Kendali
Demokratik
Andi Widjajanto ; Analis Pertahanan
|
KOMPAS,
20 Februari
2018
Ada persepsi, di masa
Presiden Joko Widodo, reformasi militer berjalan mundur. Persepsi ini muncul dengan, antara lain,
melihat pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan, kesepakatan antara
Panglima TNI dan Kapolri tentang pelibatan TNI dalam penanganan demonstrasi,
dan—walaupun tidak dilakukan oleh TNI—wacana penunjukan perwira aktif Polri sebagai
pelaksana tugas gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat.
Pada dasarnya, persepsi
ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses demokratisasi berbalik arah dan
sedang membawa Indonesia kembali ke era tentara politik di masa Orde Baru.
Kekhawatiran tersebut bisa
dijawab dengan memperkuat satu konsep utama, kendali demokratik. Konsep ini
ditawarkan sebagai solusi untuk mencegah perluasan peran politik militer yang
ditandai adanya intervensi militer ke sistem politik.
Telaah yang dilakukan para
peneliti hubungan sipil-militer menunjukkan, intervensi militer muncul karena
bertemunya dua variabel, yaitu (a) persepsi bahwa sipil lemah dan melanggar
konstitusi dan (b) sipil yang lemah ini mengganggu kepentingan militer dengan
melakukan intervensi terlalu dalam ke urusan taktis operasional militer.
Untuk mencegah kedua variabel itu muncul, kerangka kerja kendali demokratik
menawarkan enam solusi yang sedang dikerjakan pemerintahan Presiden Jokowi.
Enam
solusi
Solusi pertama, penguatan
kerangka regulasi di bidang pertahanan. Solusi ini menginginkan adanya paket
regulasi lengkap untuk menopang UU Pertahanan Negara, UU TNI, dan UU Industri
Pertahanan sehingga ada legitimasi kuat bagi Kementerian Pertahanan dan TNI
untuk membentuk sistem pertahanan semesta. Harus diakui, kelemahan utama
proses reformasi sejak 2000 ialah penyusunan regulasi di tingkat UU untuk
bidang pertahanan. Di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan
DPR berhasil menyelesaikan UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Di masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, hanya UU Industri Pertahanan yang berhasil
disahkan. Proses pembahasan rancangan UU yang lain, seperti UU Bela Negara,
UU Komponen Pertahanan, UU Perbantuan TNI, dan UU Peradilan Militer, hingga
hari ini mengalami stagnasi dan butuh terobosan politik dari Presiden Jokowi
agar bisa digulirkan kembali di Program Legislasi Nasional 2018-2019.
Solusi kedua, penataan
organisasi pertahanan untuk memperjelas rentang kewenangan antara Kementerian
Pertahanan dan Markas Besar TNI. Tuntutan demokratik untuk memastikan bahwa
jabatan Menteri Pertahanan tak dirangkap Panglima TNI—atau adanya kendali
administratif anggaran untuk proses pengadaan persenjataan TNI oleh
Kementerian Pertahanan—adalah contoh dari penataan organisasi yang telah
dilakukan saat ini untuk memperkuat kendali demokratik. Salah satu pencapaian
utama dari sisi penataan organisasi pertahanan adalah dikeluarkannya Perpres
Nomor 62 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi TNI yang, antara lain,
memberikan mandat kepada Panglima TNI untuk membentuk Komando Gabungan yang
akan memperkuat karakter TNI sebagai angkatan perang terpadu.
Solusi ketiga,
menghilangkan karakter tentara politik dan niaga dengan menguatkan karakter
TNI sebagai tentara profesional. Ini telah dilakukan secara konsisten sejak
berlakunya UU TNI tahun 2004. Saat ini, netralitas TNI jadi pakem utama untuk
memastikan tentara tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tentara tidak
jadi anggota dan pengurus partai politik, dan tentara harus pensiun dini jika
ingin maju dalam proses pemilu. Pakem ini juga diperkuat ketentuan tentara
tak bisa menduduki jabatan di luar jabatan-jabatan yang diatur dalam UU TNI.
Solusi keempat, penguatan
gelar TNI. Melalui Perpres No 62/2016,
Presiden Jokowi telah memberikan mandat kepada Panglima TNI untuk membentuk
Komando Gabungan. Dalam paparan di Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan pada
Januari 2018, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjabarkan rencana
strategis TNI untuk membentuk tiga komando utama baru, yaitu Divisi III
Kostrad, Armada Tengah, Pasukan Marinir III, dan Komando Operasi AU III yang
akan mengarah pada pembentukan Komando Gabungan. Jika ini dilakukan, kita
akan melihat gelar baru TNI yang tak lagi didasarkan atas pertimbangan
politik teritorial era Orde Baru, tetapi sudah mengarah pada pertimbangan
keterpaduan lintas angkatan yang disesuaikan dengan kondisi geografis serta
dinamika ancaman terkini.
Solusi kelima, kendali dan
komitmen sipil untuk menyediakan sumber daya bagi pengembangan kekuatan TNI.
Kendala utama di masa pemerintahan Jokowi ialah kondisi ekonomi makro tak
memungkinkan pemerintah mengalokasikan anggaran sesuai proyeksi pemenuhan
kekuatan pokok minimum 2024. Kendala ini berusaha diatasi Jokowi dengan
menawarkan paradigma baru investasi pertahanan untuk membuat agar pengadaan
alat utama sistem persenjataan (alutsista) bukan dilihat sebagai belanja
pertahanan semata. Dengan konsep investasi pertahanan ini, proses transfer
teknologi, offset pertahanan, kalkulasi biaya daur hidup senjata, hingga
proporsi muatan teknologi lokal wajib dipenuhi di tiap proses pengadaan
alutsista.
PR
bagi Presiden Jokowi
Solusi keenam, penguatan
legitimasi politik dalam pengerahan kekuatan TNI. Idealnya, pengerahan
kekuatan TNI diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga ada prosedur
politik baku yang menjamin keabsahan operasi militer yang dilakukan. Di era
Jokowi, prosedur baku pelibatan TNI
untuk strategi kontra teror sedang diproses dalam perubahan UU
Terorisme. Pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan harus dikaitkan dan
diperkuat dengan pengaturan lebih operasional tentang tugas AD, AL, AU untuk
memberdayakan wilayah pertahanan sehingga tidak dianggap telah terjadi
perluasan fungsi TNI.
Nota kesepahaman antara
Kapolri dan Panglima TNI tentang perbantuan TNI untuk menangani aksi massa
harus dipandang sebagai aturan transisi untuk mengisi kekosongan aturan di
tingkat peraturan pemerintah atau bahkan UU tentang Tugas Perbantuan TNI.
Sejak 2004, prosedur politik baku tentang pengerahan TNI tidak berhasil
dirumuskan secara tuntas. Presiden Jokowi memiliki pekerjaan rumah untuk
segera membentuk prosedur ini sehingga kekhawatiran tentang intervensi
militer di luar ranah pertahanan bisa dihilangkan.
Keenam solusi ini jadi
pekerjaan rumah pemerintah sejak berlakunya UU Pertahanan (2002) dan UU TNI
(2004). Presiden Jokowi memiliki peluang besar untuk memantapkan reformasi
militer dengan memperkuat kendali demokratik, terutama dengan menggulirkan
kembali proses legislasi beberapa UU di bidang pertahanan negara dan
penyusunan prosedur baku pengerahan kekuatan TNI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar