Senin, 06 November 2017

Sepucuk Surat

Sepucuk Surat
Trias Kuncahyono  ;   Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
                                                    KOMPAS, 05 November 2017



                                                           
Seratus tahun silam surat itu ditulis. Surat bertanggal 2 November 1917 ini ditulis oleh Arthur James Balfour (1848-1930). Balfour menulisnya ketika menjadi Menteri Luar Negeri Inggris (1916-1919) pada pemerintahan koalisi zaman perang pimpinan PM David Lloyd George (1916-1922). Sebelum menjadi Menlu, Balfour adalah perdana menteri (1902-1905) dari Partai Konservatif. Balfour dikenal terlibat dalam perundingan yang mengakhiri Perang Dunia I dan menandatangani Perjanjian Versailles antara Sekutu dan Jerman, 1919.

Surat Balfour—penulis dua buku filsafat Defense of Philosophical Doubt (1879) dan Theism and Humanism (1914)—itu dikirimkan kepada tokoh Zionis Inggris, Lionel Walter Rothschild atau Lord Walter Rothschild (1868-1937). Selain merupakan tokoh Zionis Inggris, Rothschild juga dikenal sebagai bankir, politisi, dan ahli ilmu hewan. Kegemarannya sejak kecil mengoleksi serangga, kupu-kupu, dan binatang lainnya mendorongnya bercita-cita mendirikan museum binatang.

Surat Balfour kepada Rothschild tak panjang. Hanya 67 kata. Namun, meski hanya 67 kata (dalam bahasa Inggris), surat itu sangat penting, bahkan menjadi ”benih” konflik Arab (Palestina) dan Israel. Konflik yang melintasi zaman ini telah menelan banyak korban jiwa, membuat jutaan orang menderita karena luka-luka, karena hidup di bawah ketakutan. Konflik Arab (Palestina)-Israel juga diyakini menjadi sumber ketidakamanan dunia, sumber terorisme, sumber kebencian antarumat manusia, antarumat beragama di berbagai pelosok dunia.

Surat Balfour kepada Rothschild itu kemudian dikenal sebagai ”Deklarasi Balfour”, setelah dibahas tiga kali—3 September, 4 Oktober, dan 31 Oktober 1917—dalam sidang Kabinet Perang Inggris. Surat itu berbunyi:

”Pandangan Pemerintah Yang Mulia mendukung pendirian di Palestina sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, karena dipahami dengan jelas bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilakukan yang bisa merugikan hak-hak sipil dan hak-hak religius dari komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain” (Jonathan Schneer: 2010).

Deklarasi Balfour adalah janji Pemerintah Inggris untuk membantu komunitas Yahudi membangun ”national home in Palestina”. Karena di dalam surat disebut ”a national home for the Jewish people” bukan ”Jewish state” atau ”Israel state”, banyak pihak mempersoalkan Deklarasi Balfour sebagai pembenaran didirikannya negara Yahudi di Palestina. Apalagi, Deklarasi Balfour bukan dokumen hukum, melainkan pendirian (pembentukan) ”Jewish national home” di Palestina yang telah mengikat dalam hukum internasional setelah Konferensi San Remo (1920) dan Mandat Inggris dari Liga Bangsa-Bangsa (BICOM Research Team: 2016).

Konferensi San Remo menyepakati kekuasaan mandatori dalam Palestina yang ”akan bertanggung jawab untuk berlakunya deklarasi yang dibuat tanggal 2 November 1917 oleh Pemerintah Yang Mulia….untuk pendirian (pembentukan) di Palestina a national home for the Jewish people”. Pada 1922, Liga Bangsa-Bangsa menegaskan Inggris sebagai kekuasaan mandatori untuk Palestina. Salah satu tugas Inggris adalah mengamankan pembentukan Jewish national home.

Pengakuan hukum internasional atas negara Yahudi di Palestina yang berada bawah mandatori Inggris diperkuat pada akhir PD II ketika dibentuk Komite Khusus PBB tentang Palestina (UNSCOP). Komite ini merekomendasikan pembagian Palestina menjadi wilayah negara Yahudi dan Arab dengan Jerusalem berada di bawah pengawasan internasional. Pada 29 November 1947, hal itu menjadi Resolusi PBB No. 181 yang didukung oleh 33 negara dan ditentang 13 negara.

Namun, 60 tahun silam, ahli hukum AS, Sol Linowitz, menegaskan, dengan sendirinya deklarasi itu ”secara hukum tak memiliki kekuatan karena Inggris Raya tidak memiliki hak kedaulatan atas Palestina; Inggris tidak berminat memilikinya; Inggris tak memiliki otoritas menentukan atas tanah itu”.

Sejarawan menyodorkan berbagai alasan Inggris—lewat Balfour—mengeluarkan deklarasi itu. Alasan ini antara lain untuk mengamankan penguasaan Inggris atas wilayah dekat Terusan Suez yang penting; mencegah Jerman menjalin hubungan dengan gerakan Zionis; berharap gerakan Zionis di Rusia membujuk pemerintah mereka agar tetap berpihak pada Sekutu dalam PD I; keyakinan pribadi PM David Lloyd George bahwa orang Yahudi dapat memberikan pemerintahan yang lebih baik ketimbang penduduk Arab; serta keyakinan religiusnya bahwa membantu warga Yahudi kembali ke Tanah Suci adalah sesuai rencana Tuhan; aktivitas diplomasi dan keterampilan pemimpin Zionis Chaim Weizmann; serta Inggris zaman perang dan Zionisme pascaperang memiliki kepentingan yang sama dan melihat deklarasi sebagai ”batu loncatan” untuk mewujudkan tujuan mereka (BICOM Research Team: 2016).

Apa pun alasannya, sungguh luar biasa kekuatan dan akibat surat Balfour itu. Deklarasi ini menjadi dasar mengalirnya orang Yahudi dari pelbagai belahan bumi masuk ke Palestina. Padahal, tidak jelas disebutkan ”national home” itu untuk warga Yahudi yang hidup di Palestina atau semua orang Yahudi di mana pun mereka berada. Yang lebih penting lagi, deklarasi itu menjadi dasar berdirinya negara Israel.

Arthur Koestler (1905-1983)—wartawan, novelis, dan kritikus Inggris kelahiran Hongaria—menyebut Deklarasi Balfour sebagai ”salah satu dokumen politik lengkara sepanjang waktu”, yakni ”sebuah bangsa dengan sungguh-sungguh menjanjikan sebuah negara pada bangsa kedua di negara ketiga”. Dalam bahasa lain, sarjana Palestina, Walid Khalidi, menyebut Deklarasi Balfour sebagai ”dokumen politik yang sangat menghancurkan Timur Tengah pada abad ke-20” (Martin Kramer: 2017).

Maka, pada 22 September 2016, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, dalam pidatonya di PBB, mengatakan, ”Seratus tahun telah berlalu sejak Deklarasi Balfour yang terkenal karena keburukannya, dengan deklarasi itu, Inggris, tanpa punya hak, otoritas atau izin dari siapa pun, memberikan tanah Palestina kepada orang lain.” Abbas menuntut Inggris meminta maaf karena membuat ”sepucuk surat” pembawa petaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar