Sepucuk
Surat
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom
KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS,
05 November
2017
Seratus tahun silam surat itu
ditulis. Surat bertanggal 2 November 1917 ini ditulis oleh Arthur James
Balfour (1848-1930). Balfour menulisnya ketika menjadi Menteri Luar Negeri
Inggris (1916-1919) pada pemerintahan koalisi zaman perang pimpinan PM David
Lloyd George (1916-1922). Sebelum menjadi Menlu, Balfour adalah perdana menteri
(1902-1905) dari Partai Konservatif. Balfour dikenal terlibat dalam
perundingan yang mengakhiri Perang Dunia I dan menandatangani Perjanjian
Versailles antara Sekutu dan Jerman, 1919.
Surat Balfour—penulis dua buku
filsafat Defense of Philosophical Doubt (1879) dan Theism and Humanism
(1914)—itu dikirimkan kepada tokoh Zionis Inggris, Lionel Walter Rothschild
atau Lord Walter Rothschild (1868-1937). Selain merupakan tokoh Zionis
Inggris, Rothschild juga dikenal sebagai bankir, politisi, dan ahli ilmu hewan.
Kegemarannya sejak kecil mengoleksi serangga, kupu-kupu, dan binatang lainnya
mendorongnya bercita-cita mendirikan museum binatang.
Surat Balfour kepada Rothschild
tak panjang. Hanya 67 kata. Namun, meski hanya 67 kata (dalam bahasa
Inggris), surat itu sangat penting, bahkan menjadi ”benih” konflik Arab
(Palestina) dan Israel. Konflik yang melintasi zaman ini telah menelan banyak
korban jiwa, membuat jutaan orang menderita karena luka-luka, karena hidup di
bawah ketakutan. Konflik Arab (Palestina)-Israel juga diyakini menjadi sumber
ketidakamanan dunia, sumber terorisme, sumber kebencian antarumat manusia,
antarumat beragama di berbagai pelosok dunia.
Surat Balfour kepada Rothschild
itu kemudian dikenal sebagai ”Deklarasi Balfour”, setelah dibahas tiga kali—3
September, 4 Oktober, dan 31 Oktober 1917—dalam sidang Kabinet Perang
Inggris. Surat itu berbunyi:
”Pandangan Pemerintah Yang
Mulia mendukung pendirian di Palestina sebuah rumah nasional bagi orang-orang
Yahudi, dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memfasilitasi
pencapaian tujuan ini, karena dipahami dengan jelas bahwa tidak ada tindakan
yang dapat dilakukan yang bisa merugikan hak-hak sipil dan hak-hak religius
dari komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak-hak dan status
politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain” (Jonathan Schneer:
2010).
Deklarasi Balfour adalah janji
Pemerintah Inggris untuk membantu komunitas Yahudi membangun ”national home
in Palestina”. Karena di dalam surat disebut ”a national home for the Jewish
people” bukan ”Jewish state” atau ”Israel state”, banyak pihak mempersoalkan
Deklarasi Balfour sebagai pembenaran didirikannya negara Yahudi di Palestina.
Apalagi, Deklarasi Balfour bukan dokumen hukum, melainkan pendirian
(pembentukan) ”Jewish national home” di Palestina yang telah mengikat dalam
hukum internasional setelah Konferensi San Remo (1920) dan Mandat Inggris
dari Liga Bangsa-Bangsa (BICOM Research Team: 2016).
Konferensi San Remo menyepakati
kekuasaan mandatori dalam Palestina yang ”akan bertanggung jawab untuk
berlakunya deklarasi yang dibuat tanggal 2 November 1917 oleh Pemerintah Yang
Mulia….untuk pendirian (pembentukan) di Palestina a national home for the
Jewish people”. Pada 1922, Liga Bangsa-Bangsa menegaskan Inggris sebagai
kekuasaan mandatori untuk Palestina. Salah satu tugas Inggris adalah
mengamankan pembentukan Jewish national home.
Pengakuan hukum internasional
atas negara Yahudi di Palestina yang berada bawah mandatori Inggris diperkuat
pada akhir PD II ketika dibentuk Komite Khusus PBB tentang Palestina
(UNSCOP). Komite ini merekomendasikan pembagian Palestina menjadi wilayah
negara Yahudi dan Arab dengan Jerusalem berada di bawah pengawasan
internasional. Pada 29 November 1947, hal itu menjadi Resolusi PBB No. 181 yang
didukung oleh 33 negara dan ditentang 13 negara.
Namun, 60 tahun silam, ahli
hukum AS, Sol Linowitz, menegaskan, dengan sendirinya deklarasi itu ”secara
hukum tak memiliki kekuatan karena Inggris Raya tidak memiliki hak kedaulatan
atas Palestina; Inggris tidak berminat memilikinya; Inggris tak memiliki
otoritas menentukan atas tanah itu”.
Sejarawan menyodorkan berbagai
alasan Inggris—lewat Balfour—mengeluarkan deklarasi itu. Alasan ini antara
lain untuk mengamankan penguasaan Inggris atas wilayah dekat Terusan Suez
yang penting; mencegah Jerman menjalin hubungan dengan gerakan Zionis;
berharap gerakan Zionis di Rusia membujuk pemerintah mereka agar tetap
berpihak pada Sekutu dalam PD I; keyakinan pribadi PM David Lloyd George
bahwa orang Yahudi dapat memberikan pemerintahan yang lebih baik ketimbang
penduduk Arab; serta keyakinan religiusnya bahwa membantu warga Yahudi
kembali ke Tanah Suci adalah sesuai rencana Tuhan; aktivitas diplomasi dan
keterampilan pemimpin Zionis Chaim Weizmann; serta Inggris zaman perang dan
Zionisme pascaperang memiliki kepentingan yang sama dan melihat deklarasi
sebagai ”batu loncatan” untuk mewujudkan tujuan mereka (BICOM Research Team:
2016).
Apa pun alasannya, sungguh luar
biasa kekuatan dan akibat surat Balfour itu. Deklarasi ini menjadi dasar
mengalirnya orang Yahudi dari pelbagai belahan bumi masuk ke Palestina.
Padahal, tidak jelas disebutkan ”national home” itu untuk warga Yahudi yang
hidup di Palestina atau semua orang Yahudi di mana pun mereka berada. Yang
lebih penting lagi, deklarasi itu menjadi dasar berdirinya negara Israel.
Arthur Koestler
(1905-1983)—wartawan, novelis, dan kritikus Inggris kelahiran
Hongaria—menyebut Deklarasi Balfour sebagai ”salah satu dokumen politik
lengkara sepanjang waktu”, yakni ”sebuah bangsa dengan sungguh-sungguh
menjanjikan sebuah negara pada bangsa kedua di negara ketiga”. Dalam bahasa
lain, sarjana Palestina, Walid Khalidi, menyebut Deklarasi Balfour sebagai
”dokumen politik yang sangat menghancurkan Timur Tengah pada abad ke-20”
(Martin Kramer: 2017).
Maka, pada 22 September 2016,
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, dalam pidatonya di PBB,
mengatakan, ”Seratus tahun telah berlalu sejak Deklarasi Balfour yang
terkenal karena keburukannya, dengan deklarasi itu, Inggris, tanpa punya hak,
otoritas atau izin dari siapa pun, memberikan tanah Palestina kepada orang
lain.” Abbas menuntut Inggris meminta maaf karena membuat ”sepucuk surat”
pembawa petaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar