Penyadapan
Tanpa Seizin Hakim
Rooseno ; Peneliti Hukum dan Hak
Asasi Manusia
Balitbangkumham
Kemenkumham
|
KOMPAS,
01 November
2017
Salah satu anggota Komisi III
DPR dari Fraksi PPP—juga anggota Pansus KPK, Arsul Sani—mengatakan bahwa
pihaknya akan mengajukan RUU Penyadapan. Usulan ini muncul karena aturan
penyadapan di setiap lembaga penegak hukum berbeda satu sama lain.
Mengenai substansinya
dikehendaki bahwa ”RUU Penyadapan berlaku terhadap semua lembaga penegak
hukum, tidak ada lex specialis, dan
setiap lembaga penegak hukum wajib izin ke pengadilan, termasuk KPK”.
Mungkinkah menyadap tanpa seizin hakim? Apa alasannya? Bagaimana dengan hak
asasi manusia orang yang disadap?
Pada dasarnya hak asasi manusia
(HAM) ada dua sifat. Pertama, non derogable rights, yaitu HAM yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (vide UUD 1945 Pasal 28I Ayat 1).
Kedua, derogable rights, yaitu HAM yang dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun, termasuk dalam hal ini ”kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
surat-menyurat—termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik—tidak
boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (vide UU No 39/1999
Pasal 32, juga International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR
Article 17 Ayat 1).
Menyadap tanpa seizin hakim
adalah ”mengurangi hubungan komunikasi”. Mungkinkah? Menurut Siracusa
Principles, ”Negara pihak dapat mengambil langkah-langkah pengurangan hanya
apabila menghadapi situasi bahaya yang luar biasa dan aktual atau bahaya yang
bersifat segera yang mengancam kehidupan bangsa.” Namun, dalam mengambil
langkah-langkah pengurangan tersebut, ”tidak ada pembatasan yang ditetapkan
secara sewenang-wenang”.
Selanjutnya, konsiderans
menimbang Huruf b juncto Penjelasan Umum alinea 14 UU No 30/2002 akan
terlihat ciri-ciri tindak pidana korupsi, yaitu (i) terjadi secara meluas,
sistematis, meningkat, dan tidak terkendali; (ii) merugikan keuangan negara;
(iii) melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas; (iv) membawa
bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional; serta (v) membawa bencana
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Selain dampaknya sangat merusak
dan membahayakan kelangsungan keberadaan negara, menurut Muladi (Putusan MK
No 006/PUU-I/2003 hal 55), korupsi menimbulkan bahaya terhadap human
security. Misalnya masalah pendidikan, fungsi pelayanan sosial yang sangat
tidak teratur, korupsi merusak mental pejabat publik dan mereka yang bekerja
di dalam wilayah kepentingan umum. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi
suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Maka, dalam upaya
pemberantasannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa dengan hukum acara tersendiri sebagai ketentuan
khusus (lex specialis). Kemudian, dalam prinsip utilitarianistik: dalam hal
harus memilih antara nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan individu,
maka harus dipilih nilai kepentingan umum sejauh hal itu sungguh-sungguh
diperlukan untuk mewujudkan kepentingan umum.
Substansi penyadapan
Dengan demikian, penyadapan
tanpa seizin hakim adalah dimungkinkan. Penyadapan tanpa seizin hakim tidak
melarang setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Namun, karena penyadapan yang
mengurangi/membatasi hak berkomunikasi melalui sarana elektronik itu
dilakukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi, yang merupakan
kejahatan luar biasa, guna menghormati HAM yang dikurangi/dibatasi tersebut,
maka syarat-syarat dan tata cara tentang penyadapan tersebut harus ditetapkan
dengan UU. Adapun substansi UU tentang Penyadapan (dan Merekam Pembicaraan)
itu dirumuskan, antara lain mengenai: (i) siapa yang berwenang mengeluarkan
perintah penyadapan; (ii) penyadapan adalah perintah untuk mencari bukti
permulaan yang cukup atau untuk melengkapi bukti yang sudah ada; (iii) tata
cara penyadapan; (iv) prosedur standar operasi (SOP) keanggotaan Tim Pengawas
Penyadapan (TPP); dan (v) sanksi.
Substansi angka (i) dan (ii)
tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun, untuk mengatur tata cara penyadapan
seyogianya secara mutatis mutandis ”mencontek” SOP penyadapan milik KPK,
sedangkan SOP-nya dibuatkan yang baru. Untuk mengatur TPP yang bertujuan
untuk menjaga akuntabilitas proses penyadapan, maka keanggotaan TPP harus
merepresentasikan: (i) regulator (Kemenkominfo); (ii) operator (penyelenggara
sistem elektronik); dan (iii) aktor (aparat penegak hukum).
Adapun untuk mengatur sanksi,
jika hasil sadapan tidak menunjukkan adanya keterlibatan orang yang disadap
(misalnya masalah tindak pidana korupsi), maka aktor dilarang menggunakan
hasil penyadapan untuk kepentingan apa pun dan wajib untuk merahasiakannya.
Jika hasil sadapan itu sampai diketahui oleh umum, maka aktor dapat
dikualifikasikan melakukan pencemaran nama baik.
Tindak pidana korupsi adalah
kejahatan luar biasa yang sudah terukur dan teruji di Mahkamah Konstitusi.
Sementara kejahatan luar biasa lain, seperti narkotika, terorisme, dan
perdagangan manusia, perlu diukur melalui penelitian sehingga nantinya dapat
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa dan upaya pemberantasannya pun
dituntut cara-cara yang luar biasa dengan hukum acara tersendiri sebagai
ketentuan khusus.
Dari segi teori criminal
policy, yaitu usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan,
apakah dalam menanggulangi kejahatan luar biasa dilakukan dengan cara yang luar
biasa, atau biasa-biasa saja? Itu sebuah pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar