Negara
Peraturan
Suparman Marzuki ; Dosen FH UII Yogyakarta ;
Senior Advisor pada
Kantor Assegaf Hamzah and Partners
|
KOMPAS,
31 Oktober
2017
Negara lembek (soft state)
adalah negara dengan ciri banyak korupsi, pegawai negeri sipil (aparatur
sipil negara)-nya pemalas, dan banyak membuat peraturan perundang-undangan
(over legislation), tetapi cacat dan tidak berjalan.
Pernyataan Gunnar Myrdal
tersebut nyaris sama dengan keluhan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan
bahwa negara kita terlalu banyak aturan sehingga menyebabkan kita terjerat
aturan sendiri. Jumlahnya banyak sekali, 42.000, yang mencakup
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri
hingga peraturan gubernur, wali kota dan bupati di daerah, yang membuat
lambatnya laju pemerintah dalam membangun Indonesia. Begitulah kurang lebih
keluhan Presiden Jokowi saat menghadiri Rembuk Nasional 2017 di JIExpo
Kemayoran, Jakarta, Senin (23/10).
Tidak ada data akurat berapa
jumlah peraturan perundang-undangan sesungguhnya. Angka 42.000 yang disebut
Presiden itu dugaan saya bisa lebih besar mengingat kebiasaan buruk birokrasi
pemerintahan kita yang tidak tertib dokumentasi. Yang pasti, maraknya
produksi peraturan perundang-undangan dimulai di era pemerintahan Orde Baru,
sejalan dengan kebijakan (politik-hukum) pemerintahan Soeharto kala itu bahwa
hukum adalah instrumen pembangunan. Hukum adalah alat kontrol sosial (a tool
of social control) dan rekayasa pembangunan (a tool of social engineering).
Aturan apa saja yang diperlukan
untuk melancarkan pembangunan bisa dibuat dalam waktu singkat. Semua gangguan
yang menghambat laju pembangunan harus diatasi dengan peraturan
perundang-undangan (UU, perppu, PP, perpres, keppres, peraturan menteri, dan
sebagainya). Dengan demikian, tindakan pemerintah terbaca legal (berdasarkan
hukum) meski proses dan dampak pembangunan itu menimbulkan ketidakadilan.
Departemen Kehakiman (kini
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) hanya bertindak sebagai dapurnya pemerintah menyiapkan pelbagai
peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan. DPR tinggal menyetujui UU atau
perppu yang diajukan. Tidak pernah ada program dan langkah harmonisasi dan
singkronisasi. Kalaupun ada, hal itu terbatas sebagai kajian (program) dan
tidak untuk menyelaraskan peraturan agar efektif, efisien, ada kepastian, dan
seterusnya.
Implementasi yang sama
Kebijakan Orde Baru demikian
itu terus berlanjut di era pemerintahan sesudahnya meski politik hukum sudah
bergeser dengan menempatkan hukum sebagai supremasi, seperti termuat dalam
Pasal 1 (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Implementasi Indonesia sebagai
negara hukum faktanya tidak berbeda jauh dengan pemerintahan Soeharto bahwa
hukum adalah instrumen pembangunan meski dengan asumsi dan tujuan berbeda. Di
era ini, peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatur ketidakteraturan
yang ada akibat peraturan perundang-undangan kurang mengatur, kurang tegas,
tidak sejalan dengan kebutuhan, dan seterusnya.
Pemerintah pusat dan daerah
beranggapan, asal sudah dikeluarkan aturan masalahnya selesai. Padahal, cara
pandang demikian jelas keliru karena secara teoritis keteraturan tidak selalu
bisa diatasi oleh hukum. Bahkan, justru ia bisa mendatangkan ketidakteraturan
baru; baik yang disebabkan oleh substansi (materi) dari peraturan
perundang-undangan itu sendiri, sifat birokratis dan prosedural pelaksanaan
hukum oleh institusi pelaksana peraturan, tidak harmonis dan sinkronnya
antarperaturan perundang-undangan, serta benturan (legal gap) antara apa yang
teratur menurut hukum dan apa yang teratur menurut ukuran sosial, ekonomi,
dan politik.
Pembuatan substansi peraturan
perundang-undangan kadang tidak dirancang sekalian dengan prosedur dan
birokrasi pelaksanaan dari peraturan tersebut. Padahal, aspek terakhir
ini menjadi penyumbang persoalan
paling serius penegakan aturan karena sering kali birokrasi dan prosedurnya dirancang
sedemikian rupa dengan motif-motif koruptif.
Penegakan peraturan dengan
motif korupsi (suap) yang berlangsung terus-menerus dalam waktu lama pada
akhirnya diterima sebagai kenyataan hukum oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Hukum yang semula dimaksudkan untuk membangun ketertiban
keteraturan (order) berubah menjadi ketidaktertiban/ketidakteraturan
(disorder) untuk dan atas nama hukum.
Setiap upaya untuk menciptakan
ketertiban/keteraturan (order) melalui deregulasi tidak mudah. Ada saja
upaya-upaya kaum disorder ini untuk menggagalkannya. Satu di antaranya
menyelipkan pasal atau ayat dalam peraturan baru yang memungkinkan ruang
dibuatnya aturan prosedur dan birokrasi pelaksanaan aturan tersebut.
Problem serius
Problem peraturan
perundang-undangan dari aspek-aspek tersebut tidak pernah menjadi bahan
pertimbangan pembuat peraturan. Bahkan, penjelasan teoritis akademis para
ahli diabaikan. Kalau toh diminta, sulit menembus paham dan keyakinan
dogmatis dan positivistis yang menguasai alam pikir pembuat undang-undang.
Apalagi, peraturan pesanan (order) kelompok-kelompok kepentingan biasanya
dirancang dan disahkan dengan operasi senyap.
Regulasi menjadi salah satu
problem serius di Indonesia yang harus dibereskan. Oleh karena itu, empat
konsep yang kini sedang dikembangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) perlu didukung. Empat konsep dimaksud berupa: (1) simplikasi
regulasi guna menginventarisasi regulasi yang ada, mengidentifikasi masalah
dan pemangku kepentingannya, melakukan evaluasi regulasi yang bermasalah, dan
mencabut yang tidak perlu; (2) rekonseptualisasi tata cara pembentukan
regulasi; (3) restrukturisasi kelembagaan pembentuk regulasi; dan (4)
penguatan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang perancangan regulasi
patut didukung.
Akan tetapi, harus diingatkan
kepada Bappenas bahwa regulasi dan deregulasi tidak dilakukan di ruang hampa
(ruang vakum). Ia ada dalam realitas sosial, politik, dan ekonomi yang
kompleks, di mana transaksi-transaksi kepentingan tidak pernah absen dalam
urusan tersebut. Oleh sebab itu, komitmen pembuat regulasi (terutama
pemerintah) untuk melakukan audit dan merancang aturan baru melalui para ahli
dan praktisi hukum yang independen dan kompeten serta ahli-ahli lain yang
relevan dan diperlukan menjadi pertanda apakah pemerintah serius atau tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar