Politisasi
SARA dalam Pilkada
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus Setara Institute
|
KORAN
SINDO, 17 Februari 2018
PENGGUNAAN isu suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) dikhawatirkan akan berlanjut dalam
Pilkada 2018. Apakah benar tren politisasi SARA ini akan berlanjut? Bagaimana
pendekatan yang seharusnya digunakan untuk mengantisipasi dan menangani
politisasi SARA? Tulisan pendek ini akan menganalisis dua isu krusial
tersebut.
Jika kita refleksikan
modus politisasi isu sensitif dimaksud khususnya politisasi agama pada
Pilkada DKI Jakarta 2017, kita akan menemukan empat faktor determinan utama.
Pertama, faktor kandidasi. Kandidat dalam pesta demokrasi di DKI lalu
merupakan faktor penting yang menjelaskan bekerjanya politisasi agama. Figur
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus diakui merupakan sosok yang rentan
menjadi objek penyingkiran politik berbasis suku dan agama karena secara
given Ahok adalah sosok minoritas jamak.
Di samping itu
pembawaannya yang ceplas-ceplos berkonsekuensi mudah kepleset ucap. Maka
begitu Ahok keceplosan menyinggung
Al-Maidah: 51, politisasi agama tak terbendung yang kemudian kita ketahui tak
hanya mengalahkannya dalam kontestasi, tapi juga menjebloskannya ke penjara.
Rekayasa
Kemarahan
Kedua, sublimasi wacana
politik. Wacana yang berkembang setelah peristiwa viralnya postingan potongan
video Buni Yani menunjukkan kecanggihan peluhuran wacana politik menjadi
wacana keagamaan, bahkan nasionalisme. Reproduksi wacana kontra-Ahok
dilakukan dengan “meluhurkan” kontestasi politik menjadi “jihad keagamaan dan
kenegaraan”. Para operator wacana tersebut merekayasa sedemikian rupa
kemarahan publik anti-Ahok dengan “jihad umat melawan penista agama” sehingga
terjadi berjilid-jilid aksi demonstrasi menentang Ahok.
Ketiga, mobilisasi massa.
Pilkada DKI yang lalu unik karena mobilisasi massa pada akhirnya tidak hanya
melibatkan pemilih setempat, tetapi juga menghimpun massa dari hampir seluruh
masyarakat Indonesia yang belum pulih dari polarisasi pasca-Pemilihan
Presiden 2014. Ini menggambarkan “kesempurnaan” kerja-kerja politisasi agama
yang melibatkan banyak elemen kelompok.
Keempat, konsolidasi
kelompok intoleran. Kelompok-kelompok yang ikut bermain dan menjadi faktor
determinan dalam Pilkada DKI sebenarnya mulai berkonsolidasi sejak satu
dekade lalu. Hal itu ditandai dengan tingginya frekuensi tindakan vigilante yang sebagian besar melibatkan mereka
sebagai aktor seperti dikonfirmasi oleh beberapa lembaga riset semisal Setara
Institute dan Wahid Institute/Foundation. Dalam Pilkada DKI mereka secara
berkelanjutan melancarkan pengaruh dan tindakan intoleran kepada pemilih
Jakarta seperti pengusiran pendukung kontestan lawan dari masjid, penolakan
menyalati jenazah pendukung “penista agama”, penyebaran ancaman tentang
neraka akibat kafir dan munafik, serta beberapa tindakan lain.
Melihat empat faktor
determinan tersebut, kecil kemungkinan akan terjadi replikasi politisasi
agama ala Jakarta. Tiga dari empat faktor determinan tersebut sulit
terbentuk. Dari sisi kandidat, personifikasi “Ahok” sudah tidak menarik
sebagai kampanye politik, berbeda dengan fenomena Ahok sebelum kasus
penistaan agama di mana Ahok yang berani, tegas, dan konfrontatif atas
anggota legislatif yang dalam perspektif publik korup sering digunakan
sebagai kampanye politik kandidat di daerah lain.
Demikian halnya dengan
penyebaran wacana-wacana luhur keagamaan sebagai bungkus bagi kepentingan
politik kandidat tidak mudah dibangun ulang dari pengalaman Pilkada DKI.
Semakin cairnya pola koalisi menunjukkan gambaran sesungguhnya pragmatisme
elite dan partai politik. Hal itu akan menyulitkan packaging kampanye politik
menggunakan isu-isu agama.
Selain itu mobilisasi
massa (dan suara) dalam skala nasional untuk memengaruhi preferensi pemilih
lokal sulit dilakukan, termasuk di daerah-daerah besar sekalipun seperti Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Mewaspadai
Kelompok Intoleran
Meski demikian, faktor
determinan yang keempat tetap tersedia. Meskipun variabel Rizieq Shihab dan
Hizbut Tahrir Indonesia melemahkan konsolidasi kelompok-kelompok intoleran,
sumber daya mereka sangat besar untuk menjadi amunisi politik bagi kontestasi
di tingkat lokal. Dua kasus intoleransi dan tindakan penegakan hukum dengan
cara sendiri (vigilante) yang terjadi di awal tahun ini, yaitu sweeping massa LPI-FPI di Pamekasan Madura dan
pembubaran baksos Gereja Katolik St Paulus di Bantul DIY, menunjukkan potensi
dan eksistensi kelompok-kelompok intoleran di tingkat lokal potensial
digunakan untuk kontestasi pilkada.
Banyak isu yang digunakan
oleh kelompok-kelompok vigilan ini untuk melakukan pembelahan politik dalam
pilkada untuk kepentingan mereka. Isu-isu moral, sebagaimana tren yang
berlangsung dalam hampir dua dekade ini, akan terus dijadikan basis utama
mereka untuk eksis.
Oleh karena itu kesiapsiagaan
penyelenggara pilkada dan aparat keamanan tetap dibutuhkan. Sebab meskipun
politisasi agama dalam skala besar dan luas seperti dalam Pilkada DKI yang
lalu sulit direplikasi, potensi penggunaan sentimen SARA tetap besar
mengingat kelompok-kelompok intoleran kerap menggunakan perhelatan-perhelatan
politik sebagai medium untuk menunjukkan eksistensi dan meningkatkan daya
tawar ekonomi-politik mereka.
Apalagi pilkada serentak
tahap ketiga ini hanya berjarak beberapa bulan saja dari start kontestasi
politik terbesar dalam republik, yaitu pemilihan presiden (pilpres). Bagi
kelompok laskar-laskar ini, pilkada sangat potensial digunakan secara agak
sporadis untuk kepentingan hegemoni wacana dan perebutan ruang publik-politik
pada Pilpres 2019 yang akan datang.
Integritas pilkada di
antaranya ditentukan oleh seberapa serius berbagai pelanggaran pemilu
ditindak sehingga memberikan pembelajaran efektif bagi peningkatan kualitas
demokrasi kita. Untuk menciptakan pilkada yang damai dan tertib sekaligus
untuk membangun konsolidasi demokrasi yang smooth, penegakan hukum pemilu
dalam bentuk pelanggaran pidana pemilu seperti kampanye SARA yang secara
eksplisit dilarang oleh undang-undang perlu ditegakkan dengan penghukuman
yang memberikan efek jera. Dasar dan mekanisme hukum untuk penindakan
pelanggaran tersebut sudah lebih dari cukup, hanya implementasinya yang
selama ini kurang terlihat.
Dalam konteks itu,
Kepolisian RI telah membentuk Satgas Nusantara untuk mengantisipasi dan
menindak pelanggaran hukum dalam bentuk kampanye-kampanye SARA selama
pilkada. Penanganan hukum secara proporsional dan profesional atas
pelanggaran-pelanggaran yang mengancam stabilitas nasional dan kebinekaan
selama pilkada, selain akan memberi efek jera, juga merupakan bentuk mitigasi
atas kampanye-kampanye SARA yang rentan terjadi pada pilpres mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar