Mencegah
Kegalauan Pemuda Milenial
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
31 Oktober
2017
Sekitar sembilan dekade lalu,
para pemudi dan pemuda Indonesia didorong oleh gejolak jiwa membara
mengucapkan rangkaian kata-kata: Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda 1928 menjadi
peristiwa sejarah menandai bangkitnya pemuda Indonesia membangun bangsa.
Mereka berhasil meleburkan sedemikian banyak etno-nasionalisme menjadi satu
bangsa dan tetap bersemangat merawat kebinekaan. Sumpah yang amat bertuah
karena berhasil menganyam keragaman menjadi mosaik bangsa yang sangat indah
laiknya hamparan taman sari yang ditumbuhi oleh bunga berwarna-warni harum
mewangi yang merekah setiap hari.
Getaran sumpah yang berumur
hampir satu abad itu masih menggetarkan dan terpatri pada generasi milenial.
Sebab, kala itu mengucapkan sumpah disertai niat suci untuk berbakti kepada
Ibu Pertiwi. Kini semangat untuk bersatu sebagai bangsa masih amat
signifikan. Daya getarnya merembet sampai kepada pemuda milenial sebagaimana
laporan hasil survei Kompas, Senin (30/10). Tuah Sumpah Pemuda telah
menghasilkan bangsa yang sangat indah.
Namun, sayangnya, sumpah yang
dilakukan oleh sementara para petinggi negeri dan politisi yang diucapkan
dengan gagah berani kini semakin dirasakan absennya niat suci. Sumpah tanpa
nurani hanya menjadi bunyi yang tidak mempunyai makna dan arti. Alih-alih
mengabdi, sumpah dan janji justru dirasakan sebagai genderang mengawali
politik transaksional dan perlombaan memuaskan kepentingan pribadi sebagai
prioritas tertinggi. Politik tanpa nurani membuat Sumpah Pemuda tercemari.
Akibatnya, bonus demografi,
rasio semakin turunnya tingkat ketergantungan penduduk nonproduktif (usia
0-14 tahun) dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang semakin menurun
menjadi tidak banyak berarti. Para petinggi negeri tidak mengantisipasi
dengan cermat dan teliti momentum yang sangat penting ini, terutama pesatnya
perkembangan teknologi yang dapat mengancam generasi milenial menjadi mati
suri.
Bonus demografi mulai
dikumandangkan sebagai potensi meningkatkan martabat negeri oleh Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2013. Namun, hal itu
disertai beberapa catatan penting, antara lain sebaran jumlah penduduk yang
tidak merata (terkonsentrasi di Jawa), tingginya tingkat pertumbuhan penduduk
(laju tingkat pertambahan penduduk Indonesia beberapa tahun terakhir kurang
lebih sama dengan jumlah penduduk negara Singapura), dan rendahnya kualitas
penduduk.
Faktor terakhir ini dapat
dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM). Berita Statistik pada 6 Mei
2013 menyebutkan, penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2013 didominasi
penduduk berpendidikan rendah (SD ke bawah), yaitu 54,6 juta orang (47,9
persen) dan SMP 20 juta (17,8 persen). Jika dihitung total, jumlahnya hampir
65 persen tenaga kerja dalam era persaingan global yang sangat ketat saat
ini. Selain itu, masih ada sederetan data yang dapat mengungkapkan betapa
besarnya permasalahan kependudukan. Jika tidak dikelola dengan niat politik
yang benar, dapat diperkirakan hal itu menjadi ”bom waktu” yang akan meledak
dan akan memorakporandakan kehidupan bersama.
Sinyalemen tersebut bukan hal
yang mustahil. Ada sebuah artikel di majalah Der Spiegel No 2/2008 berjudul ”Junge Manner: Die Gefahrlichste Spezeis
der Welt” (Orang Muda: Spesies yang Paling Berbahaya di Dunia). Pelajaran
dari artikel tersebut adalah jika negara tidak hadir dan gagal memberikan
pendidikan kepada generasi muda sehingga menjadi penganggur, mereka justru
akan menjadi spesies yang amat membahayakan dunia. Selain itu, ancaman dan
tantangan yang dihadapi oleh pemuda milenial bahwa robot dapat dipastikan
semakin lama akan menggantikan tenaga kerja manusia (Martin Ford, 2015, Rise of the Robots: Technology and the Threat of a
Jobless Future).
Ancaman lain yang tak kalah
serius akibat dari pengangguran dan kesenjangan sosial ekonomi adalah
menyuburkan berbagai doktrin dan ideologi radikal. Mereka mudah terpikat
dengan janji-janji meskipun tidak masuk akal. Perilaku radikal dan
intoleransi akan tumbuh subur di kalangan generasi muda. Bahkan, dewasa ini
penetrasi ajaran intoleransi mulai masuk ke kalangan terdidik dan kelas
menengah, aparatur negara, dan BUMN. Penetrasi ajaran-ajaran tersebut di kalangan
profesional masuk melalui kajian-kajian keagamaan yang dilakukan di tempat
kerja (Survei Alvara, Oktober 2017).
Oleh sebab itu, makna Sumpah
Pemuda kali ini harus dapat mendorong para petinggi negeri dan politisi
membuat kebijakan politik yang dapat mencegah pemuda milenial tidak
terperangkap dalam kegalauan menghadapi tingkat persaingan global. Selain
itu, juga mencegah dari kepesatan tingkat kecanggihan teknologi, terutama
robot yang dapat menggantikan tenaga manusia. Generasi muda milenial secara individual
banyak sekali yang mempunyai kreativitas yang mengagumkan dalam memanfaatkan
era digital. Namun, mengingat tantangan global yang semakin kompleks dan
keras, negara harus hadir dengan membuat kebijakan yang berorientasi kepada
kepentingan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar