Selasa, 20 Februari 2018

Parpol dan Nalar Politik Rente

Parpol dan Nalar Politik Rente
Dahnil Anzar Simanjuntak  ;    Ketua Umum Pimpinan Pusat
Pemuda Muhammadiyah
                                                  REPUBLIKA, 17 Februari 2018



                                                           
Dalam doktrin etik, yang diperkenalkan Auguste Comte, ada istilah populer yang kita kenal, yakni altruisme.  Altruisme adalah doktrin etik di mana setiap individu termotivasi untuk memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak, atau dalam etika tasawuf sering disebut dengan istilah futuwwah, yakni sikap totalitas seseorang melayani kepentingan orang lain, kesiapan memikul berbagai bentuk penderitaan.

Egoisme adalah sikap etik yang sebaliknya, individu selalu termotivasi bekerja untuk kepentingan dirinya. Penulis berusaha memahami politik dengan nalar idealis-moralis ala Aristoteles yang melihat politik sebagai usaha yang dilakukan warga negara untuk menghadirkan kemaslahatan bersama.

Kontestasi kekuasaan dilakukan untuk mendapatkan kesempatan menjadi manusia paling bermanfaat atau berlomba-lomba dalam kebaikan, yakni motivasi etik untuk bekerja bagi kepentingan orang banyak.

Maka itu, sejatinya nalar politik berada pada bingkai sikap mental atruisme, dengan kata lain etika politik dengan penalaran atruisme, di mana politik ditempatkan sebagai jalan ibadah (ubudiyah) untuk menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.

Namun, das sein sering kali tidak 'berjodoh' dengan das sollen. Das sein, politik secara etik berubah menjadi ruang yang penuh dengan kompetisi egoisme.

Kompetisi untuk memenuhi syahwat, kepentingan pribadi, dan kelompok sehingga tidak jarang politik identitas menjadi 'bumbu' penting dalam setiap kompetisi politik karena memang praktiknya semua tentang upaya untuk memaksimalkan utilitas individu.

Upaya memaksimalkan utilitas individu tersebut, identik dengan etika ekonomi, sehingga perburuan rente menjadi laku jamak sebagai fenomena politik kekinian. Politik bak pasar ekonomi, di mana transaksi mengejar keuntungan pribadi dan kelompok dimaksimalkan.

Maka itu, kartel-kartel partai politik pun terbentuk dengan sendirinya untuk memastikan kepuasan pribadi dan kelompok itu bisa dipenuhi politik uang dalam berbagai bentuk.

Mulai dari praktik mahar politik untuk mendapat dukungan partai politik bagi para calon kepala daerah, praktik suap petugas pemilu, bagi-bagi uang kepada pemilih, dan berbagai praktik transaksi politik lainnya ramai menghiasi politik kita.

Pimpinan partai atau pendiri partai sering kali berlaku bak pemilik perusahaan. Partai politik tidak lebih sekadar menjadi perusahaan kesekian bagi pendiri atau pemimpin puncak partai politik, meskipun penulis tidak berani menyebut semua partai politik seperti itu.

Mesin perburuan rente

Partai politik menjadi mesin perburuan rente, tentu penggerak mesin tersebut adalah para pengurus partai politik yang memiliki jabatan-jabatan penting politik mulai legislatif sampai eksekutif, mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.

Dengan demikian, tidak ada tempat untuk nalar kesejatian politik, yakni nalar altruisme. Semua berubah menjadi upaya memenuhi egoisme, perburuan rente. Politisi yang berusaha merawat nalar politik altruistik sering kali tidak mendapat tempat. Mereka harus bertarung melalui berbagai cara berhadapan dengan nalar politik rente para elite, bahkan tidak jarang juga akan berhadapan dengan nalar politik rente voters.

Nalar politik rente tersebut membentuk pasar politik yang bersifat oligopoli. Pasar politik Indonesia, mulai dari pusat sampai daerah, dikuasai kartel-kartel partai politik dengan politisi yang memiliki 'darah biru' politik atau uang banyak.

Mereka yang dengan leluasa bisa masuk dalam kompetisi pasar politik yang oligopoli tersebut. Nalar politik rente merobohkan idealisme politik sebagai upaya untuk menghadirkan kemaslahatan bersama, sehingga korupsi menjadi praktik jamak.

Namun, penulis tidak hendak melakukan generalisasi, di tengah pasar politik oligopoli dengan nalar politik rente tersebut. Pasti selalu ada celah cahaya bagi nalar-nalar politik yang merawat etika altruisme, meskipun tentu bukan pekerjaan mudah untuk menang dalam kompetisi.

Politik altruisme

Bila ada salah satu kesuksesan demokrasi Indonesia di tengah nalar politik rente para elitenya, adalah publik yang sadar terhadap peran penting mereka sebagai bagian dalam proses demokrasi, meskipun ongkos yang harus kita bayar sangat mahal.

Publik Indonesia masih didominasi oleh mereka-mereka yang terpapar pandemik 'virus' politik nalar rente sehingga setiap momentum 'pesta demokrasi’ selalu dimanfaatkan sebagai alat untuk berburu rente dari politisi yang hendak berkompetisi.

Namun, tidak sedikit pula, publik Indonesia, khususnya kelas menengah yang mulai membangun kesadaran kolektif untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi nalar politik altruisme, dan kesadaran kelas menengah ini adalah asa bagi Indonesia.

Apalagi, era sosial media menjadi instrumen penting dalam membangun kesadaran nalar politik altruisme untuk melawan nalar politik rente yang masih mendominasi. Kesadaran kolektif kelas menengah ini harus digerakkan dan dimobilisasi untuk melawan nalar politik rente tersebut.

Tujuannya agar kelompok yang lebih besar dan nyaris tidak peduli dengan praktik politik selama ini, bangkit bersama. Media sosial adalah kunci untuk menyebar kesadaran nalar politik altruisme tersebut, yakni kesadaran bahwa politik adalah jalan menebar gagasan hidup bersama yang lebih baik.

Kesadaran bahwa politik adalah perjuangan nilai dan idealisme masa depan, di mana manusia Indonesia sebagai subjek dan objek utama dari politik itu sendiri, sehingga terbangun masyarakat yang menurut Gunar Myrdal, memiliki watak hard culture, di mana kedisiplinan, komitmen terhadap janji, dan berbagai nilai-nilai berkemajuan lainnya menjadi mental utama masyarakatnya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar