Minggu, 19 November 2017

Momen Kritikal Kaum Milenial

Momen Kritikal Kaum Milenial
Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
                                                    KOMPAS, 18 November 2017



                                                           
Sesungguhnya betapa indah dan melegakan optimisme yang meruyak di masyarakat kita, dari akar rumput hingga elite, bahkan pimpinan tertinggi, terutama tentang bangkitnya generasi baru bangsa. Generasi yang kita sebut milenial alias mereka yang lahir sebagai bagian dari generasi Y (lahir tahun 1980-an) dan Z (lahir tahun 2000-an). Sesungguhnya, jika optimisme itu berbasis pada realitas yang juga sesungguhnya.

Namun, baiklah, kita berefleksi sejenak tentang optimisme yang sesungguhnya. Mengingat belakangan hari ini, negeri kita justru dilanda pelbagai gangguan, dalam dimensi sosial, politik, hukum, agama, hingga kultural. Harus diakui, gangguan-gangguan itu dalam praksisnya menciptakan kerepotan serius dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga hampir semua kalangan-jujur saja-mengalami semacam kecemasan yang hampir tak ada presedennya dalam sejarah negeri ini. Apakah republik ini dapat dilanjutkan, kesatuan bangsa juga apakah dapat dipertahankan? Demikian antara lain kecemasan itu.

Optimisme lahir sebagai jawaban abstrak-jika tidak absurd-atau panasea dari kecemasan yang dalam beberapa tingkatan bersifat akut, bahkan kronis, itu. Tentu saja refleksi dibutuhkan agar jawaban tersebut tidak menjadi semacam pelarian (escaping) dari kondisi psiko-sosial kita yang menderita semacam neurotika keadaban. Katakanlah, seperti dinyatakan Voltaire, optimisme itu tidak lain semacam kegilaan yang meyakini “kita baik-baik saja” walau kenyataan sesungguhnya memilukan. “Optimism is the opium of the people,” kata novelis Milan Kundera yang seperti mengingatkan adanya bahaya lain di balik optimisme, apalagi jika ia berlebihan.

Boleh jadi. Optimisme belakangan ini menjadi semacam social (lebih tepatnya political) bubble, yang digelembungkan dalam suasana di mana kita bersama sering bicara tentang kelebihan, potensi, hingga keajaiban bangsa dan negeri ini, hampir tanpa argumentasi atau penjelasan historik dan akademik yang kuat.

Jika tidak persepsi, ia imajinasi, bahkan ilusi. Soal kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Atlantis yang tersembunyi, “bangsa yang luar biasa kebudayaannya”, masyarakat yang santun dan gotong royong, manusianya yang jujur, toleran dan multikulturalistik, dan sebagainya.

Namun, siapakah pihak yang memiliki kemampuan, apalagi otoritas, menjelaskan latar dari semua pernyataan indah yang kian lama terasa menjadi slogan di atas? Dari akar faktual apa kita ini bangsa yang, katakanlah, “santun” dan “gotong royong”, dan lain-lain? Kecuali dengan beberapa penjelasan “ideologis” yang kita mafhum-sebagaimana umumnya ideologi-didesain untuk menciptakan mimpi bahkan ilusi tentang masa kini dan masa nanti.

Mengapa kita begitu mudahnya menciptakan frasa-frasa indah dalam diksi, bahkan ajaib dalam persepsi, seolah kita begitu bernafsunya hendak menutupi kenyataan buruk dan bobroknya dari diri kita, secara eksistensial juga aktual.

Situasi ini menjadi momen yang sangat kritikal, bukan hanya pada umumnya kita seluruh bangsa, namun terutama pada generasi milenial, pihak di mana kita bebankan berat dan tingginya harapan kita pada pundak mereka. Apakah benar mereka, kaum milenial itu, adalah ingredient utama dari gelembung optimisme itu?

Adakah mereka sadar, menerima, dan merasa mampu untuk membawa beban yang dengan “seenak udelnya” kita kalungkan di leher mereka? Tidakkah sesungguhnya realitas mutakhir malah menunjukkan bukti-bukti sebaliknya, dan dalam waktu lama akan membuat balon-balon slogan itu meletus, menciptakan bencana yang lebih tak terduga?

Tragedi pendidikan

Seperti pernah saya tulis di harian ini, sebuah film dokumenter produksi CNN International, Ivory Tower, melukiskan dengan gamblang bagaimana bobroknya dunia perguruan tinggi di Amerika, di mana hampir semua mahasiswanya terjerat dalam kredit pendidikan yang sebagian besar tak dapat dilunasi, bahkan hingga mereka bekerja dua kali seumur hidupnya. Bagaimana universitas-universitas ternama menawarkan jasa pendidikannya seperti menawarkan jasa wisata berbiaya sangat tinggi karena dilengkapi dengan fasilitas atau fitur-fitur mewah yang membuat iri lembaga pendidikan mana pun di dunia.

Kenyataannya, mereka yang akhirnya lulus, bahkan dari pelbagai perguruan tinggi ternama, tidak mendapatkan pekerjaan yang pantas, kecuali menjadi pelayan restoran, juru tik, atau tenaga sales dari produk rumahan. Beberapa artikel di media ternama, termasuk buku-buku dari sarjana terkemuka, belakangan hari bahkan menihilkan fungsi dari ijazah berbagai universitas top sebagai modal mencari kerja. Berkat banyak perusahaan multinasional terkemuka justru membuka peluang lowongan kerja eksekutif tanpa syarat ijazah atau gelar kesarjanaan apa pun.

Dan kita sama-sama tahu info leaks terbaru, hasil investigasi wartawan The Guardian dan teman-teman jurnalisnya dari sekitar 100 media dan kemudian dikenal sebagai Paradise Papers, juga menunjukkan bagaimana busuknya praktik keuangan dan para perilaku elite pengurus perguruan tinggi di AS. Bisa Anda bayangkan sendiri, menurut laporan itu, tak kurang dari 104 universitas ternama di AS telah menanamkan uangnya-tentu hasil dari memeras orangtua mahasiswa atau lembaga donor-di lembaga-lembaga keuangan off-shore yang merupakan tempat persembunyian para pengemplang pajak (tax haven) di mana mereka dapat sedikit saja atau bahkan sama sekali tidak membayar pajak secara “legal”.

Di antara universitas itu termasuk lembaga-lembaga yang tergabung dalam Ivy League, seperti universitas di Princeton atau universitas-universitas negara macam Rutgers di New Jersey dan Ohio. Atau katakanlah beberapa nama yang penuh prestise dan gengsi juga jadi acuan mahasiswa kita dan seluruh dunia, semacam universitas Columbia, Stanford, Pennsylvania, dan lainnya. Dan dana yang mereka simpan atau putar di luar negeri itu ada dalam jumlah yang tak terbayangkan hingga memosisikan mereka sebagai pemain utama dalam kriminalitas keuangan terbaru ini, yakni 500 miliar dolar AS atau sekitar Rp 6.500 triliun-lebih dari tiga tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 250 juta manusia di negara kita.

Fakta ini seperti membakar hangus persepsi, imaji, hingga mimpi-mimpi kita tentang kedigdayaan perguruan tinggi di AS. Lembaga yang menghasilkan mayoritas penerima Nobel, karya ilmiah utama dunia lebih dari seabad terakhir, hingga program, fasilitas, studi-studi hebat tentang lingkungan, kenaikan air laut, atau perubahan iklim. Ternyata sebagian cukup besar dari dana yang dihimpun dari kaum pemuda milenial AS itu ditanamkan pada beberapa lembaga lindung nilai (hedge fund) utama dunia untuk diinvestasikan pada pelbagai perusahaan global yang mengurus energi fosil dan industri-industri penghasil polutan.

Maka, bukan lagi ironi, tetapi segera menjadi tragedi, ketika ideal-ideal yang ada dalam kepala kita, termasuk generasi milenial dan lembaga-lembaga pendidikan (termasuk milik negara) kita, diajukan dan diacukan pada realitas idealistik yang tidak lain adalah gelembung akademik (academic bubble) yang diciptakan dengan kesengajaan mengerikan di atas. Pendidikan, dunia akademik, mungkin keilmuan sejak mula awal di sistem pendidikan kita harus diperhitungkan lagi sebagai sumber modalitas perkembangan, kemajuan, atau kejayaan masa depan seorang anak.

Dengan itu, sesungguhnya satu dari tiga pilar utama, selain aksesibilitas pada internet dan energi usia muda, yang mengonstruksi bangunan harapan atau optimisme pada generasi terbaru kita sudah runtuh seperti Menara Babel.

Masa depan katastrofi

Maka, kemudian dengan modal pengetahuan skolastik yang invalid dalam menciptakan hubungan antara abstraksi kognitif dan realitas empiris itu, kaum milenial masuk dalam kehidupan nyata yang sulit diprediksikan dan penuh tantangan keras ini. Begitu memasuki ruang-ruang aktualisasi, hampir di semua dimensi kehidupan, mereka harus berhadapan dengan taipan-taipan (bisnis, politik, akademik, hingga budaya) yang kaki-kakinya begitu besar sehingga mereka harus jadi kurcaci yang hanya bisa mengikuti angin langkah kaki para taipan itu.

Relasi sosio-kultural yang paternalistik atau patron-klienistik di negeri ini tidak hanya harus dipahami dalam hubungan moral dan perilaku saja, tetapi juga sebagai bentuk dominasi, penaklukan, atau pengerdilan mereka yang menjadi “klien”, kelas bawah, rakyat kecil dan menengah. Itu kenyataan di mana-mana, sebenarnya, terlebih ketika negara tidak menjadi pengawal atau moral canopy dari para klien alias rakyatnya yang jelata.

Di saat bersamaan, kenyataan kehidupan yang terus bergerak dalam rezim pembangunan yang represif, kemajuan teknologi dan geopolitik yang kian mencengkeram hingga tingkat personal, tak peduli keterbatasan posisional yang dialami klien, kaum milenial dalam hal ini. Kaum ini sesungguhnya cukup belingsatan saat harus menerima, sekali lagi, secara represif, tsunami perubahan yang memaksa mereka tidak hanya membuka ruang-ruang privat mereka, tetapi menekan mereka untuk melakukan perubahan-dari identitas hingga tradisi mereka-sebagai satu hal yang seakan taken for granted.

Mereka tak tahu, karena tak sama sekali memiliki bekal, nilai-nilai, moralitas, hingga standar etika dan estetika, apa cara terbaik menghadapi represi perubahan itu ketika sumber-sumber tradisional yang selama ini mengisi jiwa dan batin kita, seperti adat, agama, dan hukum formal, jika tak jadi pecundang juga jadi korban dari zaman itu. Betapa sesungguhnya bukan optimisme yang pantas kita gelembungkan di dada dan kepala mereka, melainkan keprihatinan dan kewajiban yang berlipat kuat untuk membantu mereka mengatasi kondisi kritikal yang memilukan, yang membuat mereka menjadi generasi yang sesungguhnya lost alias lenyap itu.

Di saat itulah, kaum milenial ini menemukan sebuah “dunia baru”, di mana mereka seperti bisa bermain bebas, termasuk bebas nilai, bahkan seolah bisa dan bebas mewujudkan apa yang menjadi kegelisahan, mimpi, hingga imajinasi mereka, yakni dunia virtual dari platform internet. Mereka mungkin tak sadar, dunia baru yang bebas itu sebenarnya memang kebebasan sesungguhnya, yang bukan hanya tanpa preseden, melainkan juga tanpa demarkasi apa pun, tanpa hukum, tanpa agen atau lembaga yang mendukung atau melindungi. Dunia yang tak lain adalah hutan selebat dan seganas rimba purba, di mana survival of the fittest adalah hukum utama, sebagaimana zaman primitif dulu.

Di dalamnya, pertarungan bebas yang lebih kejam dari free fighting terjadi di hampir tiap detiknya. Entah berapa banyak yang menjadi korban, tewas tidak hanya secara eksistensial, tetapi juga bahkan finansial hingga fisikal. Para pemenang besar pun bermunculan menjadi pohon-pohon besar yang menguasai rimba itu, yang akan segera melahap pohon kecil mana pun yang sedang tumbuh memperkuat akarnya. Itulah nasib, katakanlah, bisnis start-up yang kini menjadi andalan kaum milenial. Nasib para pejuang mula yang harus berhadapan dengan gergasi macam Facebook, Apple, Google, atau Alibaba, kekuatan gigantik yang siap menelan mereka dengan akuisisi triliunan rupiah, uang receh bagi mereka.

Dan apa yang terjadi pada generasi sisanya dari bangsa ini, para eksponen generasi X dan sebelumnya? Bukannya menjadi pasukan pengawal atau pemberi modal-baik modal sosial, kultural, politis, maupun yuridis-yang memproteksi atau melindungi penjelajahan penuh tantangan kaum milenial itu, kita justru memundakkan gelembung karung optimisme pada langkah mereka yang sudah berat itu. Ini akan menjadi tidak hanya kesesatan (fallacy) bagi para penanggung jawab negeri ini, tetapi juga menjadi dosa besar karena sesungguhnya dengan itu kita telah memperkuat ancaman atau membuat sumbu bom waktu itu kian pendek: meledakkan katastrofi generasi milenial kita.

Maka, berhentilah kita bercanda dengan senyum-senyum penuh dusta itu. Marilah bekerja keras untuk kaum milenial itu, bukan sebaliknya, mendesak mereka bekerja keras untuk rasa nyaman kita. Rasa nyaman koruptif yang mengorosi justru bangunan kebangsaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar