Audit
Dana Kampanye
Yusfitriadi ; Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih
untuk Rakyat (JPPR)
|
KOMPAS,
21 Februari
2018
Dana kampanye merupakan salah satu poin
penting yang diatur dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada. KPU juga telah
mengeluarkan peraturan teknis mengenai dana kampanye dalam Peraturan KPU No
5/2017.
Pengaturan dana kampanye ini setidaknya
bertujuan untuk menciptakan lapangan kontestasi yang setara antar-kandidat,
mencegah potensi korupsi akibat tingginya biaya pemenangan pemilihan kepala
daerah (pilkada), dan menjaga integritas pilkada dari segi pendanaan.
Dibanding pada pilkada sebelumnya,
pengaturan dana kampanye pilkada saat ini cenderung lebih “ketat”. Hal tersebut
dapat dilihat dari adanya pengaturan baru, seperti subsidi negara melalui
APBD pada beberapa pos kampanye, adanya pembatasan maksimal pengeluaran dana
kampanye, dan adanya ketentuan pembatalan sebagai pasangan calon apabila
laporan akhir dana kampanye terlambat dilaporkan.
Dari berbagai informasi dan hasil
penelitian pada Pilkada Serentak 2015, permasalahan yang cukup mendasar
adalah audit dana kampanye. Melalui audit akan dapat diukur tingkat kepatuhan
dan kewajaran serta transparansi pasangan calon dalam menerima dan
menggunakan dana kampanye sesuai dengan UU dan peraturan penyelenggaraan
pilkada serentak ini.
Tak ada perbaikan aturan
Namun, pengaturan dana kampanye tersebut
tidak disertai perbaikan aturan mengenai audit dana kampanye. Hal tersebut
akan berimplikasi pada tidak terwujudnya tujuan pengaturan dana kampanye.
Padahal, audit dana kampanye merupakan salah satu penyangga dipatuhi atau
tidaknya pengaturan dana kampanye.
Beberapa hal yang masih jadi permasalahan
dalam pengaturan dana kampanye di antaranya, pertama, tujuan audit dana
kampanye tidak menjawab/mendukung tujuan pengaturan dana kampanye. Audit dana
kampanye tak hanya dilakukan dalam rangka mewujudkan terciptanya transparansi
dan akuntabilitas publik atas pencatatan, pengelolaan, dan pelaporan dana
kampanye kandidat. Lebih dari itu, audit dana kampanye diharapkan menjaga
integritas kampanye.
Namun, dalam PKPU terkait dana kampanye dan
Keputusan KPU No 121/2015 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye
disebutkan bahwa bentuk perikatan audit dana kampanye dalam pilkada sebatas
audit kepatuhan. Tujuannya hanya untuk menilai kesesuaian pelaporan dana
kampanye dengan peraturan perundang-undangan dana kampanye. Maka, audit
kepatuhan pada pilkada tidak akan memberikan gambaran utuh atas realitas
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.
Dua isu krusial
Kedua, tahapan pemilihan atau penunjukan
kantor akuntan Publik (KAP). Pada tahapan ini terdapat dua isu krusial,
yakni, pertama, proses penunjukan langsung tertutup. Seleksi KAP dilakukan
oleh KPUD. Proses seleksi tersebut mengacu pada proses seleksi konsultan
dalam UU Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Dengan mengacu pengaturan tersebut,
mayoritas KAP akan dipilih melalui penunjukan langsung.
Sebab, anggaran audit dana kampanye umumnya
kurang dari Rp 50 juta. Proses penunjukan KAP secara langsung ini berpotensi
adanya “transaksi terlarang” antara oknum KPUD dan KAP. Seharusnya, hal
ini dapat diantisipasi dengan proses pemilihan yang terbuka.
Namun proses pemilihan KAP sejauh ini
cenderung tertutup dan bahkan tidak diketahui dengan jelas oleh asosiasi
profesi akuntan publik. Padahal, KPUD tentu akan memperoleh banyak input
mengenai rekam jejak dan kompetensi KAP yang akan ditunjuk.
Isu krusial berikutnya, yakni audit
potensial tidak dilakukan oleh akuntan KAP yang ditunjuk oleh KPUD melainkan
oleh tenaga lepas atau bahkan disubkontrakkan pada pihak lain yang tidak
kompeten. PKPU tentang dana kampanye mengatur bahwa setiap KAP hanya
bisa mengaudit dana kampanye satu pasangan calon di daerah bersangkutan.
Namun, KAP dapat melakukan audit dana
kampanye pasangan calon di daerah lain. Tidak ada batasan berapa banyak
pasangan calon yang dana kampanyenya dapat diaudit oleh satu KAP.
Dampaknya, satu KAP dapat mengaudit banyak
pasangan calon di berbagai daerah melebihi kemampuan akuntan publik (AP) yang
dimilikinya. Peluang audit tidak dilaksanakan oleh akuntan publiknya atau
bahkan disubkontrakkan kepada pihak lain. Dihawatirkan yang terjadi adalah
proses “audit-auditan”.
Selain itu, pengaturan ini tidak berangkat
dari tujuan yang jelas. Proses audit dana kampanye dikhawatirkan tidak
efektif dan efisien. Proses audit dana kampanye akan lebih efektif dan adil
apabila dilakukan oleh satu KAP di satu daerah pilkada (satu KAP mengaudit
semua pasangan calon di satu daerah).
Ketiga, audit dana kampanye tidak disertai
anggaran yang wajar/memadai. Dilihat dari besarannya, anggaran audit dana
kampanye sangat tidak wajar atau sangat rendah. Persoalan ini memunculkan
kekhawatiran kualitas hasil audit dana kampanye jauh di bawah standar dan
tidak profesional. Di beberapa daerah bahkan diketahui anggaran auditnya di
bawah Rp 10 juta.
Padahal, audit dana kampanye memerlukan
banyak prosedur audit, seperti verikasi fisik beberapa penyumbang. Proses
tersebut rawan dilewati dengan alasan keterbatasan biaya.
Keempat, audit dana kampanye tak disertai
proses audit yang komprehensif. KAP hanya melakukan audit laporan dana
kampanye yang disampaikan oleh pasangan calon. Padahal, umumnya tak semua
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dilaporkan.
Apabila ingin dicapai kualitas audit dana
kampanye yang maksimal, maka auditor harus difasilitasi dapat menjangkau
penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye, baik yang dilaporkan maupun yang
tidak dilaporkan.
Untuk itu, pemilihan/penunjukan KAP
sebaiknya dilakukan sebelum masa kampanye dimulai. AP yang ditunjuk harus
melakukan tugas di lapangan selama masa kampanye berlangsung dengan melakukan
sampling atas seluruh aktivitas kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon.
Sebagai alternatif, KAP seharusnya
bersinergi dengan pengawas pemilu yang juga telah dimandatkan memantau
potensi adanya pengeluaran kampanye yang tak dilaporkan dalam laporan dana
kampanye.
Tak ada kontrol
Kelima, tidak adanya kontrol audit dana
kampanye. Hingga saat ini belum diatur adanya kontrol atas pelaksanaan audit
dana kampanye yang dilakukan oleh KAP. Selama ini, kontrol terhadap para KAP
di seluruh Indonesia dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI) selaku satu-satunya asosiasi profesi yang menaungi para
akuntan publik Indonesia.
Namun, kenyataannya, belum ada mekanisme
kontrol atas pelaksanaan audit dana kampanye khususnya pada pelaksanaan
pilkada.
Keenam, potensial berujung pada dampak
buruk. Dampak itu, baik terhadap profesi akuntan publik dan KAP maupun
terhadap akuntabilitas hasil audit dana kampanye. Selain berpotensi
menyuburkan KAP dan akuntan publik yang belum berkompeten dalam mengaudit
dana kampanye, hasil audit juga dikhawatirkan tidak memenuhi standar dan
tidak dilakukan dengan profesional.
Hasil audit dana kampanye pun kemudian
hanya sebagai “syarat” dana kampanye disebut transparan dan akuntabel tetapi
mengabaikan hal-hal substansial di dalamnya.
Permasalahan dana kampanye seperti
dipaparkan di atas, tentu merupakan bagian yang harus menjadi fokus
pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu Republik Indonesia, dengan berbagai
tingkat kompleksitas dan kerumitan yang harus dihadapi.
Hal tersebut lebih didsebabkan karena soal
seputar dana kampanye merupakan permasalahan yang klasik karena selalu muncul
dalam setiap momentum politik, baik pada pemilu legislatif maupun pada pemilu
presiden dan wakil presiden, tidak terkecuali pada pemilu gubernur dan wakil
gubermur, bupati dan wakil bupati serta pemilu wali kota dan wakil wali kota.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar