Adelina
dan Perdagangan Manusia
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 21 Februari 2018
KEMATIAN Adelina Sau menambah daftar
panjang warga negara Indonesia (WNI) yang meninggal di Malaysia. Kita tahu
bahwa ini bukan pertama kali terjadi dan tak menutup kemungkinan akan terjadi
di kemudian hari, mengingat masih belum sempurnanya upaya pencegahan
perdagangan orang yang menyebabkan Adelina dapat tiba dan bekerja di
Malaysia.
Meski demikian, kasus Adelina juga memaksa
kita untuk memeriksa bagian-bagian apa saja dari kebijakan luar negeri dan
tenaga kerja yang masih berlubang dan disalahgunakan oleh sindikat
perdagangan orang.
Park Mo (2011) membagi tiga kategori
pekerja imigran berdasarkan statusnya. Pertama adalah pekerja yang legal atau
terdokumentasi (legal immigrant).
Mereka umumnya adalah pekerja yang memiliki
keahlian dan memenuhi syarat untuk bekerja di sektor-sektor yang dibutuhkan,
baik yang berangkat secara pribadi maupun melalui agen tenaga kerja. Para TKI
yang bekerja melalui PJTKI masuk dalam kategori ini.
Kedua adalah pekerja yang tidak memiliki
keahlian, tetapi memiliki uang untuk menggunakan jasa pengiriman dengan
menyelundup (smuggling immigrant). Sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja
umumnya adalah sektor jasa seperti pekerja domestik, pelayan, sektor
konstruksi atau perkebunan menjadi buruh upahan dengan gaji di bawah upah
minimum. Banyak pula pekerja yang legal di periode pertama kemudian masuk
kembali dengan menyeludup karena telah memahami peta atau medan di lapangan.
Ketiga adalah pekerja yang masuk dalam
kategori perdagangan manusia, yaitu mereka yang bekerja dengan cara terpaksa
baik karena terikat sistem utang, menjadi korban penipuan hingga penculikan.
Adelina masuk dalam kategori ketiga ini, di mana ia menjadi TKI tanpa
kehendak dan tidak mendapat izin orang tua mereka.
Kategori kedua dan ketiga umumnya sangat
dekat dengan sindikat perdagangan manusia, yang bisnis mereka umumnya tidak
hanya memfasilitasi seseorang untuk bekerja, tetapi juga terkait dengan
perdagangan narkoba, prostitusi, penyelundupan barang-barang dan kegiatan
ekonomi ilegal lainnya.
Kata sindikat di sini penting untuk
menekankan bahwa ada keterlibatan banyak pihak mulai aparat birokrasi, aparat
keamanan, hingga pihak swasta baik di negara pengirim maupun negara penerima.
Hampir tidak mungkin perdagangan manusia terjadi apabila tidak ada unsur dari
birokrasi dan aparat keamanan yang terlibat.
Kategori-kategori semacam ini semestinya
hanya alat bantu untuk memetakan permasalahan dan tidak menjadi norma yang
justru menjadi penghambat perlindungan hak asasi manusia para tenaga kerja.
Kerangka berpikir yang dominan selama ini ketika mendengar adanya kekerasan
terhadap WNI, khususnya mereka yang bekerja di Malaysia adalah formalitas
yaitu mempertanyakan apakah kehadiran mereka dilengkapi oleh dokumen atau
tidak (documented or undocumented worker).
Kerangka berpikir formalitas ini sangat
bias dan tidak adil karena telah menempatkan TKI kita sebagai pelaku kriminal
daripada korban. Ada atau tidak adanya dokumen kelengkapan ketenagakerjaan
bukan menjadi pembenaran timbulnya sebuah tindakan kekerasan dari majikan
kepada TKI.
Tindak kekerasan dapat terjadi kepada
seluruh TKI karena sifat pekerjaan yang rentan terhadap diskriminasi dan
kekerasan baik mereka terdokumentasi maupun tidak. Mereka yang bekerja
sebagai pekerja rumah tangga biasanya rentan akan jam kerja yang panjang,
terbatasnya akses terhadap dunia luar, rentan terhadap pelecehan seksual,
diskriminasi, dan kondisi kerja atau tempat istirahat yang buruk.
Tantangan
di ASEAN
Secara khusus, kasus Adelina menggambarkan
betapa terbata-batanya mekanisme perlindungan migran di ASEAN. Meskipun
secara historis perpindahan orang lintas batas di kawasan ini terbilang
panjang, perlindungan pada migran masih lemah.
Saat ini ada penekan yang lebih besar pada
negara-negara anggota ASEAN, yakni kesepakatan bersama bernama Konvensi ASEAN
untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya untuk
Perempuan dan Anak (ASEAN Convention Against Trafficking in Persons,
especially Women and Children) yang sejak lahir pada 2015 sudah diratifikasi
sembilan negara ASEAN (kecuali Brunei Darussalam).
Sifat konvensi yang mengikat hukum ini
mengharuskan segenap negara-negara anggota ASEAN untuk secara aktif
memberantas kejahatan perdagangan orang dan memperlakukan korban secara
manusiawi, memberikan segala macam bantuan yang dibutuhkan mulai bantuan
kesehatan jasmani dan mental hingga reintegrasi kepada masyarakat, serta
pencegahan kejahatan melalui beragam kerja sama lintas negara.
Komisi HAM ASEAN (AICHR) secara aktif
melakukan berbagai cara untuk menghidupkan terus inisiatif kerja sama lintas
batas untuk pelaksanaan ACTIP. Tantangan ACTIP adalah bahwa pemangku
kepentingan yang harus dilibatkan ada begitu banyak, mulai tingkat pusat
hingga daerah.
Saat ini bahkan belum segenap pemangku
kepentingan di tingkat pusat yang paham betul cara-cara pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang. Pemahaman ini perlu ditingkatkan terus sambil
diciptakan beragam mekanisme dan instrumen yang bisa digunakan oleh para
penegak hukum, pemerintah daerah, dan pegiat masyarakat untuk bergerak
bersama sesuai kesepakatan ACTIP.
Saat ini juga ada ASEAN Consensus on
Protection and Promotion on the Rights of Migrant Workers, yakni kesepakatan
yang ditopang oleh kerja sama antarkementerian tenaga kerja se-ASEAN.
Konsensus ini lebih detail dibandingkan deklarasi yang sebelumnya ada terkait
perlindungan pekerja migran, karena di dalam konsensus ini disebut hal-hal
apa saja yang dijamin diperoleh oleh pekerja migran. Andai saja upaya-upaya
ini bisa cepat terbentuk, pemantauan di level pemerintah dan masyarakat bisa
lebih efektif.
Namun, menunggu saja sampai segala
mekanisme dan instrumen siap seperti layaknya membiarkan kejadian seperti
Adelina terulang lagi. Saat ini yang sebaiknya dikembangkan adalah
pemberantasan tindak kekerasan kepada para migran; apalagi mereka yang telah
dipergunakan tenaganya untuk bekerja di negara lain.
Jika selama ini tugas pencegahan selalu
dilakukan hanya oleh negara pengirim (seperti Indonesia dalam kasus Adelina),
maka sebenarnya dengan kejadian Adelina maka kita wajib mengampanyekan fungsi
pencegahan kekerasan; perekrutan tenaga kerja tanpa dokumen di negara
penerima.
Para ibu rumah tangga atau keluarga di
negara penerima perlu paham apa saja bentuk culture shock akibat beda budaya
yang dialami pekerja maupun keluarga yang mempekerjakan pekerja migran, mulai
keterbatasan bahasa, perbedaan kebiasaan, perbedaan cara merespons masalah,
hingga soal kebersihan dan kesempatan beribadah dan istirahat. Di Taiwan,
kampanye seperti ini dilakukan pemerintah sehingga rumah tangga yang
mempekerjakan pekerja migran tahu diri dan tahu batas.
Kesimpulan
Upaya untuk menyelesaikan masalah TKI
terutama yang terkait dengan perdagangan manusia di luar negeri memang sangat
membutuhkan pendekatan yang sistematis dan holistis. Kita telah banyak
melakukan pendekatan kemanusiaan baik melalu kerangka formal HAM, MoU, atau
melalui lembaga internasional, namun belum mampu memperbaiki perlakuan
semena-mena yang telah terlembagakan kepada TKI kita.
Kita mungkin juga perlu menempatkan
prioritas negara mana yang penting untuk diselesaikan dahulu dan dapat
dijadikan contoh bagi wilayah penempatan lain. Saat ini tujuan terbesar TKI
kita masih di Malaysia.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mendata penempatan TKI ke Malaysia mencapai
angka 87.616 orang. Angka ini adalah 37,4% dari total penempatan TKI di luar
negeri. Negara penempatan TKI terbesar kedua adalah Taiwan dengan jumlah
77.087 orang dan ketiga Arab Saudi dengan jumlah 13.538 orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar