Menyoal
Hubungan DPR dan Rakyat
Djayadi Hanan ; Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Paramadina
|
KOMPAS,
20 Februari
2018
Dewan Perwakilan Rakyat
adalah lembaga politik. Eksistensi DPR ada karena ada rakyat. Oleh karena
itu, hubungan DPR dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik. Rakyatlah
yang memberikan kekuasaan kepada DPR.
Lembaga DPR melaksanakan kekuasaan itu.
Mengingat kekuasaan
memiliki kecenderungan untuk menyimpang, maka rakyat mengontrol DPR, baik
secara individu maupun secara bersama-sama. Rakyat jugalah yang akan meminta
pertanggungjawaban DPR untuk menentukan apakah akan diberi mandat kembali
atau tidak untuk masa jabatan berikutnya. Oleh karena itu, suara rakyat
kepada DPR adalah suara pemberi kekuasaan kepada yang bertugas melaksanakan
kekuasaan itu, bukan suara untuk menghinakan DPR.
Hubungan DPR dengan rakyat
adalah hubungan politik. Namun, DPR menggunakan pendekatan legalistik. Rakyat
yang bersuara—dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang
baru—dicurigai akan merendahkan kehormatan DPR. Rakyat tidak lagi dilihat
sebagai pemberi kekuasaan, tetapi dilihat sebagai musuh.
DPR sudah agak
keterlaluan! Sayangnya, Presiden pun, lewat Kementerian Hukum dan HAM,
mengamini perilaku DPR keterlaluan itu. Undang-undang itu bisa lahir karena
persetujuan bersama DPR dan pemerintah (baca: Presiden).
Daulat
rakyat, bukan daulat DPR
DPR periode 2014-2019 ini
kinerjanya sangat buruk. Indikator kuantitatif dan kualitatif menunjukkan hal
tersebut. Dalam kurun waktu tiga tahun sampai 2017, jumlah undang-undang (UU)
yang dihasilkan DPR hanya 19 dari lebih dari 140 UU prioritas yang
ditargetkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bandingkan dengan
DPR periode sebelumnya yang masih lebih baik dengan menghasilkan 104 UU dari
352 yang ditargetkan.
DPR periode ini juga
mengalami banyak masalah. Ada kesan menghalangi pemberantasan korupsi dengan
cara membentuk Pansus Angket KPK yang dinilai publik merupakan upaya
pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketuanya, Setya Novanto,
menjadi tersangka megakorupsi KTP elektronik sehingga yang bersangkutan
diganti. Sejumlah anggota DPR juga terkena kasus korupsi. Dalam catatan Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), hanya selama 2017 saja ada
10 dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR.
Dengan berbagai masalah
tersebut, DPR malah merencanakan membuat gedung dan kompleks DPR yang lebih
mewah untuk kenyamanan kerjanya. Beberapa waktu lalu kita juga disuguhi
berita ada anggota DPR yang meminta untuk dipanggil sebagai ”Yang Terhormat”
ketika sedang melakukan rapat dengan salah satu mitra kerjanya.
Dengan berbagai masalah
itu, maka kehormatan anggota dan lembaga DPR menjadi rendah. Penyebabnya
anggota DPR sendiri. Maka, tingkat kepercayaan rakyat kepada DPR adalah yang
terendah dibandingkan dengan lembaga politik lain. Hasil jajak pendapat
nasional dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) sepanjang
2014-2017 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada DPR selalu
nomor buncit dibandingkan, misalnya, dengan TNI dan KPK.
Di tengah rendahnya
kehormatan DPR tersebut, anggota DPR bersicepat melakukan revisi UU MD3 yang
isinya adalah saling bagi kue kekuasaan antarsesama mereka. Tidak jelas,
misalnya, apa dampak dari penambahan jumlah kursi pimpinan terhadap kinerja
DPR. UU MD3 juga dipakai DPR untuk melindungi dirinya, misalnya dari
pemanggilan KPK.
Yang terparah adalah DPR
berusaha memasang tameng untuk melindungi dirinya dari rakyat. Pasal 122 (l)
UU tersebut tegas akan menghukum siapa saja yang dianggap DPR merendahkan
kehormatannya. Apa urgensinya DPR membuat aturan seperti ini? Masalah apa
yang ingin diselesaikan DPR dengan aturan tersebut? Jawabannya: tak jelas!
Apa yang dimaksud
merendahkan kehormatan DPR? Interpretasi dan proses atas soal ini bisa sangat
subyektif. Ia berpotensi untuk jadi jurus ”Dewa Mabuk” yang akan mengganyang
siapa saja yang bersuara lantang dan tidak mengenakkan telinga anggota DPR. Dan,
yang paling parah, ia akan membuat surut individu ataupun kelompok dalam
masyarakat untuk bersuara, sekalipun anggota DPR mengatakan mereka tidak
antikritik.
Apa pula pentingnya
membuat aturan ini? Kalau ada anggota DPR yang merasa dihinakan atau dicemarkan
namanya oleh individu atau kelompok masyarakat, bukankah sudah ada aturan
hukum dan pasal yang mengatur soal pencemaran nama baik? Apa anggota DPR
merasa tidak cukup dengan aturan tersebut? Kalau iya, mana kajiannya?
Tampaknya para anggota DPR
lupa bahwa di negara ini sudah disepakati bahwa yang berdaulat itu rakyat.
Kita menganut daulat rakyat, bukan daulat DPR.
Para anggota DPR lupa atau
pura-pura lupa kalau mereka adalah wakil rakyat. Secara politik mereka
bukanlah pejabat, melainkan pelayan rakyat. Kehormatan seorang pelayan rakyat
terletak pada kemampuannya melakukan tugas pelayanan itu semaksimal mungkin.
Bukan dengan mengeluarkan aturan yang memaksa rakyat untuk menghormati
mereka.
Mental anggota DPR masih
mental ambtenaar (pejabat zaman kolonial) yang merasa kedudukannya lebih
tinggi dan lebih mulia daripada rakyat.
Seharusnya anggota DPR itu
merawat hubungan politiknya dengan rakyat, bukan mengembangkan pola hubungan
yang legalistik melalui instrumen-instrumen hukum. Apalagi instrumen hukum
untuk melindungi kehormatan anggota dan lembaga DPR sebetulnya sudah ada.
Kehormatan anggota DPR
akan terjaga kalau dia terus-menerus berkonsultasi dengan rakyat.
Mendengarkan apa keluhan rakyat. Memaklumi jika masih ada rakyat yang tak
puas. Mengerti kalau tak semua rakyat paham dengan prestasi yang dia buat
sebagai anggota DPR. Juga tidak tipis telinga kalau ada rakyat yang bersuara
keras. Juga tak lelah untuk mengingatkan rakyat kalau mereka, dalam
menyuarakan aspirasinya, berpotensi melanggar hukum, misalnya.
Merawat hubungan politik
memang melelahkan. Akan tetapi, memang itulah tugas politisi. Menjadi
politisi adalah ”pekerjaan” tanpa libur dan tanpa jam kerja. Jam kerja
politisi adalah 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Kalau anggota DPR
tidak siap dengan itu, Anda tidak pantas atau minimal tidak cocok menjadi
anggota DPR.
Reformasi
DPR!
Memang, lembaga DPR dan
partai politik adalah yang terlupakan atau dilupakan untuk direformasi sejak
era Reformasi. DPR sibuk mereformasi lembaga lainnya, tetapi lupa atau
pura-pura lupa mereformasi dirinya sendiri. DPR kita memang sudah terlalu
lama jauh dari rakyat. Mereka tampaknya memandang rakyat hanyalah sekumpulan
pemberi suara yang mereka perlukan lima tahun sekali. Para anggota DPR
tampaknya merasa mereka bukan bagian dari rakyat sehingga mereka curiga,
rakyat itu, kalau bersuara, ada niat untuk merendahkan kehormatan mereka.
Maka, tidak ada jalan lain
kecuali harus ada reformasi total terhadap DPR. Jalan itu harus dimulai
melalui Pemilihan Umum 2019. Rakyat harus mencermati, partai mana saja yang
secara malu-malu ataupun terang-terangan menganggap rakyat dalam perspektif
permusuhan. Ini tidak mudah, memang.
Hampir semua partai
tampaknya seiring sejalan dalam melindungi kepentingan masing-masing untuk mengamankan
kekuasaan mereka. Akan tetapi, paling tidak rakyat dapat mencermati,
misalnya, anggota DPR mana saja yang terlihat gila hormat. Apabila yang
bersangkutan maju lagi dalam Pemilu 2019, maka harus disuarakan ramai-ramai
agar dia tidak dipilih lagi alias dipecat oleh rakyat sebagai anggota DPR.
Media dan semua bagian
dari masyarakat sipil (civil society) harus tanpa lelah dan masif menyuarakan
agar anggota DPR yang dekat dengan rakyatlah yang dipilih. Selanjutnya, jika
anggota DPR seperti ini yang terpilih, maka akan lebih mudah bagi rakyat
untuk mendesakkan urgensi dari perlunya reformasi DPR, baik dari segi sistem
maupun kelembagaannya. ●
|
Catatan Redaksi:
Artikel ini merupakan publikasi ulang dari artikel yang sama
yang diturunkan pada Senin (19/2/2018). Pada publikasi sebelumnya terdapat
kesalahan teknis yang mengganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar