidup bersama sebagai sebuah
bangsa. Kontrol diri, terutama, amat dibutuhkan oleh para elite atau pemimpin
bangsa karena mereka juga harus memberi keteladanan kepada pengikut dan
masyarakatnya.
Ironisnya, kontrol diri yang
terkait erat penegakan etika menjadi hal yang sulit dilihat dalam diri pemimpin
dan elite bangsa ini pada umumnya. Banyak contoh kasus untuk menjelaskannya.
Contoh paling sederhana adalah karakter elite bangsa yang seharusnya bertindak
sebagai ”pelayan masyarakat”. Akan tetapi, umumnya mereka justru minta
pelayanan istimewa, serba cepat dan mewah, meski sering kali harus melanggar
hukum.
Tengoklah di Jalan Tol Jagorawi. Hampir setiap pagi, di jalan tol itu,
dapat dengan mudah dijumpai mobil mewah—dengan identitas tertentu—berjalan di
bahu jalan yang seharusnya hanya untuk kondisi darurat.
Berita tentang tindak
pidana, dari kasus asusila sampai korupsi yang dilakukan para elite dan pemimpin
negeri ini, juga semakin mudah dijumpai. Bahkan, dengan mata telanjang kita
bisa menjumpai beritanya di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.
Lebih parah lagi, meski akal sehat mengatakan keterlibatan mereka dalam suatu
kasus tindak pidana sudah terlihat jelas, usaha untuk berkilah atau bahkan
menyangkal tetap dilakukan.
Lihat saja berapa banyak
politisi atau pejabat yang justru tenang-tenang saja tampil di publik. Tak ada
rasa risi atau malu kepada masyarakat. Bahkan, sering kali dengan entengnya
mereka bilang masih menunggu proses hukum sehingga tidak perlu dulu mundur dari
jabatannya. Begitulah politisi kita, begitulah elite bangsa kita, tetap tegar
walaupun sesungguhnya citranya di hadapan masyarakat secara moral sudah
terkubur di dalam tanah.
Mentalitas Jalan Pintas
Ada sejumlah penjelasan yang
dapat diberikan mengapa para elite dan pemimpin negeri ini tetap berusaha
mempertahankan posisi meski telah gagal mengontrol dirinya dan tidak lagi
dipercaya masyarakat. Salah satunya, cermin dari kegagalan pendidikan dalam
menginternalisasi nilai-nilai dan keutamaan hidup. Mentalitas jalan pintas, dan
tidak berorientasi pada proses, membuat sejumlah nilai luhur sebagaimana
terlukis dalam pepatah ”di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” hanya
sebatas menjadi hafalan semata.
Kondisi tersebut diperparah
oleh desain institusi demokrasi di Indonesia, yang saat ini lebih memberikan
peluang bagi kekuatan modal dibandingkan kualitas dan integritas pribadi para
pelakunya. Kekuatan modal menjadi amat penting untuk berkiprah dalam politik
Indonesia karena biaya politik yang semakin mahal. Panggung politik
disemarakkan oleh politik uang atau gizi politik. Elemen-elemen penting seperti
integritas dan kapabilitas barangkali baru dilihat pada saat-saat terakhir.
Demokrasi kita sungguh
mahal. Biaya iklan politik di televisi pada Pemilu 1999 hanya sekitar Rp 5
miliar. Namun, pada Pemilu 2004 meningkat menjadi Rp 3 triliun dan untuk Pemilu
2009 meningkat tiga kali lipat. Untuk pesta demokrasi di daerah saja biayanya
tidak kecil. Untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur Jawa Timur pada tahun
2008, misalnya, pemerintah mengeluarkan biaya hampir Rp 1 triliun,
Mahalnya biaya politik
akhirnya membuat modal tidak hanya menguasai cabang produksi atau sumber daya
alam. Modal juga terlibat dalam proses perebutan dan kerja kekuasaan di
Indonesia. Ini terlihat, antara lain, dari semakin banyaknya pengusaha yang
terjun ke politik, baik menjadi anggota DPR maupun masuk ke birokrasi
pemerintahan.
Terlalu menonjolnya peran
modal dalam politik membuka peluang adanya penyelewengan: dari perumusan
kebijakan yang seharusnya mengedepankan kepentingan masyarakat menjadi
mengedepankan kepentingan pemodal. Usaha untuk terus mengontrol diri, menjaga
etika serta kepercayaan masyarakat, bukan lagi menjadi persoalan utama bagi
sejumlah politisi. Melanggengkan kekuasaan sering kali menjadi terlalu penting
meski dengan cara yang tidak terpuji, seperti korupsi.
Ironisnya, meski biaya
politik mahal menjadi ancaman bagi demokrasi, sampai saat ini belum terlihat
upaya serius untuk membuat demokrasi yang lebih murah. Upaya seperti pembatasan
biaya kampanye tak dianggap jadi persoalan yang cukup serius untuk dibahas
dalam Undang-Undang Pemilu. UU itu hanya mengatur besar sumbangan pemilu.
Pembahasan ambang batas parlemen yang sebenarnya lebih terkait kepentingan
elite politik lebih menguras waktu dan energi dibanding pembahasan untuk
mencegah praktik politik uang.
Harapan Masa Depan
Meski berita pelanggaran
oleh elite dan pemimpin negeri ini telah menjadi makanan sehari- hari, tak
mudah bagi aparat penegak hukum menindaknya. Ini karena orang-orang itu sering
kali berada di atas hukum dan sistem yang ada. Pernyataan selama ini bahwa
penegakan hukum hanya runcing ke bawah tetapi tumpul di atas menjadi gambaran
keadaan ini.
Kondisi itu membuat Badan
Kehormatan DPR terdorong untuk menegakkan etika dan menumbuhkan keteladanan di
kalangan anggota DPR melalui cara-cara yang sederhana. Misalnya, dengan meminta
para wakil rakyat untuk hidup hemat, makan dan minum secukupnya, serta hanya
berbicara jika bermanfaat untuk orang lain. Upaya itu diharapkan dapat
menumbuhkan sikap rendah hati dan memperkuat kontrol diri. Dengan demikian,
secara perlahan, hal itu dapat meningkatkan kepercayaan dan wibawa DPR di
hadapan masyarakat.
Sebagai sebuah upaya,
langkah Badan Kehormatan DPR patut dihargai. Namun, upaya tersebut seperti
terasa ”amat jauh” jika melihat sebagian anggota DPR dan elite politik negeri
ini. Mereka sepertinya sudah terlalu jauh dari kemampuan untuk mengontrol
dirinya serta menjaga kebersihan nurani dan budinya.
Jika demikian, masih adakah
harapan untuk Indonesia masa depan? Tentu kita harus optimistis menjawab
”masih”. Sebab, memang masih ada kelompok- kelompok masyarakat yang dengan
caranya sendiri berusaha mencintai Indonesia. Misalnya, dengan menggelorakan
gerakan antikorupsi atau menjaga kelestarian hutan di daerahnya agar air tetap
tersedia di musim kemarau dan tak banjir di musim hujan. Kelompok-kelompok
masyarakat seperti itu memang kecil, tetapi banyak. Mereka akan terus tumbuh
sebagai bagian dari masa depan bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar