Serangan
Balik Ustaz Felix
Irfan L Sarhindi ; Pengurus Salamul Falah;
Lulusan University College London; Associate Researcher Akar Rumput Strategic
Consulting
|
DETIKNEWS,
17 November
2017
HTI, khilafah, dan Felix Siauw.
Dalam banyak hal, ketiganya sering disatu-porsikan sebagai paket lengkap.
Walau yang disebut belakangan juga dikenal oleh sebab bukunya yang berjudul
Udah Putusin Aja! tapi ide-ide khilafah ala HTI tidak bisa lepas dari filsafat
hidup Felix Siauw. Seiring dengan keyakinan bahwa Pancasila adalah tidak
islami, bahwa khilafah (ala HTI) adalah kunci kebahagiaan dan janji Allah,
tumbuh keyakinan bahwa Islam sedang, secara terstruktur, dilemahkan dan
dihancurkan, baik oleh kafir Barat maupun oleh penguasa —presiden, politisi—
yang "anti-Islam".
Felix tidak menyebut dirinya
sebagai Pengurus HTI, tetapi ia mengakui bahwa keislamannya di-wasilahi oleh
HTI, sehingga secara tidak langsung, popularitasnya bisa disituasikan untuk
HTI melebarkan pengaruh dan doktrinnya. Sebagai ustaz yang aktif di Twitter,
Felix suatu waktu secara terang-terangan pernah nge-tweet bahwa nasionalisme
itu tidak ada dalil dan pahalanya. Tweet itu tidak mengejutkan mengingat
konsep khilafah ala HTI memang bersifat internasionalisme, dan cinta Tanah
Air dianggap tidak diajarkan Nabi Muhammad. Padahal, kalau Felix jeli
mengamati adegan hijrah Nabi, dia akan menemukan fakta bagaimana Nabi amat
cinta Tanah Airnya, Mekah.
Tetapi kita akan bergerak lebih
cepat di sini. Nama Felix belakangan banyak disebut di mana-mana, terutama
kaitannya dengan drama "pengusiran" di Bangil. Muncul sebagai tokoh
yang diantagoniskan, dalam sudut pandang Felix dan pendukungnya, adalah
Banser dan GP Ansor. Pengantagonisan itu eksplisit dalam "surat
pernyataan" yang ditulis Felix dan kemudian menjadi viral: menjadi bahan
rujukan olok-olok terhadap Banser; memicu pro-kontra bahkan di tubuh
Nahdlatul Ulama (NU) sendiri.
Bagi saya, dengan menggunakan
analogi sepakbola, drama Bangil ini adalah serangan balik dari Felix. Walau
NU kerap diposisikan secara diametris dengan Salafi Wahabi, dukungan NU
terhadap Perppu Ormas (yang melegitimasi pembubaran HTI), membuat NU harus
bertanding melawan HTI. Singkatnya, sebagaimana kita tahu, oleh sebab Perppu
Ormas ini HTI dibubarkan, dan NU —sebagai lembaga— menyambut gembira hal
tersebut. Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum HTI, bahkan sampai
"mengingatkan" NU bahwa apa yang hari ini menimpa HTI, esok lusa
bisa menimpa NU.
Tentu, bagi pengurus dan
simpatisan HTI, Perppu Ormas telah berlaku diskriminatif dan mereka kemudian
mulai "menantang" penguasa untuk membuktikan apa benar mereka
anti-Pancasila. Agak mengherankan sebetulnya, mengingat Pancasila sejak lama
mereka anggap sebagai thagut, demokrasi sebagai bukan anti-kekhilafahan, dan
Indonesia dengan sistem ideologinya ini adalah negara kafir. Tak terkecuali
Felix Siauw. Tapi menariknya, beberapa waktu setelah pembubaran HTI, Felix
mengikuti maiyahan Cak Nun.
Felix secara eksplisit dalam
akun pribadinya memuji dan berdecak kagum pada pengajian (dan pemikiran) Cak
Nun. Baginya, Cak Nun telah melampaui "ustaz-ustaz lain", dan
harmonisasi antara budaya dan Islam menjadi demikian mesra di tangan Cak Nun.
Felix mengaku terinspirasi dari Cak Nun untuk mendakwahkan Islam secara lebih
bijak dan kreatif. Kejadian ini memicu respons beragam. Di kalangan NU
sendiri, kehadiran Felix dianggap sebagai pertanda untuk NU merangkul Felix,
menawarkan sudut pandang Islam yang "Nusantarawi".
Di sisi lain, muncul juga pro
kontra ihwal Cak Nun dan konsep kekhilafahan. Hal ini muncul ketika Cak Nun
banyak menulis tentang khilafah pasca kehadiran Felix di pengajiannya. Tentu
saja ini menjadi berita yang viral: Cak Nun mendukung khilafah! Seakan untuk
membuktikan bahwa ke-anti-an khilafah yang dipertontonkan NU adalah salah dan
keliru. Tetapi, Cak Nun kemudian mengklarifikasi bahwa pemahamannya akan
khilafah berbeda (jauh) dengan pemahaman khilafah ala HTI. Alhasil, jika
kehadiran Felix di pengajian Cak Nun bisa dianggap sebagai serangan balik dia
terhadap NU (yang secara tidak langsung ikut "bertanggung jawab"
atas bubarnya HTI), maka boleh jadi serangan balik ini tidak terlalu
berhasil.
Kemudian, terjadilah demo
menolak Perppu Ormas. Menolak PKI sekaligus menolak Perppu. Felix turut hadir
dalam demo tersebut, bahkan memberikan orasi. Dalam kesempatan tersebut,
Felix menyebut rezim Jokowi sebagai rezim Firaun, dan bahwa Perppu Ormas ini
menandai deislamisasi. Islam, singkatnya, dalam realm pemikiran Felix, sedang
dihancurkan, didomestikasi. Demo ini berakhir dengan riak-riak yang
sepertinya tidak terlalu besar karena masyarakat disibukkan dengan pelbagai
isu lain seperti kesaktian Setya Novanto.
Lalu, terjadilah peristiwa
Bangil tersebut. Bukan kali pertama Felix "dilarang" untuk
memberikan ceramah. Felix juga bukan satu-satunya. Tetapi, drama
"pelarangan" dan "pengusiran" ini kemudian terasa bagai
serangan balik yang cukup taktis dan merepotkan. NU yang menguasai
"pertandingan" sepertinya terlena sehingga "terkejut"
dengan serangan balik ini. Serangan balik ini menjadi "mengejutkan"
dan "merepotkan" sejak pernyataan Felix yang memposisikan dia
sebagai korban kezaliman "oleh ormas yang mengaku paling toleran",
yang justru memperlihatkan sikap "anti Islam". Felix merasa
didiskriminasi dan dijebak oleh Banser. Dengan kicauannya, diskursus yang
muncul adalah: NU ternyata (juga) radikal, Banser tidak pro Islam, mereka
punya double standard karena anti khilafah tapi "pemaaf" terhadap
PKI.
Dari sana, kita diributkan oleh
perdebatan yang seperti tiada habisnya. Meme, postingan, berita yang valid
maupun tidak bergerak viral secara cepat. GP Ansor memberikan klafirikasi.
Mereka beritikad baik menawarkan tiga persyaratan demi menjaga agar dakwah
Felix tidak bermuatan ide khilafah ala HTI. Justru Felix sendirilah yang
menolak dan memilih pergi. Felix, dengan demikian, dianggap playing victim.
Dan, dengan memerankan diri sebagai korban ia sedang membangkitkan rasa iba
dan dukungan, setidak-tidaknya dari para fansnya —dan/atau orang-orang yang
tidak suka terhadap NU.
Tetapi, kejadian Bangil juga
rupanya direspons tidak seragam di tubuh NU. Sebagian menyalahkan Banser yang
dianggap ceroboh. Nadirsyah Hosen sampai harus mengklarifikasi dan mengajak
NU satu suara. Banser, ujarnya, selama ini menjadi garis depan menjaga NKRI,
masak kita sebagai keluarganya juga malah mendiskreditkan mereka? Dengan
polemik model demikian, tidak diragukan lagi bahwa serangan balik ini cukup
membahayakan —walau terlalu jauh untuk bilang serangan ini berbuah gol
pembalik keadaan.
Hanya, perlu diingat pula bahwa
hal serupa pernah terjadi juga saat drama "pengusiran" Khalid
Basalamah. Simpati kepada "korban" meningkat di satu sisi, citra
negatif terhadap Banser juga meningkat di sisi lain. Buah simalakama, memang.
Maju kena mundur kena. Apalagi kalau Felix, dengan narasi yang ia bangun,
kemudian mengkomparasi "kezaliman" yang menimpanya sebagai mirip
dengan yang dialami oleh Rasul. Repotlah.
Tentu butuh kedewasaan di era
cepat dan mudahnya informasi bergulir. Dan, dengan mempertimbangkan kemampuan
literasi masyarakat Islam di Indonesia yang masih rendah, sepertinya kita
masih seperti sekumpulan kanak-kanak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar