Kaum
Muda Muslim
Zuly Qodir ; Sosiolog, Pengamat
Islam Indonesia
|
KOMPAS,
01 November
2017
Tak dapat ditolak jika sekarang
dikatakan sebagai era media sosial yang maha- dahsyat. Generasi muda kita
adalah penikmat media sosial paling aktif di antara negara-negara lainnya di
Asia: 87,4 persen adalah penikmat media sosial aktif (CSIS, 2017).
Apa yang dapat kita lakukan
dengan generasi media sosial (medsos) di Indonesia? Tak bisa kita berdiam
diri saja. Inilah era digital yang merambah dunia sakral (dunia agama)
sehingga sekarang muncul istilah virtualisasi dan digitalisasi kesucian di
ruang publik.
Menyambung survei CSIS di atas
adalah survei yang dilakukan The Wahid Foundation, Mei 2016. Dinyatakan bahwa
siswa SMA sederajat yang tergabung dalam unit kerohanian Islam sebanyak 38
persen menggunakan Instagram setiap hari dan 14 persen menggunakan Linkedin
setiap hari dari 1.600 siswa yang disurvei di Jabotabek.
Sungguh cukup memprihatinkan
generasi kita sekarang karena mereka lebih banyak membaca dan menimba
pengetahuan tentang Islam dari medsos ketimbang dari para ustaz yang ikhlas,
tulus, dan dialogis. Oleh sebab itu, sudah saatnya para ustaz, ustazah,
penceramah, dan guru agama di sekolah memperhatikan kecenderungan anak
didiknya yang lebih akrab dengan medsos ketimbang dengan buku yang berhalaman
tebal. Apalagi jika dianggap rumit bahasanya, jangan harap akan dibaca oleh
kaum muda!
Generasi muda Muslim kita
adalah generasi medsos, bukan lagi generasi baca-tulis secara konvensional.
Oleh sebab itu, jika saat ini generasi muda Muslim lebih tertarik pada
ustaz-ustaz selebritas, ustaz di televisi yang muncul belakangan, salah satu
penyebabnya karena para ustaz tersebut adalah para pengguna medsos yang
aktif.
Temuan The Wahid Foundation ini
sudah semestinya jadi perhatian kita semua. Sebagai negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia, 88,7 persen dari total penduduk Indonesia, fenomena
ini merupakan hal sangat
signifikan untuk di- perhatikan
oleh siapa pun yang hendak mempelajari Islam Indonesia. Islam tidak lagi
harus bertarung di halaman rumah karena ruang tidak lagi identik dengan
halaman rumah, lapangan, ataupun perguruan tinggi: ruang adalah medsos.
Generasi muda Muslim kita adalah
generasi yang lahir dalam ruang yang serba terbuka, nyaris tanpa batas.
Mereka generasi yang dapat mengakses informasi kapan dan di mana pun sejak
bangun tidur sampai tidur lagi. Ruang privat tidak ada lagi karena semua
space dan enclave telah ”dikuasai” oleh informasi medsos.
Medsos adalah makhluk gaib yang
sekarang hadir di depan kita dengan nyata. Tak ada yang dapat
menghentikannya. Kita akan menyesal melawan medsos hanya dengan menguasai
lapangan atau ruang dalam makna yang konvensional karena mereka tidak lagi
membutuhkannya.
Masa depan agama
Jika para penyebar agama tetap
berprinsip pada hal-hal yang sifatnya konvensional, sudah bisa dipastikan
akan ditinggalkan jemaahnya. Tentu saja akan tetap memiliki jemaah, tetapi
mereka itu adalah yang lahir di bawah 1980-an alias generasi tua dan sepuh.
Sementara mereka yang tergolong generasi masa depan kita—generasi yang lahir
setelah era 1990-an—tidak lagi tertarik pada penyebaran agama yang
konvensional.
Dampak yang paling dahsyat dari
generasi medsos adalah adanya kebosanan untuk membaca hal yang dianggap
rumit, buku bacaan yang tebal, apalagi tidak menarik. Generasi muda masa
depan yang kita sebut generasi Z atau generasi milenial adalah generasi
medsos yang sangat aktif dan atraktif. Mereka tidak akan pernah bisa
meninggalkan telepon pintar ataupun medsos sebagai sarana komunikasi yang
dianggap paling efektif-efisien.
Tantangan paling konkret dari
generasi medsos adalah ketika minat baca-tulis yang serius telah
ditinggalkan, maka yang akan kita peroleh adalah generasi yang minat
baca-tulisnya rendah dengan pelbagai dimensinya. Maka, peradaban unggul dan
bijak agaknya akan semakin sulit kita temukan di Indonesia.
Oleh sebab itu, kita perlu
merumuskan langkah-langkah strategis agar generasi medsos yang kita miliki
tidak ”buta dan tuli” pada realitas kehidupan yang ada di depannya. Apalagi
jika para penyebar agama hanya sibuk membuat demarkasi antara kita dan
mereka: antara saudara dan liyan. Padahal, jelas, yang seperti itu hanya
komodifikasi agama di ruang politik jelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Tuan dan puan, medsos adalah
sebuah fakta virtual yang membius. Tak ada kata lain kecuali melawannya
dengan hal-hal yang juga virtual tetapi positif. Kita tidak bisa melawan
generasi medsos yang penuh virtualisasi dan digitalisasi dengan melarang
mereka karena melarang adalah hal yang dianggap negatif oleh generasi muda
medsos. Memberikan alternatif adalah yang paling bijak.
Kita harus segera siuman bahwa
masa depan kita ada di generasi muda yang gila medsos, bukan pada generasi
yang telah uzur dan gagap media sosial. Oleh sebab itu, agama di masa depan
harus mampu menjawab apa yang jadi kebutuhan generasi medsos tersebut. Jika
agama tidak mampu menjawab kebutuhan mereka, maka jangan tertunduk malu jika
jemaah pengajian atau jemaah shalat di masjid hanya akan dipenuhi kaum sepuh.
Penguatan pemahaman
Di sinilah negara harus
mengambil peran. Negara tidak hanya bertugas sebagai pengawas dan pemadam
kebakaran dengan cara membredel, menutup, ataupun menghukum generasi medsos
yang sangat kreatif dan aktif dalam menggunakan media di ruang publik. Mereka
adalah representasi generasi yang sangat ”melek media” di ruang publik, yang
jumlahnya sangat besar.
Penyebaran pelbagai macam
berita kebencian, hujatan, dan berita hoaks adalah salah satu yang tidak bisa
dibendung ketika kita sendiri tidak melek media sosial. Generasi medsos yang
tidak kritis akan mengambil saja apa yang didapatkan karena mereka tidak
mampu membedakan berita yang diterima itu benar atau bohong.
Karena itu, kita harus mampu
memberikan penguatan pemahaman, fondasi keilmuan, dan literasi media sosial
kepada generasi medsos sesuai dengan harapan mereka yang lihai dalam masalah
urusan medsos. Jangan kita hukum mereka dengan pelbagai hukuman sosial
ataupun hukum fikih klasik karena hal itu tidak akan pernah membuat mereka
jera. Manfaatkanlah potensi generasi medsos dengan kebajikan yang positif
untuk individu, bangsa, dan negara.
Semoga kita tidak larut dalam
kebencian, hujatan, hoaks, dan pertarungan ambisi politisi yang sering
menggunakan agama sebagai basis legitimasi dan ruang publik dikuasai dengan
cara konvensional sebagai bentuk ”pamer dan pawai” kekuatan massa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar