Sang
Jenderal
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA,
17 Februari
2018
Hampir selama sebulan
Januari lalu, saya mendapat kesempatan untuk kembali ke Tanah Air tercinta.
Sebagai putra bangsa yang telah hidup di luar negeri lebih 31 tahun, sejak
memulai kuliah di Pakistan sekitar tahun 1988 hingga saat ini, pulang kampung
adalah momen yang selalu menarik dan manis.
Sering saya sampaikan ke
teman-teman di Tanah Air bahwa sejauh kaki berjalan, sejauh mata memandang,
merah putih tetap eksis di dada ini. Hubbul wathon (cinta Tanah Air) itu memang bagian dari tabiat (nature) manusia. Nabi pun
mengungkapkan itu ke kota kelahirannya: “kalau saja mereka tidak mengusirku
keluar darimu, tak bakal kutinggalkan engkau (Makkah)”.
Kepulangan saya kali ini
punya makna dan nilai tersendiri. Selain karena saya membawa misi dan mungkin
juga sebuah ambisi besar, yaitu rencana membangun pesantren pertama di
Amerika, juga berekesempatan bersilaturrahim dengan orang-orang hebat. Mereka
adalah anak-anak bangsa yang mungkin tidak salah kalau saya menyebut
“pilihan” (the chosen).
Pada kepulangan tiga bulan
lalu, saya berkesempatan ketemu dengan orang-orang hebat, di antaranya Wapres
Jusuf Kalla, mantan presiden RI Bambang Susilo Yudhoyono, Ketua MPR Zulkifli
Hasan, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Komisaris BPK Agus Joko,
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dan Wakil
Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang.
Mereka semua adalah
putra-putri terbaik bangsa ini. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya,
mereka telah menempatkan diri di garda terdepan melakukan yang terbaik bagi
bangsa dan negara ini.
Dalam tulisan bersambung
ini akan saya tuliskan pengalaman bertemu dengan sebagain tokoh-tokoh pilihan
itu. Tujuannya, hanya agar membiasakan diri mengapresiasi kelebihan dan
kontribusi putra putri terbaik bangsa, tanpa tendensi politik apapun.
Sang
jenderal, sang pemimpin
Jenderal Gatot Nurmantyo saya kenal sebagai
panglima TNI RI yang merakyat, tawadhu dan intelektual. Di bawah kepemimpinan beliau TNI menjadi
lebih solid dan dekat dengan rakyat. Saya diingatkan masa-masa seorang putra
Bone, Sulsel, Jenderal Jusuf memimpin tentara nasional kita saat itu. Kedekatan antara rakyat dan TNI menjadikan
bangsa dan negara semakin kuat.
Keinginan saya untuk
bersilaturrahim dengan beliau berawal ketika mendengar bahwa beliau tiba-tiba
mengalami “insiden” pelarangan masuk Amerika. Padahal saat itu beliau adalah
Panglima TNI dan diundang oleh Panglima militer Amerika Serikat.
Ketika saya mendengar
bahwa itu adalah kesalahan administrasi dan keprotokolan Amerika, saya
bertanya pada diri sendiri. Sedemikian kacaukah kerja-kerja administrasi dan
keprotokoleran Amerika? Sejujurnya kata hati saya menolak jika insiden itu
disebabkan oleh kesalahan administrasi.
Saya bahkan curiga jika
ada faktor yang lebih besar di balik dari itu. Melalui kebaikan hati seorang
teman baik terjadilah pertemuan itu. Awalnya saya merasa kaku, maklum akan
ketemu dengan seorang jenderal bintang empat dan menjadi pucuk pimpinan di
TNI kita. Seorang tentara apalagi seorang jenderal dengan posisi puncak di
TNI pasti sangat disiplin dan berwibawa.
Dalam benak saya suasana
pasti akan kaku dan menegangkan. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.
Saya bersama tiga orang lainnya diterima dengan suasana cair dan akrab.
Bahkan suasana keakraban itu semakin terasa dalam diskusi terbuka tentang
banyak hal sambil menikmati makan siang dengan masakan Mandi (ala Yaman).
Tidak canggung-canggung beliau sendiri
menuangkan makanan di piring kami.
Berbagai tema pun mengalir
dalam diskusi kita di siang hari itu. Dari sejarah Nusantara dan Islam,
hingga peranan ulama dalam menjaga NKRI, dan banyak lagi.
Tapi, dari semua itu yang
paling saya rasakan dari beliau adalah komitmen dan loyalitas yang tinggi
kepada bangsa dan negara. Dan uniknya loyalitas itu terbangun di atas
komitmen dan kebanggan beliau sebagai seorang Muslim. Sehingga saya menilai
jika pada diri beliau ada “melting pot” (titik temu) antara komitmen
keagamaan dan loyalitas kebangsaan sekaligus.
Mengenal beliau lebih
dekat menjadikan kita semakin tersadarkan betapa bangsa ini memerlukan sosok
“pemersatu” dalam keragamannya. Apalagi belakangan ini, terjadi ketegangan-ketegangan
antar elemen masyarakat akibat memanasnya suhu politik di tanah air.
Anak-anak bangsa
memerlukan sosok yang bisa merangkul semua elemen bangsa dengan hati dan jiwa
besar. Dan tampaknya beliau inilah sosok tokoh yang memiliki karakter itu.
Kesimpulan ini tentunya
bukan tanpa alasan. Ambillah sebagai misal, di saat-saat tensi meninggi pasca
pernyataan Gubernur Ahok yang dianggap melecehkan Alquran.
Berbeda dengan pejabat
lain di negara ini. Pendekatan beliau adalah pendekatan yang merangkul.
Pernyataan-penyataan beliau saat itu jelas merangkul pihak-pihak yang kecewa,
bahkan pada tingkatan tertentu marah. Pendekatan ini adalah sikap bijak dari
seorang jenderal, yang sekaligus menampakkan karakter seorang pemimpin
sejati.
Kebijakan-kebijakan beliau
selaku panglima TNI itu menjadikan beliau semakin dikenal oleh khalayak
ramai. Sehingga banyak yang mengharapkan beliau menyiapkan diri untuk
memainkan peranan yang lebih besar di negara ini.
Hal itu pula yang saya
tanyakan pada saat pertemuan terakhir. Bahkan saya termasuk salah seorang
yang mengharapkan dan mendorong beliau untuk memainkan“peranan lebih besar”
itu.
Sungguh mengejutkan
jawaban beliau kepada saya: “saya khawatir jika hal itu saya lakukan bukan
karena ridho Tuhan, atau bukan untuk kepentingan negara. Tapi karena ambisi
dan ego saya”.
Beliau kemudian
melanjutkan: “biarkan saya membenahi hati terlebih dahulu. Saya mau nyantri
dulu ustaz”.
Belakangan beliau intensif
melakukan kunjungan ke tokoh-tokoh agama, khususnya ke pesantren-pesantren.
Saya melihat keinginan beliau untuk nyantri bukan basa basi. Tapi sebuah
komitmen untuk menata diri, mempersiapkan peranan yang lebih besar itu.
Sejujurnya, di tengah arus
globalisasi yang semakin deras, dunia semakin terbuka, menjadikan hampir
tiada batas antara manusia dan negara, hanya ada dua kemungkinan di hadapan
kita.
Menjadi pemain dan
menentukan wajah dunia. Atau menjadi korban-korban keganasan globalisasi dan
keterbukaan itu. Dan untuk menjadi pemain dan ikut mewarnai dunia, bangsa dan
negara ini memerlukan pemimpin yang berani dan kuat.
Pemimpin yang memiliki
kharisma di mata dunia, didengar, dan memiliki kekuatan yang menentukan
(decision power). Jika tidak, maka negara akan dilirik setengah hati dan
kurang nilai (value). Akhirnya negara dan bangsa besar bagaikan buih yang
bergerak mengikut arah hempasan ombak lautan.
Beberapa waktu terakhir
ini, beliau menjadi sorotan luas karena pernyataan tentang pemberhentian
dirinya dari jabatan tertinggi di TNI. Beliau menyatakan bahwa dirinya tidak
dipecat, tapi justeru digantikan dengan orang lain. Beliau bahkan
menyampaikan terima kasih kepada presiden, karena penggantian itu memberikan kesempatan bagi dirinya untuk
melakukan introspeksi diri.
Menata kembali hati dan
jiwa pengabdiannya, bahwa semua itu beliau lakukan bukan untuk sebuah pamrih
dan kepentingan pribadi. Tapi untuk Tuhan dan negara (for God and country).
Beliau dalam menyampaikan
pernyataan itu teringat oleh sebuah peristiwa sejarah yang agung dalam
perjalanan umat ini. Sejarah Khalifah Umar dan Panglimanya, Khalid bin Walid.
Sebagai santri, saya tahu betul bahwa
penyebutan fakta sejarah itu sangat tepat pada tempatnya. Karena sejarah
memang untuk ditauladani. Bukan untuk dihafal.
Pernyataan beliau itu
ditanggapi sangat positif oleh banyak kalangan. Salah satunya dari seorang
tokoh Jaya Supriyana yang menyebut dirinya sebagai pembelajar makna keluhuran
budi pekerti. Beliau menuliskan kekaguman itu dalam sebuah tulisan dengan
judul “Mencari Keridhoan Allah”. Penyebutan diri Jaya Supriyana sebagai
pembelajar makna keluhuran budi pekerti menunjukkan keluhuran budi pekerti
sang jenderal.
Yang pasti bagi saya
pribadi pernyataan itu adalah ekspresi alami dari sebuah hati dan jiwa yang
“down to earth” (tawadhu). Sebuah kejiwaan yang tegar, yang tidak terombang
ambing oleh arus pergerakan dunia. Sebuah karakter patriotik sejati dari sang
panglima, yang terayomi oleh rasa religiositas yang dalam.
Kalau ada pihak-pihak yang
ngeyel, mencari-cari celah untuk menyalahkan, saya yakin hal itu tidak
mengganggu kebesaran jiwa beliau. Lebih dari itu saya yakin jika hal ini akan
diingat oleh bangsa ini, khususnya umat Islam, bahkan menjadi catatan indah
dalam sejarah kebangsaan itu sendiri.
Saya hanya bisa mendoakan
semoga sang jenderal diberikan kemuliaan lebih, di dunia dan di akhirat.
Semoga dijaga dari berbagai serangan dan terpaan fitnah. Teringat kata-kata
beliau: “Begini saja sudah diserang sana-sini. Apalagi kalau menyatakan
keinginan untuk berbuat yang lebih besar bagi negara ini”.
Merespon itu saya
menyampaikan kepada beliau: “hidup itu
hanya sekali. Dan hidup itu adalah asas manfaat. Bahwa yang terbaik di antara
kita adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Setiap orang ada momentum
yang tepat untuk memberikan manfaat terbaiknya bagi manusia dan dunia. Dan
karenanya Bapak Jenderal, for god and country (untuk Tuhan dan negara) Bapak
dituntut untuk melangkah lebih tinggi. Semoga Allah menguatkan”. Amin! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar