Milenial
dan Politik Digital
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
14 Oktober
2017
Politik Indonesia yang masih didominasi oleh nuansa formalistik,
struktural, dan skriptual akan mengalami perubahan menjadi informalistik,
egaliter, dan digital. Hal tersebut dapat diindikasikan dengan munculnya
kelompok milenial yang kini sedang tumbuh dan berkembang dalam ruang publik.
Situasi kekinian menunjukkan bahwa terjadi kegagapan yang
dialami oleh para elite politisi senior ketika menghadapi kelompok milenial
ini. Kegagapan itu justru ditanggapi dengan adanya sikap arogansi elite yang
justru menimbulkan sikap antipati dari kalangan milenial.
Seperti yang dtunjukkan dalam kasus penistaan agama,
G30S/PKI, isu komunisme, dan minoritas telah memperlihatkan bahwa generasi
senior yang tidak mampu membendung adanya sikap kritis milenial dengan
beragam informasi yang didapatkan. Kondisi itu menunjukkan adanya pendekatan
primordial berbasis identitas yang selama ini menjadi kompor politik
mendapatkan kritikan meluas di kalangan milenial.
Populasi kalangan milenial di Indonesia cukup menarik jika
dikaji lebih mendalam, baik secara sosio politik maupun sosio budaya. Mereka
adalah generasi yang terlahir tanpa ikatan emosi sejarah dengan peristiwa
politik sebelumnya sehingga membentuk pandangan politik milenial yang
independen.
Tidak adanya keterikatan sejarah ini justru membuat
kalangan milenial secara sosio politik berusaha mencari legitimasinya sebagai
generasi baru dan tampil berbeda di Indonesia.
Memang harus diakui bahwa kalangan milenial juga berada
dalam posisi dilematis, yakni di satu sisi mereka adalah generasi yang
protektif karena sengaja dibentuk dan dikonstruksi oleh para orangtua untuk
menjadi generasi yang ideal dan mekanis.
Namun, di sisi lain, mereka adalah generasi reaktif yang
dengan secara cepat mampu menyerap segala sumber informasi berkat adanya
teknologi dan berusaha untuk adaptif dalam setiap dinamika zaman.
Secara sosio budaya, generasi milenial adalah kelompok
masyarakat yang berusaha menampilkan dirinya sebagai kelompok modern yang
terlepas dari ikatan primordial dan identitas. Adanya faktor agama dan
etnisitas yang selama ini menjadi isu krusial dalam demografi Indonesia tidak
terlalu mereka hiraukan.
Pada faktanya, teknologi digital kemudian menuntut
generasi milenial untuk menjadi kalangan melek informasi. Oleh karena itu,
faktor informasi menjadi identitas baru kalangan milenial ini karena melalui
kepemilikan informasi dapat berpengaruh pada posisi dan status mereka di
ruang publik.
Situasi hari ini menunjukkan bahwa limpahan informasi yang
sifatnya anti-mainstream berkembang pesat di kalangan milenial melalui
beragam portal dunia maya. Dengan kata lain, kalangan milenial sekarang ini
menggunakan politik peron, yakni secara silih berganti menunggu informasi
yang berkembang.
Mereka akan menjadi yang terdepan dalam perubahan, tetapi
mereka akan juga siap ke belakang jika kepemilikan informasi yang disampaikan
berkurang. Seolah mereka ingin melakukan dekonstruksi atas narasinarasi
sejarah masa lalu dengan situasi kekinian. Hal yang terpenting bagi kalangan
milenial adalah budaya eksis dan narsis yang sejatinya adalah upaya mereka
mencari perhatian publik agar dianggap sebagai generasi agen perubahan.
Realita politik milenial
Adanya potret dilematis itu yang kemudian bisa dibaca
dalam melihat gejala politik kelas menengah muda hari ini dalam menyikapi isu
politik kekinian. Pada umumnya generasi milenial ini memiliki pandangan
berbeda dengan generasi senior sebelumnya. Mereka tidak terlibat intrik dan
konflik terbuka di ruang publik, tetapi terlibat sengit di dunia maya.
Artinya, secara politis, generasi milenial ini adalah
sekelompok pemain aman yang berusaha mengambil sikap risiko politik yang
kecil di ruang publik. Namun, di dunia maya, mereka akan menjadi pengambil
risiko dengan berusaha mencermati dan mengomentari isu-isu yang sifatnya high
politics. Hal itulah yang terkadang membuat sikap dan gerak generasi milenial
menjadi sulit terbaca dalam politik.
Kondisi itulah yang kemudian menarik minat generasi senior
untuk menyelami kehidupan mereka. Oleh karena itu, langgam politik Indonesia
hari ini dihadapkan pada realita politik sebagai mitos kini berganti menjadi
politik sebagai realitas. Artinya, basis pembacaan politik Indonesia yang
selama ini cenderung sakral dan simbol berusaha dimentahkan kalangan milenial
menjadi kasual.
Munculnya berbagai macam kalangan milenial untuk merintis
sebagai politisi menarik untuk dibaca bahwa ada idealisme murni yang mereka
usung untuk pembangunan bangsa dan negara. Generasi senior berusaha mendekati
kembali kalangan milenial melalui gaya mereka yang cenderung gandrung dengan
budaya populer namun kritis.
Namun, yang terjadi adalah fait accompli di mana generasi
senior gagal menjadi milenial. Senior ingin berusaha untuk menjadi patron
atas milenial, sementara milenial ingin menjadi patron atas senior dengan
sikap mereka berbeda. Kondisi tersebut yang memancing adanya kontestasi
pengaruh antara senior dan milenial.
Oleh karena itu, dalam rentang tahun ini hingga nanti
tahun 2045, suksesi kepemimpinan politik di Indonesia akan beralih kepada
kalangan milenial. Pada tahun 2045, Indonesia telah mencapai 100 tahun
kemerdekaan dan besar kemungkinan terjadi perubahan mendasar atas capaian
masa depan dan kenangan masa lalu yang akan dinarasikan secara progresif dan
berbeda.
Senior pun harus rela untuk kemudian meninggalkan panggung
dan menyerahkan estafet kepemimpinan. Oleh karena itu, keberadaan generasi
milenial ini perlu dikembangkan dan ditumbuhkan agar siap menjadi generasi
pemimpin Indonesia di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar