Teror
Tokoh Agama dan Tantangan Kemajemukan
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel;
Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah
Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 20 Februari 2018
INSIDEN kekerasan terhadap
Pastor Karl Edmund Prier dan sejumlah jemaat Gereja Katolik Santa Lidwina,
Sleman, Yogyakarta, oleh seorang pemuda bernama Suliono pada Sabtu
(11/2/2018) pagi menambah panjang daftar kekerasan terhadap tokoh agama.
Ironisnya, kekerasan itu terjadi di rumah ibadah.
Menurut catatan sejumlah
media, sepanjang Januari-Februari 2018 setidaknya ada empat insiden kekerasan
terhadap tokoh agama. Pertama, penganiayaan yang dialami KH Umar Basri,
pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Jawa Barat. Dia diserang
seorang bernama Asep sesaat setelah menunaikan salat subuh. Kedua,
penganiayaan terhadap Ustaz Prawoto, Komandan Brigade Pondok Pesantren Persis
Bandung, Jawa Barat.
Akibat penganiayaan itu,
Ustadz Prawoto bahkan meninggal dunia. Ketiga, penolakan terhadap Biksu
Mulyanto Nurhalim oleh warga di Kampung Kebun Baru, Legok, Tangerang.
Mulyanto dan pengikutnya dilarang untuk beribadah oleh warga. Keempat,
kejadian yang menimpa Romo Prier.
Terakhir, Minggu (18/2)
malam tiga patung di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Senduro Lumajang, Jawa
Timur, dirusak orang tak dikenal. Belum diketahui pelaku dan motif perusakan.
Polisi menyita pecahan patung dan sebilah kapak yang digunakan pelaku.
Penyerangan kepada tokoh
agama, apa pun agamanya, termasuk tempat ibadah, patut disesalkan. Peristiwa
ini bukan saja mengganggu suasana kehidupan antarumat beragama yang sudah
sangat toleran. Lebih dari itu, wajah negeri tercinta juga dapat tercoreng.
Itu karena Indonesia telah dikenal sebagai laboratorium dunia untuk kehidupan
umat beragama. Negeri ini dipandang sukses mewujudkan suasana kehidupan
saling menghormati dan menghargai perbedaan di kalangan umat beragama.
Padahal, sebagai negara besar yang multietnis, agama, dan budaya, negeri tercinta
sangat rawan dengan konflik.
Jika diamati berdasarkan
kasus yang terjadi akhir-akhir ini, modus insiden kekerasan terhadap tokoh
agama sangat beragam. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik. Modus lainnya
berbentuk penolakan kegiatan ceramah agama seperti pernah dialami dai
kondang, Ustaz Abdul Somad. Insiden pembubaran kegiatan pengajian juga
terjadi di sejumlah daerah. Dampaknya, sejumlah mubalig membatalkan ceramah
karena ditolak oknum dan warga setempat.
Insiden kekerasan pada
tokoh agama dan pembubaran pengajian merupakan intoleransi gaya baru. Apa pun
alasannya dan siapa pun pelakunya harus menyadari bahwa praktik intoleransi
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada konteks inilah semua elemen
penting menjaga suasana kehidupan umat dengan mengedepankan nilai-nilai
toleransi. Insiden yang menimpa sejumlah tokoh agama diharapkan tidak memicu
konflik lebih luas. Pada konteks inilah, aparat keamanan dituntut adil
mengusut semua insiden kekerasan terhadap tokoh agama dan umat beragama.
Sebagai negara berbineka,
para pendiri bangsa sejatinya telah menekankan pentingnya bersatu dalam
keragaman (unity in diversity). Motto nasional Bhinneka Tunggal Ika harus
menjadi spirit mewujudkan kehidupan yang toleran. Meski negeri ini
ber-Bhinneka, namun harus tetap Tunggal Ika. Dengan spirit inilah, negeri
tercinta sukses mempraktikkan kehidupan toleran di tengah keragaman.
Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa juga telah menjadi daya tarik
negara lain. Tidak mengherankan jika banyak negara ingin belajar dari
Indonesia yang dinilai sukses mengelola kebinekaan.
Berkaitan dengan maraknya
insiden intoleransi, semua elemen bangsa harus menyadari pentingnya
pluralisme keagamaan. Pluralisme telah menjadi tantangan semua agama dan
paham keagamaan. Kondisi negara yang majemuk juga potensial menjadi penyebab
konflik. Itu terjadi jika individu dan kelompok yang berbeda tidak siap hidup
berdampingan. Padahal, kemajemukan merupakan ketetapan Tuhan (sunnatullah).
Pada konteks inilah dibutuhkan strategi baru dialog lintas agama dan paham
keagamaan.
Sejauh ini dialog lintas
agama lebih banyak dikemas dalam konteks perdebatan teologi. Dampaknya
terjadi pandangan yang bercorak binaris; in group-out group, golongan kami
(minna)-golongan kamu (minkum), dan benar-salah. Keinginan untuk saling
bertemu, bertegur sapa, dan memahami ajaran setiap agama tidak akan tercapai
melalui dialog bernuansa perdebatan teologis. Terasa lebih sejuk jika dialog
dirancang secara informal sehingga antarumat beragama dan pengikut paham keagamaan
saling bertegur sapa.
Di antara tantangan yang
dihadapi umat beragama berkaitan dengan pluralisme adalah bahwa setiap agama
dituntut untuk melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap
keragaman. Sementara pada saat yang sama agama mewajibkan pemeluknya untuk
meyakini bahwa doktrin yang diajarkan memiliki kebenaran mutlak dan bersifat
eksklusif. Dalam menghadapi problem ini, mayoritas tradisi keberagamaan
mengambil sikap bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya. Sementara kelompok
lain diposisikan salah. Dampaknya, setiap pemeluk agama atau penganut paham
keagamaan mengklaim ajarannya paling benar.
Diana L Eck dalam What is
Pluralism (1993) menegaskan pluralisme berbeda dengan relativisme dan
toleransi pasif. Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami
perbedaan. Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang dilakukan secara
tulus sehingga menghadirkan komitmen untuk berbagi pengalaman, saling
mengkritik, dan bersedia dikritik. Jika pluralisme dipahami secara positif,
akan melahirkan pandangan terbuka (open-minded) dan toleran.
Pemahaman keagamaan yang
terbuka pasti menumbuhkan komitmen yang tulus untuk terlibat aktif dalam
kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Meminjam istilah Mukti Ali (1989),
sudah waktunya elemen bangsa bersepakat dalam perbedaan (agree in
disagreement). Dengan bahasa yang menyentuh hati, Allah SWT mengajak semua
pemeluk agama dan pengikut paham keagamaan untuk berlomba-lomba menjadi yang
terbaik (fastabiq al-khairat).
Dalam Alquran, Allah
berfirman; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu (QS Al-Maidah: 48).
Kalam Ilahi tersebut
penting menjadi spirit untuk mempersiapkan diri hidup saling menghormati dan
menghargai perbedaan. Karena kemajemukan merupakan keniscayaan, mari kita
rayakan perbedaan. Semoga bangsa ini terus belajar sehingga insiden kekerasan
bernuansa agama tidak terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar