Penolakan
Pencocokan dan Potensi Golput
Bambang Soesatyo ; Ketua DPR RI
|
KORAN
SINDO, 19 Februari 2018
FAKTA penolakan
kelompok-kelompok warga di sejumlah daerah atas program Pencocokan dan
Penelitian Daftar Pemilih hendaknya tidak dianggap remeh. Penolakan itu
bentuk lain dari sikap warga mencampakkan hak politik untuk memilih. Agar
kecenderungan ini tidak meluas, negara harus lebih intensif dalam upaya
menunjukkan dan menyadarkan hak pilih setiap warga negara.
Selain mencampakan hak
politik untuk memilih, kasus penolakan pencocokan dan penelitian itu pun
merefleksikan kemarahan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan kepada sistem
politik, moral politikus, kinerja penyelenggara pemerintahan atau keraguan
terhadap mekanisme atau sistem pemilihan umum (pemilu) itu sendiri.
Maka, fakta menolak
program pencocokan itu sangat layak untuk dikaitkan dengan kecenderungan
naiknya persentase warga negara yang tidak menggunakan hak pilih (nonvoting)
atau golput (golongan putih) dari pemilu ke pemilu.
Catatan resmi Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, suara
golput mencapai 24,89 persen, sedangkan partisipasi pemilih pada Pilpres 2014
hanya 69,58 persen. Sisanya, 30,42 persen, golput. Tahun lalu, ketika
dilaksanakan Pilkada DKI, warga Jakarta yang tidak menggunakan hak pilih
mencapai 22,9 persen dari total 7,2 juta pemilih.
Maka, ketika para petugas
KPU daerah dari sejumlah wilayah melaporkan adanya kelompok-kelompok warga
menolak atau tidak kooperatif terhadap Petugas Pemutakhiran Data Pemilih
(PPDP) pencocokan, rangkaian fakta kasus itu harus disikapi dengan serius.
Boleh jadi, penolakan
pencocokan menjadi indikasi akan membesarnya jumlah golput, baik dalam agenda
Pilkada 2018 maupun Pileg dan Pilpres 2019. DPR RI telah menyikapi persoalan
ini dengan menugaskan Komisi II DPR untuk berkomunikasi dengan KPU. DPR
mengimbau para PPDP terus mengoptimalkan proses pencocokan daftar pemilih.
DPR juga mendorong KPU
agar semakin intensif menyosialisasikan kegiatan pencocokan daftar pemilih
untuk memberi pemahaman kepada publik tentang pentingnya pendataan itu untuk
pelaksanaan Pilkada 2018 sekaligus meminimalkan permasalahan pada hari
pencoblosan.
Seperti diketahui, untuk
mendukung pelaksanaan Pilkada 2018, KPU sedang menggelar program pencocokan
Daftar Pemilih yang dilaksanakan oleh ratusan ribu PPDP.
Program pencocokan yang
dimulai sejak 20 Januari 2018 dilaksanakan di 31 provinsi dan 381
kabupaten/kota, mencakup 5.564 kecamatan, 64.534 desa/kelurahan dan 385.791
TPS.
Program pencocokan
diperkirakan akan mendatangi tidak kurang dari 1.928.955 rumah. Program
pencocokan dilaksanakan selama satu bulan. Tak hanya mendata, PPDP juga
melakukan sosialisasi mengenai pelaksanaan Pilkada Juni 2018 .
Pencocokan daftar pemilih
Pilkada 2018 berbasis data Kartu Tanda Penduduk elektronik atau E-KTP. Dengan
begitu, pencocokan akan optimal hasilnya jika didukung oleh semua pemerintah
daerah dengan data mengenai warga yang sudah berhak memilih.
Selain data E-KTP, KPU
juga mendata calon pemilih yang baru memiliki Surat Keterangan (Suket). Data
kependudukan untuk warga pemilik Suket lazimnya sudah direkam oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) di daerah.
Maka, agar program
pencocokan berjalan mulus dan menghadirkan hasil optimal, cukup strategis
jika Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan KPU. Kerja sama kedua
lembaga itu mendorong terbentuknya sinergi antara Disdukcapil daerah dan KPUD
dalam kegiatan pendataan warga yang berhak memilih.
Kerja sama Kemendagri-KPU
semakin terlihat urgensinya karena hasil program pencocokan tahun ini tidak
hanya akan dimanfaatkan KPU untuk menyusun daftar pemilih bagi kepentingan
pelaksanaan Pilkada 2018, tetapi juga sebagai bahan dasar menetapkan daftar
pemilih sementara untuk kepentingan Pileg dan Pilpres 2019. Terlebih karena
dalam pencocokan saat ini, KPU juga berupaya mendata penduduk potensial
pemilih pemilu (DP4).
Data Kemendagri tentang
Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) menyebutkan, ada 160.756.143
penduduk yang saat ini memenuhi syarat sebagai calon pemilih. Setelah KPU
melakukan sinkronisasi dengan data pemilih tetap dari pemilu terakhir, muncul
jumlah 163.346.802 pemilih dalam Pilkada 2018.
Tentu saja pemerintah, DPR
dan KPU berharap penolakan atas program pencocokan tidak meluas sehingga
persentase golput tidak bertambah. Upaya menaikkan persentase pemilih memang
menjadi pekerjaan gampang-gampang susah. Ketika survei menyebutkan bahwa
tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden terbilang cukup tinggi,
data dari survei itu tidak memberikan dampak signifikan terhadap pilkada.
Dalam pilkada, faktornya tentu saja sangat ditentukan oleh penilaian warga
setempat terhadap kinerja pemerintah daerah bersangkutan. Maka, dalam upaya
meningkatkan partisipasi pemilih pada tingkat Pilkada, kinerja dan moral
aparatur pemerintah daerah menjadi faktor paling signifikan.
Ada faktor lain
yang patut diwaspadai bersama, terkait dengan pandangan negatif dari publik
terhadap sistem atau mekanisme pemilihan yang gagal mencegah penggunaan isu
SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) untuk mendiskreditkan lawan
politik. Sedikit atau besar, kegagalan sistem pemilihan mencegah penggunaan
isu SARA pada gilirannya akan memperbesar persentase golput. Penggunaan isu
SARA dalam pemilu ataupun pilkada tidak hanya akan memperbesar persentase
golput, tetapi juga akan menyesatkan warga dalam proses menentukan pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar