Korupsi
dan Titik Kritis Demokrasi
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
|
KORAN
SINDO, 19 Februari 2018
Aroma pekat korupsi masih
menyengat di negeri ini. Tampaknya bangsa ini perlu perjuangan ekstrakeras,
berani serta punya napas panjang untuk bisa mengeliminasi kasus korupsi
agar kemakmuran dan kemaslahatan rakyat bisa terwujud di negeri ini.
Bayangkan, belum genap dua bulan kita menjalani 2018, sudah 8 kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka adalah Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan terakhir Bupati Lampung Tengah Mustafa. Mereka terlibat berbagai kasus mulai dari menerima suap proyek dan pemberian gratifikasi atas sejumlah proyek yang menggunakan APBD hingga menerima suap perizinan pengurusan jabatan, suap pengesahan APBD, suap proyek infrastruktur jalan, rumah sakit, dan suap terhadap DPRD untuk usulan pinjaman pembangunan kepada swasta. Ironisnya, sebagian suap yang dilakukan kepala daerah itu untuk membiayai Pilkada 2018. Hasrat berkuasa para elite rupanya tak pernah surut di tengah begitu banyak stok dana-dana bancakan daerah yang sangat menggiurkan. Ini sekaligus membuktikan bahwa siklus korupsi di kalangan elite daerah akan terus bereskalasi entah sampai kapan. Di daerah, para koruptor yang kebanyakan para pemegang kekuasaan itu tidak hanya mencuri uang daerah, tetapi juga dana dari APBN yang ditransfer ke daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik berupa desentralisasi, dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya merilis data, sepanjang 2015, kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan sebanyak 550 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp3,1 triliun. Korupsi paling besar terjadi di sektor keuangan daerah, yakni sebanyak 105 kasus dengan kerugian negara Rp385,5 miliar atau melebihi 10% dari total kerugian negara sepanjang tahun lalu. Tak aneh jika pihak yang paling banyak ditindak pada 2015 adalah pejabat, baik pegawai pemda atau kementerian, yakni sebanyak 379 orang, kepala dinas sebanyak 48 orang, serta kepala desa, camat dan lurah sebanyak 25 orang. Yang lebih mengenaskan, saat itu disinyalir ada satu provinsi yang memiliki banyak kepala daerah atau elite pemerintahan tersandung kasus korupsi. Tampaknya dugaan tersebut kian mengeras seiring makin banyaknya pejabat (lokal) yang tertangkap tangan oleh aparat hukum saat ini. Bayangkan, sejak KPK lahir pada 2014 hingga 2017 sudah 80 orang kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) yang tertangkap tangan. Ini sudah tentu menjadi titik kritis dalam pembangunan demokrasi. Demokrasi yang disemai dari lokal sampai nasional ternyata didasarkan pada basis kontinum spirit politik yang berbasis uang dan kekuasaan seperti dalil Socrates (sebagaimana dikutip oleh Plato dalam buku Republic). Di dalamnya tatanan kekuasaan yang korup karena mutu pengelolaan moral para penyelenggara negara yang lemah, ditambah kekuasaan yang didominasi dan dirasuki oleh para pemburu uang (money grubbing), sudah pasti akan menghasilkan jabatan publik yang gampang dikomoditaskan, yang kemudian sangat mudah membunuh kesempatan rakyat untuk menikmati hak-hak kesejahteraannya. Di sisi lain perilaku korup juga kian mengekalkan segregasi sosial di mana orang kaya dihormati, disanjung-sanjung, sementara mereka yang miskin malah dikutuk dan direndahkan. Ini membuat masyarakat terbius oleh pragmatisme-materialisme sikap yang mengeliminasi pentingnya integritas dan moralitas. Menurut Thomas Ferguson dalam Investmen Theory of Party Competition (1995), dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang, kebijakan-kebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite maupun investor politik. Kebijakan yang dihasilkan dari cara kerja seperti itu tentu lebih banyak menilap hak-hak kesejahteraan publik. Memang di panggung depan, mereka seolah bersikeras dan yakin akan selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat. Mereka selalu memanteli rakyat dengan bahasa dan jargon-jargon populis, yang enak dan meyakinkan untuk didengar atau bahkan dipercayai. Namun di panggung belakang, yang terjadi justru mereka lebih tertarik untuk menggalang strategi, kompromi, untuk melakukan perampasan uang rakyat dengan berbagai dalih dan modus nakal. Kembali ke Daulat Rakyat Jika ingin negara ini tumbuh sehat sebagai negara demokrasi, yang bermaslahat bagi seluruh rakyat, tidak ada jalan lain, semua ekses korupsi yang menindih ruang napas bangsa ini harus disumbat salurannya dan dimatikan. Ruang politik yang melahirkan pemimpin dan berbagai produk kebijakan penting yang akan menentukan masa depan bangsa ini harus disterilkan dari sindrom monetisasi politik, yakni politik yang berbasis uang atau rente. Para politikus yang ditugasi konstitusi untuk memimpin daerah, mengelola kekayaan negara, dan memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat harus dipastikan memiliki kematangan berpolitik (political ripeness) yang tangguh untuk selalu sensitif terhadap persoalan moral bangsa, kemiskinan, termasuk tidak menjadikan medan atau ranah politik sebagai killing field (ladang pembantaian) terhadap para kader pemimpin terbaik. Dalam mekanisme rekrutmen kepemimpinan di parpol, jangan hanya karena ketiadaan uang, popularitas, dan koneksitas, kader-kader terbaik lantas disisihkan.
Meminjam istilah WS Rendra,
perlu ada gerakan sistematik dan pelembagaan untuk mengembalikan “daulat
tuanku (pemodal)” kepada “daulat rakyat” misalnya seperti apa yang sudah ditempuh
oleh pemerintah kemarin, yakni: mencukupkan kebutuhan parpol dengan
dana publik (APBN). Ini tak lain untuk menstimulasi kemandirian fiskal
parpol dalam pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel sehingga
parpol tidak dijadikan arena bancakan ekonomi.
Namun dana tersebut pun belum memadai untuk membiayai proses kegiatan politik secara keseluruhan. Maka itu negara sebaiknya membiayai kegiatan parpol dalam pilkada termasuk biaya kampanye sehingga parpol tidak terus mengemis atau mencari biaya politik dari korporat yang membuat politisi atau parpol selalu memiliki ikatan transaksi yang kemudian melahirkan korupsi. Jika negara yang membiyainya, rakyat tentu akan lebih intensif dan berani untuk melakukan kontrol terhadap pengelolaan anggaran politik tersebut karena anggaran itu dibiayai oleh pajak. Selain itu membuka proses rekrutmen bagi kader-kader parpol yang memiliki kualifikasi moral, integritas, kompetensi sebagai kaum cerdik-pandai yang rela mendedikasikan kemampuan dan keahliannya demi kemaslahatan bersama. Kalau parpol sungguh-sungguh menerapkan asas meritokrasi dalam seleksi kader di parpolnya, negeri ini tak akan kesulitan mendapatkan pemimpin yang visioner, transformasional, bukan bervisi fulus. Negeri ini punya Bupati Banyumas Achmad Husein, alumnus Teknik Sipil ITB yang rela meninggalkan dunia korporasi; Bupati Tegal Ki Enthus Susmono yang harus kehilangan pendapatan ratusan juta rupiah per pekan sebagai dalang kondang, Bupati Batang Yoyok R Sudibyo, peraih Bung Hatta Award 2015 yang memutuskan pensiun sebagai perwira Angkatan Darat, Bupati Trenggalek Emil Dardak, doktor ekonomi yang masih muda tetapi memilih meninggalkan “menara gading” untuk bergulat meniti perubahan dengan rakyat serta tokoh-tokoh lain. Susan Rose Ackerman (1978) pernah mengatakan, “The presence of one honest official may eliminate all corruption.” Umur panjang pemberantasan korupsi selalu membutuhkan kehadiran kaum-kaum berintegritas tinggi, cendekiawan untuk turun dari menara gadingnya demi menghadirkan teladan konstruktif yang nyata sebagai kanal perjuangan melawan praktik kekuasaan yang korup dan amoral. Para kaum berintegritas tersebut harus bersatu dalam kecendekiaannya untuk menjadi suluh sejati, penerang kegelapan moralitas, dengan tak jemu jemunya menyuarakan kejujuran, kebenaran, hidup dalam kesederhanaan, bahkan siap menderita demi kebahagiaan rakyat banyak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar