Pada
Setiap Sudut Kota New York
Bre Redana ; Penulis Kolom UDAR RASA
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
05 November
2017
Every corner of New York is a
stage. New York adalah panggung bagi mereka yang berkepercayaan: pada dunia
seni spirit manusia berkesempatan mengolah segalanya dari yang riil sampai
imajiner. Dari situ kehidupan menemukan gairah, menemukan daya. Kalau
beruntung, orang bisa menemukan kesejatian, kasunyatan.
Bagi penganut kepercayaan
tersebut New York adalah tempat ziarah utama. Ada ungkapan terkenal: “If you
can make it here, you make it anywhere“. Kalau bisa di situ, kalian bisa di
mana saja. Ah, rasanya justru sebaliknya: “only in New York you can make it“.
Hanya di New York kalian bisa, tidak di tempat lain.
Di manakah kita bisa jalan kaki
ke mana saja tanpa pusing kemacetan? Pada musim gugur ketika daun-daun hijau
berubah menjadi hijau tosca, oranye, kuning, merah, coklat, dan seterusnya?
Tak ada yang melebihi vibrasi New York.
Pada taman patung terbesar
sedunia, Storm King-sekitar satu setengah jam dari kota New York-warna-warni
daun di musim gugur membuat patung-patung publik para seniman termasyhur
sedunia berada dalam puncak keindahannya untuk dinikmati. Di lahan seluas
sekitar 300 hektar ini tersebar 100 lebih karya patung dari seniman seperti
Alexander Calder, David von Schlegell, Mark Di Suvero, Zhang Huan, dan
lain-lain. Patung-patung berada di lembah rerumputan luas, membuat orang
ingin berdendang, “.running through the rain/hand in hand/across the meadow.”
Ya, Anda tahu itu lirik lagu Sandra and Andres, “Storybook Children”.
Musim demi musim datang membawa
kejutan. Sebelum kegembiraan musim panas berakhir, Guns N Roses menggelar
pertunjukan di tempat paling legendaris, Madison Square Garden. Beberapa hari
sebelumnya berkali-kali pihak penyelenggara mengirim notifikasi agar kami
datang tepat waktu. Pertunjukan akan dimulai persis pukul 19.00 tanpa opening
act alias band pembuka.
Benar saja, Axl dan kawan-kawan
meloncat ke panggung tepat pada waktu yang dijadwalkan. Bersimbol mawar besi
dengan duri-duri dari kawat berkarat, musik mereka keras, beberapa kali
disertai ledakan. Roh dari grup ini adalah Slash. Distorsi suara gitarnya
menjadikan cinta dalam lagu lembut “Speak Softly Love” menyentak, jujur, tak
berdosa, bertenaga. Tak ketinggalan lagu manis “November Rain”. Mereka
menggetarkan panggung selama tiga setengah jam tanpa jeda tanpa disertai
banyak basa-basi berupa omong-omong.
Di kota mana pula pada tengah malam
seusai pertunjukan kita bisa menikmati daging panggang di pinggir jalan? Lalu
menumpang angkutan umum kereta bawah tanah, keluar lagi di jalanan di mana
kafe-kafe masih buka? Bir adalah pilihan bijaksana ketika suhu rendah tengah
malam dipukul angin terpendam membuat malam bertambah gigil.
Tahun ini pula majalah New York
(bedakan dengan New Yorker) berusia genap 50 tahun. Memperingati hari
jadinya, mereka menampilkan edisi khusus, antara lain mewawancarai secara
acak para penumpang metro. Pertanyaan pendek, seadanya, jawaban tidak mereka
edit.
Seorang wanita dapat bagian.
Namanya Deborah Landau. Mau ke mana Anda, tanya reporter. Saya akan ke NYU
untuk seminar puisi. Reporter melanjutkan pertanyaan, apa yang Anda lakukan
tadi malam (last night)? Jawab si wanita: saya baca Proust dan menyiapkan
disertasi. Ha-ha, saya bercanda. Suami saya keluar kota, jadi saya nonton
film, Last Night, bintangnya Keira Knightley.
Di manakah ada canda secerdas
itu di tempat umum selain di New York?
Billy Joel, juga di Madison
Square Garden, menggelar konser yang tak kalah memesona, meski tanpa “Just
the Way You Are”. Tak apa, itu hanya lagu pacar di masa lampau. Bahasa
Jawanya: zaman naliko semono. Ia menyanyikan “New York State of Mind”. Ini
lebih cerdas. Baginya kota adalah sebuah “state of mind”, sesuatu yang
memengaruhi sistem kognisi kita.
Ketika agama menjadi teramat
sangar dan politik tak lagi bisa dipercaya, pada apa lagi kita berkaca? Pada
kesenian. Di mana? New York! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar