Rabu, 25 Juli 2012

Perang Budaya Foke dan Jokowi


Perang Budaya Foke dan Jokowi
Agus Dermawan T ; Penulis Buku-buku Seni Budaya
KOMPAS, 25 Juli 2012


Hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta meneguhkan kebenaran angka-angka versi hitung cepat. Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama meraih 42,60 persen, mengalahkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang mendapat 34,05 persen.

Bisa diyakini, kekalahan Fauzi Bowo (Foke) pada ronde pertama pilkada ini bukanlah kekalahan kepercayaan, yang di dalamnya menyangkut ihwal kapabilitas, integritas, dan moralitas. Karena hampir semua orang tahu, Foke sesungguhnya adalah orang yang paling tahu tentang Jakarta dan sebenarnya paling bisa membenahi Jakarta.

Apalagi, Foke adalah ahli tata kota yang memiliki sertifikasi akademis dari perguruan tinggi ternama Jerman. Bandingkan dengan Joko Widodo (Jokowi), wali kota otodidak, yang selama ini diketahui sebagai orang yang mengenal tentang Solo saja.

Masyarakat juga paham, Foke telah sukses menunjukkan integritas luar biasa dalam pelaksanaan pembangunan Jakarta, lewat fakta betapa ia sudah 30 tahun jungkir balik membenahi Ibu Kota. Bandingkan dengan Jokowi, sarjana ilmu kehutanan yang baru sekitar 7 tahun masuk ke hiruk-pikuk perkotaan.

Sementara dari aspek moralitas, Foke juga termasuk gubernur bersih. Ia pun berhasil mengangkat martabat kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai lembaga yang relatif tidak korup. Suatu prestasi yang tidak terlalu minder apabila dipertandingkan dengan reputasi Jokowi, yang dijunjung sebagai salah satu wali kota terbaik di dunia.

Kekalahan Kebudayaan

Dengan begitu, bisa diyakini, kekalahan Foke pada ronde ini adalah kekalahan kebudayaan. Sementara dipahami bahwa intisari dari kebudayaan itu adalah perilaku. Dari situ bisa ditarik garis bahwa kekalahan Foke disebabkan oleh gaya perilakunya, baik ketika sedang menjabat ataupun saat melakukan kampanye pemilihan umum di sekujur Jakarta. Dan, semua mafhum, sebuah gaya perilaku (yang terbit dari sebuah budaya) bukanlah suatu kesalahan, bukan sebuah dosa. Perilaku merupakan ulah jujur yang dibentuk oleh persepsi seseorang atas komunitas terdekat yang tak henti digauli.

Kita tahu, Foke dilahirkan dari keluarga kaya raya di Jakarta. Ia menikah dengan Tatiek, perempuan ningrat Surakarta, yang selalu menasihati suaminya dengan kata-kata anggun milik raja-raja: ”madep, karep, mantep” (menghadap ke arah yang jelas, memiliki tekad yang kuat, dan mempunyai kepastian dalam menjalankan tugas). Terhadap Jakarta, sang istri pun selalu mengingatkan dengan kalimat aristokrat: ”rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrukebi, mulat sarira hanrasa wani” (merasa ikut memiliki, merasa wajib membela, dan sebagai pribadi harus selalu mawas diri). Ketinggian latar belakang itu diusung lebih lanjut oleh pendidikan dan pergaulan internasionalnya.

Maka, ketika ia memimpin Jakarta dengan segenap keahliannya, gaya perilaku kebangsawanan, dan keterpelajaran otomatis ikut terboyong ke mana-mana. Ketika bertutur kata ia sering menggunakan kalimat bersayap, bermetafora, terasa tinggi sehingga tak teraba di lapisan bawah yang menjadi penduduk mayoritas Jakarta. Ibarat sebuah teks panjang, ia sering menggunakan catatan kaki. Celakanya, sikap budaya yang cenderung berat dan elitis ini acap ditafsirkan sebagai perilaku arogan. Akibatnya, keberpihakan Foke kepada rakyat kecil jadi tidak terasa.

Budaya Kejelasan

Apabila Foke menganut budaya berlapis dan tersembunyi (covert culture), tokoh ndeso Jokowi menggunakan gaya perilaku dan bahasa yang amat jelas (overt culture) dalam berbagai kampanye yang dilakukan. Andai pun ada umpama-umpama, ia memilih khazanah yang paling mudah dicerna. Pilihan ini diangkat dari tradisi budaya Jawa ketika mempelajari segala sesuatu.

Bisa disimak, untuk mendefinisikan guru, misalnya, orang Jawa menyulap kata itu sebagai singkatan dari digugu lan ditiru (dipercaya dan dipanuti). Untuk mengingat kata piring mereka menjelaskan dengan kalimat sepi yen wis miring (tak ada bunyi apabila sudah ditaruh di dalam rak). Kata kerikil diartikan sebagai keri ning sikil (geli apabila terinjak kaki). Singkatan-singkatan aliteratif semacam itu tentu menyenangkan, gampang diingat dan diucap.

Jokowi bahkan menyetarakan cara kampanyenya dengan gaya sepak bola Spanyol yang sangat populer di tengah rakyat, tiki taka, yang mengacu operan- operan pendek antarteman. Maka, apa yang dilakukan adalah perilaku sederhana yang digerakkan oleh gaya hidupnya. Sikap ini secara tak sadar jadi ujung tombak perlawanan dari gaya Foke yang menganut covert culture.

Jokowi juga tampak menggunakan ilmu krenteg. Dalam budaya Jawa, krenteg ini merupakan sebuah bentuk dari dunia rasa-merasa. Atau jagat pikiran yang terbentuk dari pertemuan mata hati dan kata hati. Namun, meski krenteg lebih dikenal di Jawa, sesungguhnya adalah bagian penting dari sifat khas bangsa Indonesia. Bangsa ekspresif, atau bangsa yang lebih mengutamakan perasaan dalam menata dan melakoni hidupnya. 
Alias lebih memelihara emosionalitas daripada rasionalitas.

Hal ini tertegaskan apabila kita membaca buku Can Asians Think? susunan Kishore Mahbubani (Times Edition, 2004). Salah satu pasal dalam kitab yang jadi international bestseller 2005 ini berangkat dari artikel di New York Times yang ditulis Dr Richard Nisbitt, profesor psikologi Universitas Michigan.

Di sana dikatakan, orang Asia dalam mengkaji sesuatu cenderung lebih holistik. Semua ditautkan dengan yang ”tidak kelihatan”, seperti jagat rasa, kepercayaan, dan adat. Dengan begitu, perhatian orang Asia, termasuk Indonesia, hanya sedikit yang menggantungkan diri pada logika. Hal ini sangat berbeda dari orang Barat yang lebih analitis. Jokowi tahu soal ini dan dengan cerdik ia memanfaatkannya.

Sementara itu, ia sadar benar bahwa sebagai orang baru di Jakarta akan begitu sulit membenahi Jakarta yang amat kompleks. Namun, ia yakin masyarakat Jakarta percaya: segala sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh pasti akan terunduh hasilnya. Lagi-lagi, ini adalah hasil dari pemahamannya pada ungkapan Jawa lama: sing ubet, ngliwet (yang arti sebenarnya adalah: yang ulet bekerja akan menanak nasi). Elaborasi dari ungkapan itu tentu saja adalah bahwa siapa pun yang tak henti bertindak akan menuai hasilnya.

Untuk melaksanakan itu, ia pun menaruh dirinya sebagai calon pemimpin yang teguh, luwes dalam pergaulan, dan berusaha untuk selalu berguna banyak bagi semua orang. Perilaku ini berangkat dari filosofinya yang lain: lemes kena kanggo tali, kaku keno kanggo pikulan (yang lemas bisa untuk tali, yang kaku bisa untuk pikulan).

Akankah dalam ronde kedua Pilkada DKI nanti pilihan warga masih mengacu kepada pertimbangan-pertimbangan perilaku budaya? Kita tunggu saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar