Gairah
Korupsi Kepala Daerah
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KOMPAS,
21 Februari
2018
Rentetan penangkapan kepala daerah oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi. Dalam satu bulan ini, KPK telah
menangkap empat kepala daerah (Kompas, 15/2). Keempatnya, calon petahana.
Menurut ICW, sebanyak 215 kepala daerah tersandung korupsi dalam kurun waktu
2010-2017.
Riset dari Rumesten (2014) menemukan, perilaku
korupsi kepala daerah dipicu oleh gelaran pilkada secara langsung. Meski
demikian, Rumesten tak setuju jika kemudian pilkada dikembalikan ke sistem
tak langsung, karena pemilihan oleh DPRD tak mampu menekan perilaku korupsi
kepala daerah.
Riset lain dari Edwin dan Darmawan (2011)
menemukan, perilaku korupsi kepala daerah erat hubungannya dengan biaya
kampanye yang diatur dalam UU No 32/2004. Sayangnya, riset itu tak dapat
dijadikan sandaran karena dilakukan dalam konteks UU pilkada yang lama, sementara
UU pilkada saat ini telah direvisi.
Mengapa korupsi oleh kepala daerah terus
terjadi meskipun UU pilkada telah direvisi? Penulis berpendapat, meningkatnya
kasus korupsi kepala daerah disebabkan oleh setidaknya dua hal: masih
besarnya faktor uang berperan dalam menentukan kemenangan dalam pilkada dan
masih lemahnya regulasi yang telah direvisi.
Secara teoretis, korupsi yang dilakukan
elite politik disebabkan oleh besarnya peranan uang dalam proses pilkada.
Aloysius Benedictus Mboi (2009) mengungkapkan, berdasarkan pengalaman,
kandidat yang tak didukung sumber finansial yang kuat, hampir pasti tak akan
terpilih. Demikian pula, partai tanpa dukungan uang, juga sulit dapat
dukungan luas di masyarakat. Lanskap politik dan budaya politik dalam jangka
pendek ke depan masih akan didikte oleh sosok atau partai-partai politik
dengan dukungan uang terkuat ini.
Persson dan kawan-kawan (2003) berpendapat
senada. Menurut mereka, politisi terpilih memiliki kesempatan untuk
menyalahgunakan kekuasaannya berkaitan dengan pengeluaran untuk pemilih.
Namun demikian, jika hanya karena soal uang saja, penjelasannya terkesan
deterministik.
Faktor uang juga diperkuat oleh faktor
lain, yaitu regulasi yang lemah. Janos Bertok (2008, dalam Firdaus, 2017)
menyebutkan, eksistensi regulasi yang kuat (ditambah adanya pengawasan) dapat
mencegah praktik korupsi. Dengan kata lain, regulasi yang lemah dapat
mendorong dan menyebabkan terjadinya korupsi.
Lantas, bagaimana penjelasan tentang faktor
uang dan lemahnya regulasi menyebabkan terjadinya korupsi oleh kepala daerah?
Pertama, mengenai besarnya fulus yang mesti dikeluarkan oleh seorang calon
kepala daerah, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, pernah mengungkapkan, ketika
dia bertanya kepada dua gubernur berapa biaya yang dikeluarkan selama
pilkada, jawabannya ada yang menyebut Rp 60 miliar dan ada juga menghabiskan
hingga Rp 100 miliar (Kompas, 18/1/2011).
Tujuh tahun kemudian, apa yang disampaikan
Gamawan Fauzi, tak berubah. Sekjen PAN Eddy Suparno, dikutip media
menyebutkan biaya politik dalam pilkada tinggi, termasuk untuk mengumpulkan
massa dan menyiapkan nasi bungkus.
Besarnya biaya dalam pilkada bertalian
dengan kesimpulan sementara yang didapat dari calon kepala daerah petahana
yang menjadi tersangka korupsi baru-baru ini. Diduga kuat mereka menerima
suap karena butuh biaya dalam pilkada. Makin besar biaya politik yang
digelontorkan diasumsikan kian besar peluang calon meraup kemenangan.
Lemahnya regulasi
Kedua, regulasi pilkada di UU No 10/2016
masih longgar mengatur soal biaya yang dikeluarkan dalam pilkada dan
perlakuan terhadap kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Jika
sebelumnya di UU No 8/2015 bahan kampanye, alat peraga kampanye, iklan, dan
debat publik yang diperbolehkan hanya yang didanai oleh negara lewat KPU, UU
No 10/2016 justru mengizinkan adanya penambahan bahan dan alat peraga
kampanye di luar yang ditanggung negara, dengan batasan yang sudah
ditentukan.
Alasan perubahan aturan, yakni bahwa
pembatasan pengeluaran kampanye membuat kampanye menjadi sepi, tak dapat
dibenarkan. Hal ini mengingat kepentingan lebih besar, yaitu menekan jumlah
dana kampanye, lebih penting didahulukan.
Selain lemah mengatur soal biaya kampanye,
UU No 10/2016 juga tak memberi efek jera bagi tersangka korupsi. Seorang
calon kepala daerah tetap dapat mengikuti pilkada. Bahkan, jika terpilih, ia
tetap dapat dilantik. Seharusnya, seorang calon kepala daerah yang menjadi
tersangka diwajibkan mengundurkan diri. Lemahnya regulasi seperti dijabarkan
di atas linier dengan apa yang dimaksud oleh Bertok, yaitu pentingnya
regulasi yang mumpuni untuk dapat menekan kemungkinan terjadinya korupsi.
Tidak bisa diatasinya persoalan besarnya
biaya dalam pilkada dan aturan pilkada yang masih bermasalah, menyebabkan
kasus korupsi yang menimpa kepala daerah akan sulit dibendung dan semakin
marak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar