Fasilitasi
dan Inkubasi Dunia Usaha
A Prasetyantoko ; Ekonom di Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS,
06 November
2017
Berita baik kembali menghampiri
kita. Kali ini, peringkat kemudahan berusaha naik 19 peringkat dari posisi
ke-91 menjadi ke-72. Jika dihitung dari sejak Presiden Joko Widodo berkuasa,
kita telah mengalami kenaikan 37 peringkat. Seperti dilaporkan Ease of Doing
Business 2018 terbitan rutin Bank Dunia, dari 190 negara yang dinilai,
Indonesia termasuk 10 negara yang paling aktif melakukan pembenahan dalam 15
tahun terakhir.
Judul laporan kali ini,
”Reforming to Create Jobs”, merujuk pada orientasi reformasi iklim usaha
dalam penciptaan lapangan kerja. Pendekatan ini sangat relevan dengan kondisi
hampir semua negara di seluruh dunia, khususnya negara maju, yang tengah
bergulat dengan krisis. Krisis selalu diiringi dengan penutupan usaha
sehingga semua pihak antusias melakukan reformasi. Tujuannya, agar bisa memperoleh
kesempatan kerja kembali. Kita pernah mengalami pengalaman serupa saat krisis
hebat pada 1998.
Perekonomian kita saat ini
sebenarnya dalam situasi relatif stabil, tak terlalu terpengaruh dengan
krisis global. Menariknya, dalam situasi stabil inilah, kita justru berhasil
melakukan reformasi penting. Berbagai paket kebijakan diluncurkan untuk
memperbaiki iklim bisnis. Namun, kita tidak sendiri. Di antara kelompok 10
negara yang paling giat melakukan perubahan, ada India dan Thailand.
Dibandingkan dengan mereka,
kita tergolong negara paling tergantung dari sektor komoditas. Oleh karena
itu, perombakan perekonomian menjadi bagian dari upaya mengubah arah
perekonomian dengan melepaskan ketergantungan pada sektor komoditas.
Pemerintah mengandalkan dua
pilar kebijakan dalam tiga tahun terakhir, yaitu perombakan kelembagaan
perekonomian melalui paket kebijakan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Hasilnya, peringkat kemudahan berusaha meningkat. Namun, kenaikan tersebut
harus diikuti dengan indikator yang lebih nyata, yaitu peningkatan realisasi
investasi, baik oleh investor asing maupun domestik.
Dalam survei kali ini, Bank
Dunia menggunakan 11 indikator, yaitu 10 indikator hasil survei dan 1
indikator evaluasi peraturan perburuhan. Dalam laporan tersebut, nilai paling
tinggi diperoleh dari indikator akses listrik (83,87), disusul dengan memulai
bisnis (77,93) dan penyelesaian kebangkrutan (67,61).
Kita telah melakukan banyak
pembenahan prosedur sehingga kemudahan semakin dirasakan. Meski begitu, jika
dilihat dari sisi peringkat, indikator memulai berbisnis di Indonesia masih
relatif buruk, yaitu di peringkat ke-144. Untuk memulai usaha di Indonesia
masih dibutuhkan sekitar 23 hari, melewati 11 prosedur. Karena itu, upaya
reformasi masih perlu terus dilakukan.
Masih di bawah
Meski kita termasuk negara yang
paling giat melakukan reformasi, peringkat kita masih berada di bawah negara
tetangga kita, yaitu Malaysia pada peringkat ke-24, Thailand pada peringkat
ke-26, Brunei Darussalam ke-56, dan Vietnam di peringkat ke-68. Pemerintah
memiliki target untuk mengungguli Vietnam dalam beberapa tahun ke depan.
Pemerintah juga memasang target untuk masuk dalam 40 besar peringkat usaha
dalam dua tahun ke depan. Meski terasa ambisius, momentum ini tetap harus dijaga
agar upaya mewujudkannya terus berlipat.
Pembenahan memang telah banyak
dilakukan. Namun, untuk mencapai target pemerintah diperlukan upaya progresif
lanjutan. Di bidang perpajakan, misalnya, pada laporan tersebut tercacat,
pembayaran dalam setahun masih harus dilakukan 43 kali. Jumlah waktu yang
diperlukan untuk pembayaran perpajakan itu mencapai sekitar 200 jam per
tahun. Demikian juga dengan pengurusan izin konstruksi, tercatat masih
memerlukan waktu 200 jam per tahun dengan melalui 17 prosedur. Meski telah
dilakukan berbagai upaya progresif, secara relatif (dibandingkan dengan
negara lain) peringkat kita masih perlu terus ditingkatkan.
Konsistensi untuk terus
melakukan reformasi menjadi penting guna memastikan investor akan terus
meningkat dalam menanamkan modal. Merujuk judul laporan, peringkat kemudahan
berusaha hanya relevan jika mampu menciptakan lapangan kerja. Posisi kita
sebagai salah satu dari 10 negara paling giat melakukan reformasi harus
diikuti dengan upaya menumbuhkan wirausaha baru di dalam negeri.
Kemajuan teknologi digital
harus dimanfaatkan untuk mempercepat transformasi birokrasi, khususnya
terkait perizinan. Selain itu, pada saat bersamaan, Indonesia harus mampu
melahirkan banyak usaha rintisan (start-up) di berbagai sektor. Peningkatan
kemudahan berusaha saja tak lagi mencukupi. Selain upaya memfasilitasi dunia
usaha, upaya yang harus dilakukan adalah menginkubasi inisiatif usaha
domestik. Tujuannya, agar semakin banyak muncul pelaku usaha domestik seiring
semakin mudahnya iklim berusaha di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar