Transhumanisme
Prasetyantoko ; Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya
|
KOMPAS,
21 Februari
2018
Majalah terkemuka The Economist edisi khusus akhir 2017 meramalkan, 2018 akan
diwarnai dua kecenderungan besar: ketidakpastian politik dan pesatnya
kegairahan pada teknologi. Kecenderungan
pertama merujuk pada sikap inward-looking, proteksionis dan anti-global yang
marak di banyak sudut dunia, seiring menguatnya tuntutan warga lokal yang
cenderung primordial.
Situasi ini diyakini menyuburkan semangat
populisme. Sementara, gairah pada teknologi membuat sebagian orang
berpandangan manusia harus bersinergi lebih intensif dengan teknologi agar
memperoleh makna lebih mendalam.
Dalam gejala lebih ringan, manusia merasa
tak bermakna tanpa bantuan teknologi. Pada fase sebelumnya, minat pada
penemuan bertumpu pada pencangkokan kecerdasan (buatan) biologis pada benda
fisik. Hasilnya, berbagai inovasi di bidang robotik dan kecerdasan buatan
(artificial intelligence) dengan segala variasinya.
Pada masa mendatang, orientasinya justru
menambah kapasitas biologis (manusia) melalui rekayasa teknologi.
Kecenderungan ini dinamai sebagai gejala transhumanisme. Jika selama ini kita
mengenal realita yang dimodifikasi (ditambahkan) oleh teknologi, nanti
manusia itu sendiri yang akan menjadi bagian integral dari augmented reality
(AR) dan virtual reality (VR).
Benarkah masyarakat dunia tengah bergerak
pada pendulum besar, antara populisme dan transhumanisme? Lalu, di mana para
intelektual (akademisi) dan dunia perguruan tinggi berdiri?
“Techlash”
Majalah The Economist menggunakan istilah
“techlash” untuk menandai masa di mana pemilik teknologi akan menjadi penguasa,
tak hanya secara ekonomi, namun juga politik, sosial dan budaya. Teknologi
akan menjadi panglima.
Dan mengingat bahwa teknologi, yang
sebenarnya bersifat netral, dipuja begitu rupa oleh para penemu (perancang),
pengikut (pengguna) serta pihak yang diuntungkan (interest group), maka
kemajuan teknologi tak lagi bisa dipungkiri. Peradapan tak mungkin lagi tanpa
teknologi.
Elon Musk, seorang miliarder sekaligus
pemilik perusahaan teknologi tinggi terkemuka Tesla menggaungkan kebutuhan
integrasi manusia dengan mesin. Dia berargumen, otak dengan komputer harus
dipersatukan secara intensif; jika tidak, berbagai penemuan menjadi tak ada
relevansinya.
Merger antara manusia dengan komputer sudah
bisa dimulai sejak benih manusia paling kecil (DNA) dipersiapkan di
laboratorium. Kita bisa mempersiapkan manusia jenius di berbagai bidang
dengan cara “mengedit” DNA-nya. Sel manusia juga bisa “diedit” guna
menghindari penyakit, seperti kanker, diabetes atau penyakit turunan lainnya.
Spesies (baru) manusia sedang dipersiapkan oleh para pemuja teknologi ini.
Secara sederhana transhumanisme adalah
sebuah gerakan intelektual yang menyakini perubahan (tranformasi) manusia
hanya bisa dilalui dengan cara mengadopsi teknologi secara intensif.
Manusia menjadi kian utuh jika kapasitas
otaknya bisa diperbesar beberapa kali lipat dengan bantuan komputer. Ada juga
niatan untuk menanam perangkat digital dalam tubuh manusia, sehingga tak
perlu lagi membawa perangkat fisik. Manusia dan cyborg akan makin serupa,
hanya soal derajat komposisi saja yang berbeda. Keduanya adalah gabungan
antara human dan teknologi.
The Economist edisi 6 Januari 2018 memuat
laporan utama The next frontier, menceritakan penemuan baru yang bisa
menggabungkan otak dengan kerja komputer. Nantinya, komputer bisa diperintah
langsung oleh otak tanpa perantara lagi. Penemuan ini akan membawa pada
situasi di mana pikiran bisa mengontrol mesin.
Sebelumnya, pada edisi 9 September 2017,
The Economist merilis laporan Nowhere to hide, di mana mesin bisa membaca
kepribadian dan latar belakang personal manusia dari kontur mukanya
(faceprint).
Hanya dengan kamera pemantau, semua
karakter dan latar belakang seseorang bisa digali. Teknologi ini berguna
untuk mendeteksi penjahat, teroris atau buron politik. Tak hanya itu,
teknologi ini bahkan bisa membaca orientasi seksual seseorang.
Lalu, ke mana manusia akan sembunyi? Berbagai penemuan di garis depan memang
membanggakan, sekaligus mencemaskan. Dunia begitu cepat bergerak dan
pergumulan antara faktor fisik, digital dan biologi seakan tak bisa dicegah
lagi, memasuki wilayah begitu jauh yang tak terjangkau sebelumnya. Dunia akan
tunggang langgang dengan berbagai kemajuan teknologi. Lalu di mana manusia
sendiri?
Kepedulian
Ketika hampir semua hal yang tadinya tak terpikirkan
sudah mulai bisa direalisasikan, lalu manusia ada di mana? Tentu ini bukan
pertanyaan spiritual dan teologis semata, namun juga soal relasi
antar-manusia (masalah sosial). Teknologi sering mengecoh dengan mengatakan,
kemajuan telah membuat semua terdesentraliasi, sehingga dunia kian
demokratis.
Penemuan teknologi bernama blockchain,
misalnya, memungkinkan pemberi jasa (produsen) dan penerima jasa (konsumen
akhir) bisa berinteraksi langsung tanpa penghubung (middle-man). Dunia
manajemen akan terguncang jika teknologi ini mulai diterapkan secara masif.
Bayangkan, perusahaan asuransi bisa memberikan premi secara individual
setelah mampu menilai profil risiko secara personal tanpa perlu bantuan agen
lagi.
Demikian juga perbankan dan sektor keuangan
lain, proses bisnis di tengah bisa dipotong secara radikal, sehingga
aktivitas bisa benar-benar ringkas. Benarkah sistem yang terdesentralisasi
secara radikal menguntungkan semua pihak?
Jangan lupa, pemilik akhir dari seluruh
dinamika ini hanyalah segelintir pihak saja. Fenomenanya serupa terjadi
dengan gejala sharing-economy yang sering dirujuk sebagai sistem yang
menyetarakan banyak (semua) pihak. Namun, pemilik akhir dan ujung dari
dinamika itu tetap mengerucut pada pelaku-pelaku utama, seperti pemilik Uber,
AirBnB dan sebagainya.
Disrupsi merambah hampir semua sisi
kehidupan, sebagai implikasi dari revolusi teknologi, kecerdasan buatan serta
pemanfaatan data. Belakangan, Amazon, Berkshire Hathaway dan JP Morgan Chase
sepakat membuat perusahaan patungan di bidang kesehatan. Bisnis kesehatan dan
asuransi akan segera terdisrupsi.
Lalu ke mana dunia akan bergerak? Jika
manusia terlalu terobsesi pada mesin, teknologi dan berbagai penemuan di
garis depan saja, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, gejala ini sungguh
merisaukan.
Benturan antara kelompok yang tak memiliki
akses dan pelaku yang makin dominan posisi kepemilikannya menjadi tak
terelakkan. Kemajuan teknologi hanya akan menciptakan kesenjangan yang
kemudian memicu persoalan sosial.
Jika manusia terlalu terobsesi pada mesin,
teknologi dan berbagai penemuan di garis depan saja, tanpa mempertimbangkan
konteks sosial, gejala ini sungguh merisaukan. Benturan antara kelompok yang
tak memiliki akses dan pelaku yang makin dominan posisi kepemilikannya menjadi
tak terelakkan. Kemajuan teknologi hanya akan menciptakan kesenjangan yang
kemudian memicu persoalan sosial.
Pertanyaan paling serius: ke mana
universitas harus bergerak? Akankah kampus yang seharusnya berisi para
intelektual dan akademisi akan terus digiring menjadi pemuja teknologi, atau
sebaliknya menjadi katalisator teriakan kelompok partikular dengan sikap
primordial. Tentu tidak keduanya.
Karena itu, seluruh proses dan dinamika di
universitas haruslah mengedepankan humanisme yang proporsional. Teknologi
adalah perangkat dan tata cara yang diciptakan manusia. Pada akhirnya, dia
harus digunakan untuk melayani keperluan yang dianggap penting oleh para
pelakunya. Maka, membentuk watak para pelaku adalah kunci utama.
Di negara berkembang seperti Indonesia ini,
di mana akses keuangan masih langka, kemajuan teknologi digital bisa
diarahkan untuk turut menyelesaikannya. Sekolah bisnis bisa mengajarkan
pendekatan teknokrasi manajerial yang diarahkan untuk memecahkan persoalan
sosial.
Pendekatan socio-entrepreneurial ini
berkembang di banyak tempat. Bahkan, mulai banyak upaya mendirikan usaha
rintisan (start-up) dalam rangka turut serta menyelesaikan persoalan sosial.
Intinya, syaraf kepekaan pada lingkungan
sosial harus dikembangkan hingga pada tataran konkret, berupa tindakan nyata.
Tanpa itu, gejala transhumanisme akan menguat. Jangan heran kalau penganut
ajaran ini kian banyak yang menduduki posisi penting, baik secara politik,
sosial, kebudayaan, bahkan keagamaan. Tak hanya dinamika perekonomian, peradaban
dunia pun tengah mencari keseimbangan baru.
Dalam konteks ini, para intelektual dan
dunia perguruan tinggi harus menjadi garda terdepan guna memastikan seluruh
kemajuan teknologi yang begitu pesat tak tercerabut dari akar sosialnya.
Dengan kata lain, kemajuan teknologi harus diletakkan dalam upaya memecahkan
persoalan sosial, bukan sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar