Kembalikan
Bahasa Ibu ke Rumah
Gufran A Ibrahim ; Bekerja di Badan Bahasa Kemendikbud;
Guru Besar Antropolinguistik
Universitas Khairun, Ternate
|
KOMPAS,
21 Februari
2018
Punahnya satu bahasa di
dunia bukan karena penutur jatinya (“native speaker”) berhenti berbicara,
melainkan karena ayah-ibu dalam satu keluarga tidak lagi menggunakan bahasa
ibu (“mother tongue”) di ranah keluarga.
Inilah simpulan penting
Living Tongue, sebuah lembaga internasional nirlaba yang meneliti dan
membikin program-program praktis perawatan dan penyelamatan bahasa-bahasa di
dunia dari ancaman kepunahan, setelah bertahun-tahun mencari sebab mengapa
bahasa-bahasa di dunia terus tergerus lalu punah.
Hari ini, 21 Februari,
bangsa-bangsa di dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) yang
ditetapkan UNESCO pada 1999, kemudian diakui PBB tahun 2008. Satu dari beberapa alasan penetapan HBII
adalah mengingatkan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, agar terus
mengupayakan preservasi, revitalisasi, kampanye, dan promosi model
pembelajaran multibahasa (di sekolah dan masyarakat) supaya bahasa ibu terus
digunakan oleh penutur jatinya. Ini juga penting untuk merawat kemajemukan
bahasa sebagai “gentong” penyimpan pusparagam kebudayaan suatu bangsa.
Terkait kepunahan bahasa,
studi daya hidup bahasa sejauh ini telah meringkas empat tipologi dasar
tentang “status kebugaran” 6.000-an bahasa di dunia: (1) bahasa yang masih
“sehat walafiat”; (2) bahasa yang sedang mengalami gerusan; (3) bahasa-bahasa
yang menuju ambang kepunahan; dan (4) bahasa-bahasa yang sedang “sekarat”.
Menurut catatan Grimes
(2000), sebagaimana yang disebutnya dalam Ethnologue: Languages of the World,
terdapat 6.809 bahasa di dunia. Dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur
jati sebanyak 1 juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar ini
berkontras secara mencolok dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki
jumlah penutur jati yang sangat kecil, telah berusia tua, dan condong
bergerak menuju ke kepunahan.
Lebih mencengangkan lagi,
berkurangnya jumlah penutur bahasa ibu pada berbagai belahan dunia lebih
cepat dari yang diperkirakan. Dalam rilisnya untuk HBII 2018, UNESCO bahkan
mencatat, dalam tiap dua pekan ada dua bahasa di dunia punah.
Bahasa
di timur Indonesia
Indonesia sebagai wilayah
di Asia Tenggara yang merentang hingga ke Pasifik adalah negara dengan jumlah
bahasa terbanyak kedua di dunia. Menurut catatan Badan Bahasa, Kemdikbud, ada
652 bahasa daerah (yang merupakan bahasa ibu bagi penutur jatinya) atau
menurut Summer Institute of Linguistics ada 720 bahasa. Papua Nugini adalah
negara yang memiliki jumlah bahasa daerah terbanyak pertama, yaitu sekitar
820 bahasa.
Dari 652 (atau 720) bahasa
di Indonesia itu, kurang-lebih separuhnya tersebar di timur Indonesia.
Sejalan dengan garis maya yang dibuat Alfred Wallace sebagai pewatas sebaran
keaneragaman flora-fauna, keananekaragaman bahasa di timur Indonesia juga
sangat tinggi. Di Sulawesi ada sekira 40-an bahasa. Di Papua ada sekira
200-an bahasa, di Maluku (dan Maluku Utara) 90-an bahasa, demikian pula di
Nusa Tenggara Timur, ada 60-an bahasa.
Akan tetapi, tingginya
diversitas bahasa di timur Indonesia ternyata berbanding terbalik dengan
kemampuan bahasa-bahasa tersebut bertahan dari ancaman kepunahan. Dalam
catatan penelitian yang dilakukan beberapa kalangan, ada puluhan bahasa di
kawasan timur Indonesia sedang dalam status tergerus, mengalami penurunan
daya hidup, bahkan ada yang sedang “sekarat”, kalau belum bisa dibilang
punah. Ambil contoh, beberapa bahasa di Papua, Maluku, dan Maluku Utara hanya
memiliki puluhan penutur jati dan rata-rata berusia di atas 60 tahun.
Sepuluh tahun lalu, bahasa
Ibo di Halmahera Barat, Maluku Utara,
hanya memiliki lima penutur jati yang telah berusia di atas 70 tahun.
Mungkin kini angka penuturnya sudah berkurang.
Ada beberapa sebab
kepunahan bahasa-bahasa di timur Indonesia. Pilihan para penutur jatinya
untuk menggunakan satu bahasa sebagai lingua-franca, seperti bahasa Melayu
tempatan untuk komunikasi antarpenutur jati bahasa ibu adalah satu sebab paling utama.
Sebab lain, sejumlah
ayah-ibu pada keluarga muda dalam berbagai kawasan masyarakat multibahasa di
timur Indonesia telah memilih menggunakan bahasa Melayu tempatan dalam
komunikasi di rumah saat berbicara dengan anak-anak mereka. Ini berarti
anak-anak yang lahir dari selapis generasi ini tidak punya kesempatan lagi
memperoleh bahasa ibu dari ayah-ibunya; bahasa ibunya adalah bahasa Melayu
tempatan.
Pergeseran pilihan bahasa
keluarga muda ini menambah semakin banyak anak-anak di kampung-kampung tidak
lagi menggunakan bahasa ibu dari ayah-ibu sebagai bahasa pertama saat mereka
bermain. Mereka telah kehilangan bahasa ibu dari ayah- ibunya; dan ini justru
terjadi di dalam rumah sendiri. Mereka telah kehilangan bahasa ibu di kampung
sendiri.
Kalau ini terus terjadi,
dalam satu-dua siklus pergantian generasi ke depan, akan ada dua fakta
kebahasaan penting: anak-anak kehilangan bahasa ibu dari ayah-ibu mereka dan
bahasa ibunya adalah bahasa Melayu tempatan.
Sebab-sebab kepunahan lainnya adalah mobilitas sosial, baik vertikal
maupun horisontal karena urbanisasi dan perjumpaan antarpenutur jati dalam
aktivitas sosial-ekonomi.
Belajar
bahasa di kampung sendiri
Temuan Living Tongue dan
fakta tentang ketergerusan sejumlah bahasa di Indonesia, terutama di timur
Indonesia, semakin mengonfirmasi bahwa kepunahan bahasa tidak terjadi di
sekolah, di tempat kerja, atau di
tempat-tempat publik lain. Bahasa ibu justru terdepak dari “rumahnya sendiri”
yang “dikandung” oleh ayah-ibu sang penutur jati.
Mengingat titik pusat
punahnya bahasa ibu ada di rumah dan dalam lingkungan keluarga, maka cara
menyelamatkannya dari ancaman kepunahan haruslah dikembalikan ke rumah.
Artinya, upaya menyelamatkan bahasa daerah—sebagai bahasa ibu dari sejumlah
penutur jati bahasa-bahasa di Indonesia,—dengan membawa bahasa ibu menjadi
pelajaran muatan lokal di sekolah bukanlah jalan keluar yang tepat dan
satu-satunya.
Ayah-ibu sebagai pewaris
“terakhir” bahasa ibu didorong menggunakan bahasa ibu untuk anak-anak mereka,
lewat gerakan belajar bahasa di kampung sendiri. Dengan mengadopsi model
“sekolah rumah” atau “sekolah alam”, ayah-ibu didampingi untuk memastikan
bahasa ibu dipakai sehari-hari di rumah.
Bahasa ibu diperoleh
secara alamiah, bukan melalui “manipulasi” metodologis di sekolah. Karena
itu, cara yang paling efektif menyelamatkan bahasa ibu dari ancaman kepunahan
adalah memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh bahasa ibunya di rumah
sendiri dan di kampung sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar