“Ngantuk”
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
05 November
2017
“Aku tu suka ngantuk kalau
dengerin khotbah di gereja,” kata seorang wanita yang duduk berhadapan dengan
saya di sebuah acara makan siang. Mendengar kejujurannya itu, saya jadi
tertawa di dalam hati.
Tidak hendak mencibir
kejujurannya itu, tetapi harus diakui, saya sendiri merasakan apa yang
dirasakannya itu. Bahkan, dalam kasus saya, saya bahkan sudah mengantuk saat
masih di rumah.
Pukul 6, 8, atau 17
Buat saya salah satu aktivitas
yang menyiksa selain makan wortel dan bayam adalah pergi ke gereja. Tetapi,
belakangan saya memutuskan untuk lebih rajin datang ke rumah ibadah, bahkan
saya memilih kebaktian pukul 06.00 pagi yang berarti harus berangkat dari
rumah ketika kebanyakan teman-teman saya masih tidur lelap.
Keputusan untuk rajin sudah
saya jalani hanya beberapa minggu saja, kemudian mulai dua minggu yang lalu
kerajinan itu kendur kembali. Begitu kendur, maka bangun pukul 05.00 pagi itu
menyiksa sekali, mengantuknya luar biasa, tidak tertahankan.
Tetapi, kalau harus mengejar
pesawat subuh, maka dengan kondisi mengantuk yang sangat saja saya akan
bangun dan berusaha keras untuk menepati peraturan untuk berada dua jam di
lapangan terbang sebelum jam keberangkatan.
Waktu saya curhat mengenai
kejadian ini kepada seorang teman, saya dinasihati untuk memilih hadir di
kebaktian pukul 08.00 pagi. Seorang teman lagi malah menyarankan untuk hadir
di sore hari tepatnya pukul lima sore saja. “Jadi, elo masih bisa tidur lama
dan bangun siangan.”
Sejujurnya di tengah kemalasan
dan perasaan mengantuk yang sering kali menyerang di subuh hari, saya toh
tetap merasa bahwa pergi ke gereja pada sore hari atau pukul 08.00 pagi saja
bisa menghadirkan sebuah perasaan yang tidak enak, merasa menempatkan Tuhan
di nomor sekian bukan yang utama.
Saya tak bisa tenang dan
seharian bakal merasa bersalah dan takut kalau kejadian buruk akan menimpa.
Perasaan ini juga dialami seorang teman. Ia tak pernah absen datang ke gereja
kecuali sedang sakit.
“Aku tu suka salut sama mereka
yang bisa enggak ke gereja bertahun-tahun,” katanya.
“Mereka pasti imannya besar
banget, ya, Bro?” lanjutnya.
Saya tak menjawab pertanyaan
itu. Saya tak tahu sama sekali apakah ketidakhadiran di rumah ibadah
bertahun-tahun itu bisa berbanding lurus dengan besar kecilnya iman seseorang
atau berbanding lurus dengan celaka atau tidak celakanya hidup mereka. Atau
berbanding lurus dengan berkat yang akan diterima atau tidak. Sungguh saya
tak tahu.
100 persen daging
Satu minggu yang lalu saya
memutuskan hadir di gereja pukul 06.00 pagi. Saya bangun pukul 05.00 pagi dan
entah mengapa sesubuh itu tiba-tiba saya jadi plinplan. Ke gereja atau tidak.
Singkat cerita saya tidak ke gereja. Pergumulan pergi atau tidak pergi itu
tidak karena mengantuk, tetapi ada pertanyaan yang tiba-tiba menyelinap dalam
pergumulan itu.
Saya ini datang ke rumah ibadah
itu sebetulnya untuk apa? Untuk mengusir ketakutan saya kalau di hari itu dan
di hari-hari yang akan datang tertimpa bencana? Atau karena sebuah kewajiban
seperti kewajiban membayar pajak? Suka tidak suka, saya harus memenuhi
kewajiban itu.
Atau pergi ke rumah ibadah
untuk menghapus rasa bersalah dan agar merasa ada keseimbangan setelah
melakukan perbuatan duniawi yang mungkin tidak senonoh? Berselingkuh,
berbohong, dan mencuri dari Senin sampai Sabtu, maka beribadah di hari Minggu
dipergunakan sebagai penghapus ketidakbenaran itu.
Setelah merasa terhapus,
kemudian diulangi minggu yang akan datang. Atau pergi ke rumah ibadah itu
bergantung pada mood dan kebutuhan? Hari ini datang, minggu depan tidak. Lima
tahun enggak datang, nanti kalau ada perlunya kembali beribadah lagi.
Kemudian di subuh hari itu, nurani
bawel itu bernyanyi. Saya pikir sesubuh itu ia masih terlelap. “Kamu tu ke
rumah ibadah gak dengan rasa cinta elo yang besar kepada Tuhan. Mungkin
selama ini elo tu juga gak cinta-cinta amat sama Tuhan. Buat elo, Tuhan itu
untuk dimanfaatkan dan tidak untuk dicintai.”
“Masalahnya bukan soal waktu,
bukan soal berniat atau tidak. Masalahnya cuma satu. Cinta elo ke Tuhan kayak
obat. Kalau lagi sakit aja diminum. Gak bisa kayak air, yang setiap saat
selalu dicari untuk diminum. Jadi ke rumah ibadah itu hanya untuk pemenuhan
kebutuhan kedagingan elo.”
Nurani itu masih terus
mengeluarkan sindirannya yang bak belati. “Pada akhirnya, mungkin elo adalah
orang pertama di dunia, yang perjalanan spiritualnya hanya sebuah perjalanan
untuk pemenuhan kedagingan. Keliatannya spiritual, tetapi 100 persen
kedagingan.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar