Parpol
dan Nalar Politik Rente
Dahnil Anzar Simanjuntak ; Ketua Umum Pimpinan Pusat
Pemuda Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
17 Februari
2018
Dalam doktrin etik, yang
diperkenalkan Auguste Comte, ada istilah populer yang kita kenal, yakni
altruisme. Altruisme adalah doktrin
etik di mana setiap individu termotivasi untuk memberikan kebermanfaatan bagi
orang banyak, atau dalam etika tasawuf sering disebut dengan istilah
futuwwah, yakni sikap totalitas seseorang melayani kepentingan orang lain,
kesiapan memikul berbagai bentuk penderitaan.
Egoisme adalah sikap etik
yang sebaliknya, individu selalu termotivasi bekerja untuk kepentingan
dirinya. Penulis berusaha memahami politik dengan nalar idealis-moralis ala
Aristoteles yang melihat politik sebagai usaha yang dilakukan warga negara
untuk menghadirkan kemaslahatan bersama.
Kontestasi kekuasaan
dilakukan untuk mendapatkan kesempatan menjadi manusia paling bermanfaat atau
berlomba-lomba dalam kebaikan, yakni motivasi etik untuk bekerja bagi
kepentingan orang banyak.
Maka itu, sejatinya nalar
politik berada pada bingkai sikap mental atruisme, dengan kata lain etika
politik dengan penalaran atruisme, di mana politik ditempatkan sebagai jalan
ibadah (ubudiyah) untuk menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.
Namun, das sein sering
kali tidak 'berjodoh' dengan das sollen. Das sein, politik secara etik
berubah menjadi ruang yang penuh dengan kompetisi egoisme.
Kompetisi untuk memenuhi
syahwat, kepentingan pribadi, dan kelompok sehingga tidak jarang politik
identitas menjadi 'bumbu' penting dalam setiap kompetisi politik karena
memang praktiknya semua tentang upaya untuk memaksimalkan utilitas individu.
Upaya memaksimalkan
utilitas individu tersebut, identik dengan etika ekonomi, sehingga perburuan
rente menjadi laku jamak sebagai fenomena politik kekinian. Politik bak pasar
ekonomi, di mana transaksi mengejar keuntungan pribadi dan kelompok
dimaksimalkan.
Maka itu, kartel-kartel
partai politik pun terbentuk dengan sendirinya untuk memastikan kepuasan
pribadi dan kelompok itu bisa dipenuhi politik uang dalam berbagai bentuk.
Mulai dari praktik mahar
politik untuk mendapat dukungan partai politik bagi para calon kepala daerah,
praktik suap petugas pemilu, bagi-bagi uang kepada pemilih, dan berbagai
praktik transaksi politik lainnya ramai menghiasi politik kita.
Pimpinan partai atau
pendiri partai sering kali berlaku bak pemilik perusahaan. Partai politik
tidak lebih sekadar menjadi perusahaan kesekian bagi pendiri atau pemimpin
puncak partai politik, meskipun penulis tidak berani menyebut semua partai
politik seperti itu.
Mesin
perburuan rente
Partai politik menjadi
mesin perburuan rente, tentu penggerak mesin tersebut adalah para pengurus
partai politik yang memiliki jabatan-jabatan penting politik mulai legislatif
sampai eksekutif, mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.
Dengan demikian, tidak ada
tempat untuk nalar kesejatian politik, yakni nalar altruisme. Semua berubah
menjadi upaya memenuhi egoisme, perburuan rente. Politisi yang berusaha
merawat nalar politik altruistik sering kali tidak mendapat tempat. Mereka
harus bertarung melalui berbagai cara berhadapan dengan nalar politik rente
para elite, bahkan tidak jarang juga akan berhadapan dengan nalar politik
rente voters.
Nalar politik rente
tersebut membentuk pasar politik yang bersifat oligopoli. Pasar politik
Indonesia, mulai dari pusat sampai daerah, dikuasai kartel-kartel partai
politik dengan politisi yang memiliki 'darah biru' politik atau uang banyak.
Mereka yang dengan leluasa
bisa masuk dalam kompetisi pasar politik yang oligopoli tersebut. Nalar
politik rente merobohkan idealisme politik sebagai upaya untuk menghadirkan
kemaslahatan bersama, sehingga korupsi menjadi praktik jamak.
Namun, penulis tidak
hendak melakukan generalisasi, di tengah pasar politik oligopoli dengan nalar
politik rente tersebut. Pasti selalu ada celah cahaya bagi nalar-nalar
politik yang merawat etika altruisme, meskipun tentu bukan pekerjaan mudah
untuk menang dalam kompetisi.
Politik
altruisme
Bila ada salah satu
kesuksesan demokrasi Indonesia di tengah nalar politik rente para elitenya,
adalah publik yang sadar terhadap peran penting mereka sebagai bagian dalam
proses demokrasi, meskipun ongkos yang harus kita bayar sangat mahal.
Publik Indonesia masih
didominasi oleh mereka-mereka yang terpapar pandemik 'virus' politik nalar
rente sehingga setiap momentum 'pesta demokrasi’ selalu dimanfaatkan sebagai
alat untuk berburu rente dari politisi yang hendak berkompetisi.
Namun, tidak sedikit pula,
publik Indonesia, khususnya kelas menengah yang mulai membangun kesadaran
kolektif untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi nalar politik altruisme,
dan kesadaran kelas menengah ini adalah asa bagi Indonesia.
Apalagi, era sosial media
menjadi instrumen penting dalam membangun kesadaran nalar politik altruisme
untuk melawan nalar politik rente yang masih mendominasi. Kesadaran kolektif
kelas menengah ini harus digerakkan dan dimobilisasi untuk melawan nalar
politik rente tersebut.
Tujuannya agar kelompok
yang lebih besar dan nyaris tidak peduli dengan praktik politik selama ini,
bangkit bersama. Media sosial adalah kunci untuk menyebar kesadaran nalar
politik altruisme tersebut, yakni kesadaran bahwa politik adalah jalan
menebar gagasan hidup bersama yang lebih baik.
Kesadaran bahwa politik
adalah perjuangan nilai dan idealisme masa depan, di mana manusia Indonesia
sebagai subjek dan objek utama dari politik itu sendiri, sehingga terbangun
masyarakat yang menurut Gunar Myrdal, memiliki watak hard culture, di mana
kedisiplinan, komitmen terhadap janji, dan berbagai nilai-nilai berkemajuan
lainnya menjadi mental utama masyarakatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar