Setelah
Lima Abad Reformasi Protestan
Martin Lukito Sinaga ; Pernah Bekerja di
Federasi Dunia Gereja-gereja Lutheran (2009-2012); Kini Tenaga Ahli di
UKP-Pancasila
|
KOMPAS,
02 November
2017
Di tengah krisis politik yang
bisa berakibat kejatuhan jabatan presidennya, Sukarno pada 15 Januari 1966
mengucapkan pidato di sidang kabinet.
Pidato itu, antara lain, berisi
sikap tegar Sukarno di tengah krisis akibat banyaknya demonstrasi dan tekanan
kepadanya. Katanya, ”Saya Sukarno, Pemimpin Besar Revolusi. Sebagaimana
Martin Luther katakan di gereja Wittenberg, saya pun berkata, ’Di sini saya
berdiri, saya tak bisa berbuat lain’.”
Reformasi Protestan yang pada
31 Oktober 2017 berusia 500 tahun bermula dari pencanangan 95 dalil pada 31
Oktober 1517 oleh Martin Luther di pintu gereja kota Wittenberg, Jerman.
Dalil itu berisikan posisi teologisnya yang menolak sejumlah keputusan Gereja
Katolik Roma kala itu.
Luther pun didera banyak
tekanan, antara lain pencopotan statusnya selaku imam. Bahkan, ia divonis
sesat dalam peradilan agama saat itu. Atas semua itu, ia terutama
mengandalkan diri pada dalil dan tafsir alkitabiahnya dan saat berada dalam
krisis, ia pun hanya bisa berkata, seperti yang dikutip Sukarno, ”Hier steh’ich, Ich kann nicht anders!”
Dengan ekspresi sedemikian khas
itu dapat kita rasakan konsekuensi penting Reformasi Protestan bagi
penghayatan agama Kristen: kini ajaran agama perlu dihubungkan dengan situasi
pribadi penganutnya, religiositas akan berkembang jika secara kritis diuji
dan keberimanan akan menjadi lenting justru kalau dihayati dalam krisis
kehidupan.
Krisis iman
Sejarawan Katolik Eddy
Kristiyanto (2017) secara tepat mengatakan bahwa krisis iman yang dilalui
Luther terkait erat dengan penolakannya pada doktrin yang melatari praksis
”indulgensi”. Gereja Katolik yang ia cintai, yang karena itu ia jadi
biarawan, dirasakan Luther telah mengkhianati pesan Injil tentang rahmat.
Surat indulgensi adalah sebentuk korupsi rohani sebab dengan menjual surat
penghapusan dosa, umat diiming-imingi keselamatan di akhirat. Ungkapan
seorang anggota Ordo Dominikan, Johan Tetzel, mencerminkan muslihat agama
itu, ”begitu koin Anda masuk ke dalam kotak sumbangan ini, jiwa-jiwa mereka
yang mati akan meloncat masuk surga”. Surga telah dikomodifikasi di tengah
masyarakat yang diteror neraka pada abad-abad yang disebut gelap itu. Karena
inilah Luther mengalami krisis kepercayaan sehingga hidup membiaranya
dipenuhi dengan pertanyaan bagaimana cara agar ia bertemu dengan Allah penuh
rahmat itu.
Buku saku karya Luther, On
Christian Liberty (1520), mencoba menyederhanakan perlawanan doktrin di balik
jual-beli indulgensi itu. Perlawanan Luther ini ia mulai sejak ia menemukan
pesan Injil tentang iman yang menyelamatkan. Bukan perbuatan membeli
indulgensi atau perbuatan saleh lainnya yang menyelamatkan manusia. Melalui
iman, manusia bisa menerima rahmat ilahi yang membebaskan jiwa manusia dari
ketakutannya atau ketaklayakannya di hadapan Allah. Di hadapan Allah, manusia
hanya bisa memercayakan dirinya tanpa transaksi atau reserve apa pun. Allah
membenarkan manusia, dalam arti Ia akan memvonis bebas dan menerima manusia
tanpa syarat. Maka bukan ketakutan akan hukuman neraka lagi yang jadi inti
hidup beragama, melainkan rasa syukur yang diungkapkan dengan berbuat baik
kepada sesama.
Ajaran yang cukup sederhana ini
sesungguhnya telah mengu- bah sikap umat atas otoritas agama, yang tak lagi
bisa secara tak semena-mena diterapkan sebab kebebasan iman tadi telah
menjadikan setiap pribadi setara di hadapan Tuhan. Gereja atau pemimpin agama
tak lagi dipahami sebagai pemilik istimewa anugerah pengampunan sebab kini
anugerah telah turah ke setiap insan yang percaya.
Akibat lanjutan dari kebebasan
iman ini terjadilah apa yang disebut St Agustinus bahwa in the inward man
dwells truth. Manusia menjadi subyek atas narasi agama yang didengarnya
setelah ia menafsirkannya dan menghayatinya. Lalu proses komunikasi akan
kebenaran yang telah ditafsirkan pribadi masing-masing itu menciptakan
sirkulasi perca- kapan, yang adalah sebentuk proses awal emansipasi sosial.
Di sinilah realitas dan keberlangsungan masyarakat itu terjadi, lahir dalam
sebentuk ruang publik, bukan dibentuk hierarki agama atau kekuasaan raja.
Dengan adanya realitas sosial yang berbentuk sirkulasi percakapan atau opini
itu, dengannya kebebasan sipil pun mulai muncul sebagai tuntutan umum yang
lantas menjadi ketetapan sosial.
Menurut catatan sejarawan
Diarmaid MacCulloch (2004), dengan terbukanya sirkulasi dan majemuknya tafsir
atas Alkitab, perlahan hilanglah dakwaan penistaan agama. Dicatatnya
pembakaran hidup-hidup atas penista ajaran Trinitas di Inggris berakhir pada
1612. Dan, pada 1597, Anneke van den Hove menjadi perempuan terakhir yang
dikubur hidup-hidup di Belanda karena ketahuan anggota sekte terlarang
bernama Anabaptis.
Dengan demikian, toleransi
agama dapat dikatakan sebagai buah utama Reformasi Protestan yang secara
sosial dapat dinikmati luas oleh masyarakat majemuk. Kita lantas bertemu dengan
tulisan filsuf Protestan yang karyanya bahkan sampai saat ini dibaca: John
Locke, yang menulis buku utama ihwal toleransi itu.
Masyarakat majemuk
Reformasi selanjutnya
memengaruhi realitas sosial dunia modern, khususnya dengan pembentukan
institusi agama yang mandiri dan dibedakan dari institusi sosial lain, juga
dengan institusi negara. Untuk itu Luther melahirkan ajaran dua kerajaan:
kerajaan rohani atau gereja yang di dalamnya Injil dimuliakan sebagai sumber
kebenaran vis a vis kerajaan duniawi yang memuliakan hukum sebagai sumber
kekuasaan. Luther di sini sebenarnya ingin tersedia ruang bebas, tak saja
bagi iman, tetapi juga bagi ekspresi sosial agama.
Dengan pembedaan atau bahkan
pemisahan institusi-institusi sosial di atas, memang Eropa perlahan masuk era
pasca-Kristen ataupun pasca-christendom. Ini kian nyata ketika Perjanjian
Westphalia ditandatangani pada 1648 mengakhiri perang-perang yang melibatkan
gereja yang lantas ditutup dengan perjanjian toleransi Ausgburg pada 1555.
Dengan proses ini semua, berbagai aliran dan keyakinan agama masuk. Mulailah
masyarakat majemuk terbentuk selaku inti kehidupan sosial.
Selanjutnya merasuklah leluasa
ke tengah masyarakat unsur-unsur humanisme yang secara mendalam
memperkenalkan studi kritis atas dokumen-dokumen klasik Yunani. Pendekatan
filologis yang dibawa kelompok ini telah pula diserap para sarjana Alkitab di
kampus-kampus, yang membawa suatu fase tiada banding dalam sejarah studi
agama. Mulailah disadari bahwa Alkitab adalah dokumen yang punya kaitan kontekstual
dengan teks di sekitarnya, sekalipun teks itu milik agama yang bukan-Kristen.
Kisah penciptaan dunia dalam Alkitab, misalnya, tak bisa dipahami tanpa
membaca dokumen tentang kosmologi bangsa Babilonia.
Kini kritik sastra atas Kitab
Suci telah standar hampir di semua lembaga studi teologi Kristen dan ini
secara tak langsung bersesuaian dengan etos dunia majemuk yang tak lagi
bekerja dengan pendakuan mutlak atas sumber keberagamaannya.
Secara umum tepat bila
reformasi dilihat sebagai jalan terbaik yang ditempuh agama dalam ikhtiar
pembaruan diri dan masyarakatnya, bukan revolusi. Dengan reformasi, baik
gereja Protestan dan Katolik menemukan titik bersama memperbarui, baik
teologi maupun kelembagaannya. Tak ada yang menang ataupun kalah di sini dan tak
ada lagi yang merasa benar dan salah, serta posisi itu boleh disebut sebagai
persembahan terbaik kepada sejarah agama dari gereja Katolik dan Protestan.
Bahkan, titik konflik teologis
utama kedua ”agama” ini, yaitu ajaran tentang justification by faith telah
pula menemukan tafsir terbukanya. Pada 1999, Federasi Gereja Lutheran Sedunia
dan Komisi Kepausan untuk Keesaan Gereja telah turut menandatangani
”deklarasi bersama tentang ajaran pembenaran oleh iman” sehingga tak ada lagi
alasan untuk saling mencerca saat ini.
Dengan itu semua, setiap
pernyataan atau narasi agama kini menjadi peristiwa hermeneutik sehingga tak
perlu wacana kalah menang atau serba merasa dinista terjadi di wilayah agama
dan ruang publik. Kehidupan majemuk dengan tafsir terbuka dan kritis di atas
bolehlah kita anggap sebagai makna atau persembahan terbaik 500 Tahun Reformasi
Protestan bagi agama-agama, juga bagi masyarakat dunia dan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar