Menanti
Banser dan Kokam Berganti Kostum
Iqbal Aji Daryono ; Mantan Pelaku Bisnis Konveksi
|
DETIKNEWS,
14 November
2017
Banser lagi, Banser lagi.
Setiap ada ramai-ramai menyangkut Si Ormas Terlarang, nama Banser NU selalu
muncul kembali. Ini bikin perut saya gatal-gatal campur geli.
Bukan, saya gatal bukan karena
nggak suka Banser. Edan po berani-beraninya nggak suka Banser? Bisa-bisa saya
digeruduk sama sahabat pena saya, Gus Mahmud Syaltout, Wasekjen PP GP Ansor
yang hobinya pacaran pakai jaket Banser lusuh kebanggaannya.
Saya nggak benci Banser, meski
cinta mati juga enggak. Posisi Banser buat saya sama dengan Kokam
Muhammadiyah, gitulah. Saya benci Kokam jelas enggak, karena secara kultural
keluarga saya warga Muhammadiyah. Tapi relasi kasih sayang dengan Kokam kok
rasanya juga tiada hehe.
Ah, lupakan soal cinta-cintaan.
Ini cuma ocehan tentang fashion. Sesekali ngobrol tentang mode nggak papa
kan? Mosok tiap hari cuma politak politik politak politik….
Saya mulai dengan nukilan kabar
mutakhir di Hari Pahlawan 2017, tentang ditetapkannya empat pahlawan nasional
baru. Mereka adalah Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid,
Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Lafran Pane.
Kombinasi keempat pahlawan baru
itu lumayan asyik. Nama yang pertama dari Nusa Tenggara Barat, yang kedua
dari Aceh, yang ketiga dari Riau Kepulauan, yang keempat dari Yogyakarta.
Tiga nama pertama dari luar Jawa, dan cuma satu saja yang dari Jawa. Itu pun
darahnya Batak Mandailing.
Namun di samping pemerataan
etnis itu, yang lebih saya perhatikan adalah komposisi dua nama dari kalangan
sipil menemani dua lainnya dari kalangan "militer" (dalam tanda
petik lho ini). TGKH Zainuddin adalah ulama besar pendiri Nahdlatul Wathan,
dan Lafran Pane pendiri Himpunan Mahasiswa Islam. Keduanya berjuang bukan
lewat jalur senapan dan pelor. Adapun Malahayati dan Sultan Mahmud memang
berperan dalam melawan kolonial lewat jalur fisik, jalur militer.
Kita tahu, demiliterisasi dalam
kehidupan bermasyarakat terus berjalan. Secara formal posisi militer tak lagi
sedigdaya di zaman Orba, meski kadangkala publik masih histeris dengan,
misalnya, fenomena melesatnya popularitas Jendral Gatot Nurmantyo (untunglah
cuma sekejap). Citra hero gagah perkasa yang dulu kala lebih mudah secara
instan disematkan kepada tentara, kepada aksi-aksi kepahlawanan yang
berbentuk gebuk-gebukan dan tembak-tembakan, sekarang tak lagi begitu-begitu
amat.
Contohnya banyak. Orang sudah
punya kemerdekaan pilihan untuk mengangkat para pahlawan dalam kehidupan
mereka sendiri. Mulai dari sosok dokter yang mengabdi di pelosok terpencil
dengan gaji seupil, petani yang bekerja keras sendirian membangun
berkilo-kilo meter saluran air, hingga anak kecil yang secara sangat
mengharukan menghidupi orangtuanya yang lumpuh tak berdaya.
Contoh lain yang lebih sepele
ya dalam pemilihan pahlawan-pahlawan nasional itu tadi. Mungkin sekarang
terkesan biasa saja. Tapi coba bandingkan dengan di masa lalu, ketika
mayoritas sosok pahlawan Indonesia yang diceritakan di sekolah-sekolah adalah
mereka yang tangannya tak lepas dari pedang, bedil, dan pertempuran.
Nah, di saat pengurangan
dominasi militer seiring penegakan supremasi sipil terus dijalankan, saya tak
habis pikir, bagaimana bisa Banser dan Kokam yang perannya begitu penting
bagi kehidupan berkebangsaan masih terus berderap bangga dengan gaya militer
mereka?
Jangan emosi dulu lho ya.
"Gaya militer" di sini bukan tentang tindakan, dan saya toh tidak
paham yang begitu-begituan. Ini cuma, sekali lagi, soal penampilan.
Penampilan Banser dan Kokam itu so yesterday, ya nggak sih? Apa nggak pada
kepikiran buat ganti style?
Coba lihat kostum mereka. Tiap
kali mereka berkelebat, serasa saya berjumpa dengan sepasukan tentara. Andai
mata saya sudah nambah minusnya barang dua atau tiga derajat, kemungkinan
saya akan mengira mas-mas Banser dan Kokam itu anggota Koramil terdekat yang
sedang dikerahkan untuk program ABRI Masuk Desa. Padahal, hmmm, ya mereka sama
sekali bukan tentara.
Dari sisi sejarah, khusus Kokam
memang sangat lekat dengan tentara. Kelahiran Kokam tak bisa dilepaskan dari
konfrontasi kelompok-kelompok Islam melawan komunis pada 1960-an. Puncaknya
berdirilah Kokam persis pada 1 Oktober 1965, setelah para pemuda Muhammadiyah
diberi briefing oleh tentara. Usai resmi berdiri, mereka dilatih secara
intensif oleh RPKAD, hingga akhirnya menjadi anak kesayangan maskot tentara
paling sakti pada hari-hari itu: Sarwo Edhi Wibowo.
Adapun Banser sejatinya lebih
berjarak dengan tentara ketimbang Kokam. Sebab cikal bakalnya adalah Banoe,
Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama, yang merupakan gerakan kepanduan. Nah,
apakah citarasa tentaranya muncul berkat sentuhan Mayor TNI Hamid Rusydi
instruktur Banoe pada era pra-kemerdekaan, ataukah karena juga kedekatan
Banser dengan tentara pada 1965-1966, saya juga tidak tahu. Nanti kita tanya
ke Gus Syaltout saja.
Apa pun itu, meski kedua
organisasi tersebut memiliki kadar kedekatan masing-masing dengan tentara,
apa to relevansinya di tahun 2017 ini mereka masih istiqomah dengan kostum
tentara? Apakah karena pertimbangan pragmatis, demi berjalannya fungsi-fungsi
praktis?
Sebentar. Setahu saya, pakaian
loreng-loreng begitu istilahnya camo
clothing alias camouflage clothing.
Itu sengaja dibikin sebagai efek kamuflase. Tentara dengan medan tempur hutan
ya pakaiannya loreng-loreng hijau, sementara yang medan tempurnya gurun pasir
lorengnya putih campur abu-abu.
Pertanyaannya, Banser dan Kokam
mau berkamuflase untuk apa? Medan tempur macam mana pula yang akan mereka
masuki? Anak-anak HTI toh kostumnya putih-hitam, dan kalau Banser menyusup
masuk ke tengah mereka dengan loreng hijau, niscaya kamuflasenya tiada guna.
Begitu pula Kokam. Saya rasa Kokam selama ini berkepentingan untuk menyusup
ke tengah barisan Relawan Jokowi atau Teman Ahok, yang bajunya kotak-kotak.
Lah, bukannya kostum loreng lengkap dengan baret Kopassus-wannabe justru
membuat kehadiran mereka terlalu kentara?
Hahaha. Bercanda, bercanda.
Jangan manyun begitu ih, Mas!
Poinnya sampai titik ini, tak
ada kebutuhan praktis pemakaian baju loreng, bukan? Atau ada kebutuhan yang
lain? Kebutuhan psikologis, begitu?
Pakaian memang bukan semata
penutup badan. Kadangkala pakaian dibutuhkan untuk menunjukkan siapa
pemakainya, bahkan untuk mempengaruhi cara orang lain memandang diri
pemakainya. Itulah yang terjadi pada rambut pendek perempuan feminis generasi
awal, pada rambut gondrong pemuda-pemuda era 1960-an, hingga pada baju kulit
binatang buas yang dikenakan para lelaki Eskimo sampai tahun 1920-an. Sisi
itu juga yang mungkin akan disenggol bulan depan saat riuh-riuhnya perdebatan
tentang topi Sinterklas.
Lantas, apakah hal itu pula
yang dicari Banser dan Kokam dengan kostum loreng mereka? Biar orang lain
memandang mereka dengan berbeda? Seberbeda apa sih? Biar tampak sangar dan
menggentarkan, begitu?
Ngomong-ngomong tentang kesan
sangar, sebenarnya sih saya sepakat juga. Toh saya sendiri produk kelahiran
zaman Orba, ketika apa-apa yang sangar selalu bau-bau tentara. Makanya,
sewaktu masih rajin kampanye PPP sejak SD hingga SMA, saya selalu terpukau
kepada para satgas partai hijau dengan baju loreng-loreng mereka. Gagah
sekali. Garang sekali. Apalagi salah satu ikon jurkam PPP paling sangar dan
pedas juga gemar memakai kostum satgas, dengan nama yang terus menggerogoti
wibawa Orba: Sri Bintang Pamungkas!
Makanya, diam-diam waktu itu
saya memendam cita-cita mulia untuk menjadi satgas parpol. Hingga kemudian
saat kesempatan itu tiba, patahlah hati saya. Sebab kesempatan untuk jadi
satgas itu datang dari PAN pada awal pendiriannya. Padahal ternyata PAN tidak
punya satgas, punyanya Simpatik PAN, dengan baju seragam mirip satpam
kompleks.
Ah, tapi itu kekecewaan di masa
lalu, ketika hegemoni militer masih mengeram lekat di dalam otak dan
khayalan-khayalan kita. Sekarang masyarakat sudah berubah, bergeser jauh pola
pikir dan seleranya. Coba, apa yang akan terjadi dulu kala, jika ada seorang
Dandim berpangkat Letkol menampar seorang kepala desa, hanya karena Pak Kades
dianggap kurang serius memperhatikan Pak Dandim yang tengah asyik bercerita?
Bisa-bisa kita malah dengan tegas mendukung Pak Dandim atas nama Pancasila!
Sekarang semuanya sudah beda.
Tak ada lagi itu sangar-sangaran dengan aksi pura-pura jadi tentara.
Sebagaimana sudah jauh berkurang juga berita tentang gadis yang tertipu
luar-dalam, hanya karena dijebak oleh pemuda yang mengaku-ngaku sebagai
tentara. Ya, semua sudah berbeda. Tinggal baju seragam Banser dan Kokam saja
yang tersisa, menjadi artefak sejarah yang entah kenapa terus hidup sepanjang
masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar