Reformasi
Pengawasan
Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
Ferly Norman ; Ketua Bidang III
Kebijakan Industri
Ikatan Alumni ITT-STT Tekstil Bandung
|
KOMPAS,
06 November
2017
Tragedi maut kebakaran di
pabrik kembang api di Kosambi, Tangerang, Banten, Kamis (26/10), tak boleh
dianggap remeh tanpa ada usaha pemerintah untuk berbenah dalam hal pengawasan
ketenagakerjaan secara umum dan keselamatan kerja pada khususnya.
Negara harus hadir dengan
mengintensifkan pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
secara berkesinambungan untuk menekan angka kecelakan kerja.
Merujuk data dari BPJS
Ketenagakerjaan, jumlah kecelakaan kerja yang dilaporkan setiap tahun sangat
mengkhawatirkan. Sepanjang 2015 terjadi 105.182 kasus kecelakaan kerja dengan
korban meninggal 2.375 orang. Kondisi ini kurang lebih sama di tahun 2016, di
mana sampai akhir November ada 101.367 kasus dengan korban meninggal sebanyak
2.382 orang.
Angka di atas tidaklah
mencerminkan kondisi sesungguhnya, sebab tidak semua perusahaan ikut program
BPJS, di mana per November 2016 baru 359.724 perusahaan terdaftar di BPJS.
Atau jika sudah terdaftar, tidak semua tenaga kerjanya didaftarkan ke BPJS.
Dalam perkembangan perdagangan
global sekarang, kasus kecelakaan kerja tidak hanya melulu dipandang dalam
perspektif statistik belaka. Pemerintah dan perusahaan perlu mencermati ada
perkembangan baru di mana K3 sudah jadi persyaratan baru oleh negara atau
pengimpor barang kita di luar negeri.
Berdasarkan pengamatan penulis,
beberapa pembeli besar pakaian dan sepatu kelas dunia justru terlebih dahulu
mengaudit kepatuhan sistem manajemen K3 calon pemasok sebelum membuat
pesanan. Agar perusahaan manufaktur kita bisa berkompetisi di tingkat global,
ke depan jangan hanya memperhatikan harga, pengiriman, dan mutu yang
kompetitif, juga mulai berpikir soal sistem manajemen K3 serta standar
lainnya. Kesimpulannya, sistem
manajemen K3 yang baik kini tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tak seimbang
Di Indonesia, berdasarkan
peraturan, akuntabilitas pengawasan ketenagakerjaan hanya boleh dilaksanakan
oleh pegawai negeri sipil (PNS) pengawas ketenagakerjaan. Mereka berkedudukan
di pusat, pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan
K3 pada Kementerian Tenaga Kerja, serta pada dinas tenaga kerja di provinsi
dan kabupaten/kota.
Pengawasan oleh pegawai ini
tidak hanya mencakup K3, tetapi semua aspek ketenagakerjaan. Mulai dari
hubungan industrial, upah, kondisi kerja, serta permasalahan yang terkait
ketenagakerjaan, dan jaminan sosial.
ILO sebagai badan PBB yang bergerak di
bidang ketenagakerjaan memberikan 11 pedoman kunci pengawasan ketenagakerjaan
yang efektif di bawah standar-standar global. Ke-11 faktor itu antara lain
mencakup kelembagaan yang kuat dan independen, cakupan pengawasan,
kualifikasi dan jumlah pegawai pengawas yang memadai, frekuensi pengawasan
hingga membuat kolaborasi untuk memastikan efektivitas pelaksanaan.
Dari pengamatan penulis, faktor
terbesar ketakefektifan pengawasan K3 karena jumlah pegawai pengawas tidak
sebanding dengan jumlah perusahaan yang akan diawasi. Data dari Badan Pusat Statistik (Sensus
Ekonomi Tahun 2016), ada 26,26 juta usaha menengah kecil (UMK) dan 450.000
perusahaan berskala usaha menengah besar (UMB). Sementara data dari Kemnaker,
akhir 2016, hanya ada 1.923 pengawas ketenagakerjaan di seluruh Indonesia.
Jika kita fokus pada UMB
terlebih dahulu, rasio jumlah pengawas dengan jumlah UMB sekitar 1:234.
Dengan geografi Indonesia yang luas serta berpulau-pulau dan situasi
perusahaan yang diawasi (skala, jenis, peralatan, dan jumlah pekerja yang
dipekerjakan), berikut kompleksitas jumlah peraturan perundangan yang harus
ditegakkan, selama 2016 mereka hanya sanggup mengawasi 61.134 perusahaan.
Secara kuantitatif ini ekuivalen dengan 13,6 persen UMB di Indonesia, belum
lagi kita menelisik kualitas pengawasan itu sendiri.
Pengawas “swasta”
Bagaimana pemecahannya,
mengingat penambahan pegawai secara masif dibatasi oleh peraturan dan
anggaran negara. Ada baiknya Ditjen Binwasnaker Kemnaker mengikuti model
relasi Ditjen Pajak Kemenkeu dengan akuntan publik.
Jika akuntan publik atas nama
Menteri Keuangan melakukan audit laporan keuangan perusahaan, seharusnya ada
pengawas non-PNS disertifikasi dan diangkat oleh Menaker untuk melakukan
pekerjaan sebagaimana PNS pengawas ketenagakerjaan melakukan selama ini.
Secara kelembagaan, dunia
tenaga kerja Indonesia mengenal lembaga swasta yang fungsinya mirip dengan
kantor akuntan publik di bidang keuangan, disebut perusahaan jasa bidang K3
(PJK3). PJK3 fungsinya untuk membantu perusahaan dalam pemenuhan
syarat-syarat K3 sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan kegiatan
jasa K3, PJK3 harus terlebih dahulu memperoleh keputusan penunjukan dari
Menaker c.q. Dirjen Binwasnaker dan K3. Di tahun 2016, ada 850 PJK3 di
seluruh Indonesia. Di PJK3 ini berhimpun “akuntan tersertifikasi” yang
disebut ahli K3.
Kalau pemerintah ingin
mereformasi pengawasan K3 agar memenuhi 11 norma global yang ILO tetapkan,
PJK3 perlu diberdayakan. Pertama, PJK3 jadi garda terdepan dan bertanggung
jawab terhadap tiga fungsi PNS pengawas ketenagakerjaan, yaitu pembinaan,
pemeriksaan, dan pengujian. Adapun fungsi penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan
tetap dipegang oleh pegawai penyidik negeri sipil atau PPNS (per 2016 ada 381
orang di seluruh Indonesia).
Kedua, untuk memvalidasi
kualitas pekerjaan PJK3, PNS pengawas ketenagakerjaan berwenang mengaudit
secara acak perusahaan yang sudah diawasi PJK3 tersebut. Jika ada masalah
fatal ditemukan atau kecelakaan kerja terjadi, maka PJK3 yang mengaudit
perusahaan tersebut ikut bertanggung jawab sesuai dengan tingkat
kelalaiannya.
Ketiga, seluruh perusahaan
berskala UMB diwajibkan diaudit PJK3 secara berkala beberapa kali dalam
setahun, biaya kontrak jasa audit ditanggung oleh perusahaan tersebut.
Pemerintah tinggal menetapkan standar biaya jasa.
Guna melakukan reformasi
diatas, diperlukan beberapa persiapan.
Pertama, mengubah sejumlah peraturan perundangan agar non-PNS bisa
bertindak sebagai pengawas ketenagakerjaan.
Kedua, menyertifikasi ulang PJK3 yang ada sekarang beserta ahli K3-nya
agar nanti bisa melaksanakan fungsi PNS pengawas ketenagakerjaan.
Dengan melakukan reformasi seperti di atas,
diharapkan secara singkat kuantitas perusahaan yang diawasi dan kualitas
pengawasan ketenagakerjaan dapat ditingkatkan. Dan, pada akhirnya jumlah
kasus dan korban kecelakaan kerja dapat ditekan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar