”Quo
Vadis” Impor Beras
Enny Sri Hartati ; Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and
Finance
|
KOMPAS,
20 Februari
2018
Efektivitas keputusan
pemerintah untuk mengimpor beras pada Januari 2018 kini menghadapi
pertaruhan. Sebelumnya, penetapan impor menjadi kontroversi dan polemik
panjang. Padahal, impor adalah hal biasa. Undang-undang pangan pun
memungkinkan opsi impor. Jika kebutuhan tak mampu dipenuhi dari produksi
dalam negeri, kebijakan impor ”dihalalkan”. Namun, menjadi persoalan ketika
keputusan impor didasarkan pada adanya gejolak harga beras.
Hal itu menghilangkan
dasar yuridis, rasionalitas, ataupun urgensi kebijakan itu. Pasalnya, banyak
faktor menjadi determinan gejolak harga beras di Indonesia. Secara
fundamental, variabel kunci stabilitas harga memang keseimbangan permintaan
dan pasokan. Namun, masalah menjadi kompleks ketika beras jadi kebutuhan
pangan pokok seluruh rakyat Indonesia, sementara produksi beras tidak merata
di seluruh wilayah.
Terbukti, sekalipun impor
beras mulai masuk Februari ini, stabilitas harga beras tak kunjung terjadi.
Memang, impor beras yang akan tiba sekitar 281.000 ton itu tidak masuk ke
pasar, tetapi ke gudang Perum Bulog. Minimal, itu berarti komitmen pemerintah
menambah cadangan Bulog akan direalisasikan. Namun, kenapa kondisi
keseimbangan pasar seolah tetap bergeming. Padahal, dengan cadangan yang
dimiliki, pemerintah memiliki instrumen melakukan operasi pasar. Apalagi,
beras impor akan masuk melalui pelabuhan di sembilan daerah.
Awal pekan kedua Februari,
harga beras jenis medium (IR 64, IR 42, dan Muncul) di Pasar Induk Beras
Cipinang, Jakarta Timur, dan Pasar Beras Johar, Karawang, Jawa Barat, mulai
turun. Sayangnya hal itu belum berlangsung secara persisten. Pada akhir
pekan, harga beras kembali berfluktuasi. Hal ini kuat mengindikasikan
persediaan beras masih di bawah kebutuhan. Hal itu dapat dipahami karena
panen masih terbatas di beberapa daerah. Panen raya baru diprediksi terjadi
pada pertengahan Maret-April 2018.
Ironisnya, harga gabah dan
beras di daerah yang mulai panen tetapi tidak mengalami defisit produksi
cenderung turun, seperti di sekitar wilayah Surakarta. Sebaliknya, sekalipun
di Indramayu dan beberapa daerah mulai panen, harga gabah dan beras masih
relatif tinggi. Sekali lagi, hal itu menunjukkan, di daerah yang defisit
produksi, harga relatif kaku atau tidak elastis.
Ini membuktikan, argumen
pemerintah melakukan impor untuk stabilisasi harga kian kehilangan esensi.
Memasuki Februari 2018, ada atau tidak ada impor, harga beras di beberapa
daerah dengan sendirinya akan turun. Justifikasi keputusan impor beras
pemerintah akhirnya digeser, untuk pemenuhan cadangan beras pemerintah
melalui Bulog. Jika demikian, semestinya yang diimpor beras medium, bukan
premium.
Efektivitas
impor
Ketidakkonsistenan
prognosis kebijakan impor pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan impor
kehilangan arah. Berikut ini lima alasan dan fakta untuk menuju kesimpulan
tersebut.
Pertama, jika impor
dimaksudkan untuk stabilisasi harga, mestinya di tengah gejolak harga di
beberapa daerah yang defisit, Bulog segera menyerap beras dari daerah yang
surplus. Dengan demikian, pemerintah segera dapat menggunakan instrumen
operasi pasar yang efektif untuk stabilisasi harga. Pasalnya, sekalipun
pemerintah mengklaim produksi cukup, pasokan berada dalam penguasaan swasta.
Sementara cadangan pemerintah sangat terbatas.
Kedua, rendahnya cadangan
Bulog disebabkan harga pembelian pemerintah (HPP) selalu di bawah harga pasar
dan ongkos produksi petani meski saat ini pemerintah telah memberikan
fleksibilitas pembelian 20 persen di atas HPP. Persoalan lainnya, sebagian
besar petani adalah petani gurem. Mereka kesulitan menjual langsung kepada
Bulog. Sementara pedagang langsung datang ke sawah petani tanpa memberikan
persyaratan tingkat kekeringan gabah dengan standar tertentu. Namun, jika
kembali pada esensi HPP untuk mengerem kejatuhan harga petani saat panen
raya, fleksibilitas HPP 20-30 persen cukup efektif.
Ketiga, saat Bulog
memiliki cadangan beras dari impor, wajar jika petani semakin khawatir akan
anjloknya harga gabah saat memasuki panen raya Maret- April 2018. Apalagi,
mekanisme pemerintah mengganti selisih HPP dengan harga pembelian melalui APBN
sangat tidak sesuai dengan penugasan Bulog sebagai lembaga penyangga dan
stabilisasi pangan. Penggantian dari pemerintah akan dilakukan setelah ada
audit atas laporan pembelian. Artinya, Bulog harus beroperasi dengan modal
dari sumber pembiayaan komersial. Di tengah berbagai keterbatasan
infrastruktur Bulog, wajar jika penyerapan Bulog dari petani tidak pernah
optimal dan akan memilih memenuhi cadangan dari impor yang lebih murah.
Keempat, berdasarkan
Survei BPS terkait Pola Distribusi Perdagangan Beras 2017, rantai distribusi
beras dari produsen ke konsumen akhir terpotong satu, yaitu hilangnya posisi
agen. Sebelumnya, rantai distribusi dari produsen ke distributor, agen, dan
pengecer baru ke tangan konsumen. Mestinya semakin pendek dan efisien jalur distribusi,
margin perdagangan cenderung turun. Ironisnya, margin perdagangan dan
pengangkutan beras justru naik dari 21,19 persen (2016) menjadi 26,12 persen
(2017). Hilangnya peran agen, dikhawatirkan, karena para pemain kecil
tersisih oleh pemain besar. Jika ini yang terjadi, tingkat penguasaan
dominasi pasokan lebih terkonsentrasi pada segelintir pemain besar.
Kelima, hiruk-pikuk
fluktuasi harga beras tidak berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan
petani. Nilai tukar petani (NTP) pada Januari 2018 justru menurun
dibandingkan Desember 2017. Jika kebijakan impor beras tidak berimplikasi
pada stabilitas harga konsumen dan peningkatan kesejahteraan petani,
kebijakan impor beras ini menguntungkan siapa?
Ke depan, kebijakan
politisasi impor harus segera dihentikan. Jika pilihan impor tetap dilakukan,
pijakannya harus jelas dan konkret, dikembalikan pada esensinya, yakni guna
sebesar- besarnya melindungi kepentingan masyarakat. Untuk mencegah
politisasi kebijakan impor pangan, harus pula segera direalisasikan neraca
komoditas antardaerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar