Melanjutkan
Reformasi TNI/Polri dan Birokrasi
Didik Supriyanto ; Kolumnis dan Peminat Masalah Pemilu
|
KOMPAS,
19 Februari
2018
Beberapa jenderal militer/
polisi dan birokrat provinsi rela melepas jabatan untuk menjadi calon
gubernur atau wakil gubernur pada Pilkada 2018. Demikian juga sejumlah dandim, kapolres,
dan sekda kabupaten/kota mau menanggalkan jabatan demi memburu kursi bupati/wali
kota atau wakil bupati/wakil wali kota.
Pelepasan jabatan penting
di lingkungan TNI/Polri dan aparatur sipil negara (ASN) tersebut sebetulnya
bukan gejala baru. Pada Pilkada 2015, misalnya, terdapat delapan perwira TNI/
Polri dan 176 petinggi ASN yang ikut berkompetisi merebut jabatan kepala
daerah atau wakil kepala daerah. Malah pada Pilkada 2017 masyarakat
dikejutkan oleh mundurnya perwira moncer, Mayor Agus Harimurti Yudhoyono,
dari dunia militer demi mengikuti Pilkada DKI Jakarta.
Menduduki jabatan politik
adalah hak warga negara yang dijamin konstitusi. Meski demikian, hasrat
anggota TNI/Polri/ ASN untuk menduduki jabatan- jabatan politik tersebut
perlu diatur kembali. Bukan untuk melarang mereka memasuki dunia politik,
melainkan untuk menentukan waktu terbaik: kapan dapat mengikuti perebutan
jabatan politik. Oleh karena itu, beberapa pertimbangan perlu diperhatikan.
Tiga
pertimbangan
Pertama, keluarnya anggota
TNI/Polri/ASN sebelum masa pensiun jelas merugikan institusi negara yang
ditinggalkan. Mereka telah dididik, dilatih, dan dibesarkan institusi negara
agar jadi aparat yang tangguh dan profesional. Tidak sedikit dana negara yang
dikeluarkan, tetapi ketika institusi negara masih butuh pikiran dan
tenaganya, mereka justru pergi.
Lebih dari itu, mundurnya
anggota TNI/Polri/ASN demi kontestasi politik telah menimbulkan kerusakan
sistemik terhadap institusi negara yang ditinggalkannya. Sadar atau tidak,
mereka memanfaatkan jaringan militer/kepolisian/birokrasi guna mendulang
suara. Secara langsung atau tidak, mereka menyeret institusi negara ke dalam
situasi tidak netral dalam kompetisi politik. Kerugian negara dan kerusakan
sistemik harus segera dihentikan.
Kedua, perubahan tiba-tiba
dari dunia militer/kepolisian/ birokrasi ke dunia politik adalah masalah
serius. Kemampuan di jabatan militer/kepolisian/birokrasi bukan jaminan
sukses saat memegang jabatan politik. Lingkungan kerja, sistem manajemen,
serta target dan tujuan yang berbeda butuh keterampilan dan gaya kepemimpinan
berbeda pula. Demi mencapai keberhasilan politik, kemampuan manajerial dan
bakat kepemimpinan harus disesuaikan dengan iklim dunia politik.
Tanpa adanya masa
penyesuaian, para mantan pejabat militer/kepolisian/birokasi yang menduduki
jabatan politik akan terjebak pragmatisme politik dalam menjaga kekuasaannya.
Selain itu, kultur militer/kepolisian/birokrasi yang selalu taat prosedur
sehingga cenderung mempertahankan status quo membuat mereka miskin inovasi
dalam memimpin lembaga pemerintahan. Itulah sebabnya jarang sekali terdengar
kisah sukses mantan tentara/polisi/ birokrat dalam memimpin pemerintahan
demokratis.
Ketiga, konstitusi
memberikan peran sentral kepada partai politik untuk menduduki
jabatan-jabatan politik. Namun, kegagalan atau kesulitan dalam kaderisasi
mendorong parpol menempuh jalan pintas: mengajukan pejabat
militer/kepolisian/birokrasi sebagai calon pejabat eksekutif ataupun calon
anggota legislatif. Pertimbangan lain, para pejabat tersebut memiliki modal
cukup untuk bertarung dalam pemilihan. Jika pun kalah, organisasi sudah
memperoleh dana, demikian juga pemimpin partai sudah kecipratan setoran.
Pola perekrutan politik
seperti itu berlangsung sejak Pemilu 1999 dan terus menguat setelah Pilkada
2005. Kaderisasi jalan pintas tak hanya merusak kredibilitas parpol, juga
menghambat pembangunan demokrasi. Demokrasi yang mengedepankan prinsip
supremasi sipil tidak melarang mantan pejabat militer/kepolisian/birokrasi
berkiprah di dunia politik, tetapi menempatkan lembaga politik (legislatif
dan eksekutif) sebagai pemegang otoritas tertinggi dan bebas dari pengaruh
militer/kepolisian/birokrasi.
Hal itu berarti sebelum
jadi anggota legislatif atau pejabat eksekutif, (mantan) pejabat
militer/kepolisian/birokrasi harus memutus hubungan dengan institusi yang
dipimpin sebelumnya. Selanjutnya, mereka harus menjalani penyipilan yang
cukup sehingga kehadirannya sebagai pejabat politik tak mengancam, tetapi
memperkuat demokrasi.
Masa
jeda
Atas tiga pertimbangan
tersebut, maka perlu dibuat peraturan guna mencegah anggota TNI/Polri/ASN
jadi calon anggota legislatif ataupun eksekutif. UU Pemilu (dan pilkada)
sudah mengatur hal itu, yakni mengharuskan anggota TNI/Polri/ ASN
mengundurkan diri setelah mereka ditetapkan sebagai calon anggota legislatif
ataupun eksekutif. Namun, ketentuan ini belum cukup karena pengunduran diri
sesaat setelah penetapan calon masih menyisakan pengaruh mereka di institusi
yang ditinggalkannya.
Yang harus dilakukan
adalah memberikan jeda waktu buat mantan anggota TNI/Polri/ASN sebelum
menduduki jabatan politik. Misalnya, mereka baru diperbolehkan jadi calon
anggota legislatif atau eksekutif setelah lima tahun terhitung sejak tak lagi
jadi anggota TNI/Polri/ ASN. Kurun waktu lima tahun ini cukup untuk menghapus
pengaruh mereka di institusi yang ditinggalkannya, sekaligus cukup untuk menyesuaikan
diri di lingkungan politik, misalnya dengan jadi pengurus parpol. Situasi itu
juga bisa mencegah partai politik menempuh kaderisasi jalan pintas.
Pemberian jeda waktu
beberapa tahun kepada mantan anggota militer dan birokrasi sebelum jadi
pejabat politik sebetulnya sudah lazim di negara demokrasi. Oleh karena itu,
demi pembangunan demokrasi, khususnya dalam menjunjung prinsip supremasi
sipil, menjaga netralitas TNI/Polri/ASN, dan penguatan parpol, maka sudah
seharusnya kita tidak ragu lagi membuat peraturan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar