Waspadai
Kecelakaan Konstruksi
Tulus Abadi ; Ketua Pengurus Harian YLKI
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Februari 2018
SEMANGAT pemerintah untuk melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur di berbagai bidang patut diberikan
apresiasi mengingat, dalam hal infrastruktur, Indonesia masih jauh tertinggal
dengan negara jiran sekalipun, yang notabene dulu belajar membangun
infrastruktur dari Indonesia, seperti Malaysia, atau bahkan Tiongkok. Langkah
merelokasi subsidi energi untuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur, juga
merupakan kebijakan yang tepat, on the track policy. Sangat ironis ribuan
triliun rupiah dibakar sia-sia untuk subsidi energi, yang mayoritas tidak
tepat sasaran.
Namun, semangat yang tinggi itu kini justru
menimbulkan perasaan cemas dan kegelisahan yang sangat di kalangan publik,
oleh adanya kecelakaan infrastruktur di proyek-proyek besar, yang beberapa
bulan ini cukup intensif. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat
selama dua tahun terakhir terdapat 14 kasus kecelakaan konstruksi. Bahkan,
selama lima bulan terakhir terjadi tujuh kasus kecelakaan konstruksi.
Terakhir ambruknya tiang penyangga Tol Becakayu di Kebonanas, Jakarta Timur,
yang melukai para pekerjanya. Bahkan satu orang meregang nyawa karenanya.
Kecemasan itu bukan hanya karena kasus yang
terjadi sekarang, melainkan juga bagaimana nanti kalau sudah beroperasi;
dikhawatirkan terulang dan dengan merenggut korban lebih banyak lagi
(massal). Terbukti, kecelakaan itu jelas dipicu faktor kegagalan konstruksi
(construction failure). Masyarakat cemas terhadap aspek keamanan dan
keselamatannya, jika proyek infrastruktur itu telah beroperasi dan digunakan
konsumen untuk aktivitas sehari-hari.
Terhadap kecelakaan konstruksi ini dalam
konteks perlindungan konsumen dan kepentingan publik yang luas, idealnya
pemerintah membentuk tim independen dengan fungsi utama melakukan investigasi
pembangunan (forensic engineering). Diharapkan dengan forensic engineering
tersebut akan diketahui sejatinya kecelakaan konstruksi itu terjadi di
tahapan mana, apakah sejak tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, atau pada
aspek pengawasan?
Selain itu, pemerintah harus berani
memberikan sanksi tegas kepada pelaksana proyek jika kemudian kasus tersebut
terjadi karena pelanggaran terhadap spek yang ditentukan. Atau bahkan adanya
potensi malapraktik profesi. Guna memberikan pembelajaran dan efek jera,
harus pula ada pihak yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan konstruksi
ini, baik secara personal, manajerial, dan bahkan korporasi mengingat
kecelakaan konstruksi ini sudah beberapa kali merenggut korban nyawa. Secara
hukum, menurut Undang-Undang Jasa Konstruksi, kecelakaan konstruksi bisa
berdimensi pidana, dan atau sisi administratif, misalnya pencabutan izin
operasi. Bahkan, konsumen korban bisa melakukan gugatan class action.
Langkah pemerintah melakukan moratorium
terhadap seluruh proyek besar (elevated project) bisa dinilai merupakan
langkah tepat. Pemerintah harus memastikan dan meyakinkan pada publik apa
penyebab kecelakaan konstruksi itu dan memastikan bahwa proyek yang lain aman
dan tidak berpotensi terjadi lagi di kemudian hari. Namun, hal itu saja tidak
cukup. Harus dilihat kemampuan teknisnya, apakah mereka bekerja di bawah
tekanan, misalnya harus selesai dalam waktu tertentu, tanpa mengindahkan
prosedur (SOP) yang berlaku dan aspek K3 (keselamatan dan kesehatan kerja).
Oleh karena itu, pemerintah juga harus rasional dalam mengejar target
perampungan proyek infrastruktur tanpa harus mengaitkan pada aspek politis
jangka pendek. Sangat absurd jika masalah keamanan dan keselamatan digadaikan
hanya mengejar nilai plus di mata publik. Aspek keamanan dan keselamatan para
pekerja, konsumen dan kepentingan publik yang lebih luas harus menjadi
prioritas utama dan pertama dalam proyek infrastruktur. Seharusnya tidak ada
kompromi dalam hal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar