Kegaduhan
dan Tertib Politik
M Alfan Alfian ; Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
14 Oktober
2017
Pemberitaan Kompas (4/10/17) menggarisbawahi bahwa
kegaduhan yang mungkin muncul karena kontestasi menyambut Pemilu 2019 dan
Pemilihan Kepala Daerah 2018 hanya akan menguras energi bangsa. Padahal, ada
banyak persoalan yang kini lebih membutuhkan perhatian, seperti mengatasi
kemiskinan dan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan demikian mengingatkan kita pada isu-isu pokok
pembangunan politik yang secara klasik telah berkembang pada pasca-Perang
Dunia II. Berbagai sarjana ilmu sosial dan politik saat itu gencar
merekomendasikan rumus-rumus baku untuk negara-negara berkembang agar sukses
mengelola pembangunan. Intinya, pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi mempersyaratkan adanya tertib politik (political order).
Sepanjang tertib politik berjalan, artinya stabilitas
politik dan keamanan terkendali, akan ada jalan lempang bagi pembangunan
ekonomi. Maka, rezim kekuasaan yang mengatur jalannya pemerintahan harus
pandai-pandai untuk mengelola politik agar tidak jatuh ke kekacauan dan
kemerosotan (political decay). Mengenang kembali buku klasik Samuel P
Huntington, Political Order in Changing Societies (1968), memang demikianlah
pesan utamanya.
Rezim pemerintahan Orde Baru mengadaptasinya ke dalam
Trilogi Pembangunan yang menegaskan pentingnya stabilitas nasional yang
dinamis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, serta pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya. Kendatipun rasional, praktik pendekatan
demikian juga telah memicu kritik. Misalnya, dari para ilmuwan sosial dan
politik yang mengembangkan teori dependensia.
Teori tersebut mengingatkan pada konteks belum lepasnya
cengkeraman kekuatan-kekuatan neokolonial dalam masalah-masalah pembangunan
dunia ketiga. Negara-negara dunia ketiga sebagai satelit negara-negara pusat.
Pandangan-pandangan mereka selaras dengan kritik-kritik tajam kebijakan
neoliberal.
Pembangunan nasional yang terlalu bertumpu pada orientasi
pertumbuhan ekonomi juga dikritik menyisakan masalah yang tidak sepele.
Konsekuensi trickle down effect (menetes ke bawah) begitu pertumbuhan ekonomi
melejit tinggi pada praktiknya sukar terwujud. Kesenjangan dan ketimpangan
sosial-ekonomi ataupun antarwilayah ternyata terus menganga pada hari-hari
pertumbuhan ekonomi tinggi Orde Baru. Belum lagi, manakala mengingat kembali
pelajaran penting paradoks pembangunan yang dibimbing utang.
Urgensi tertib politik
Meskipun demikian, bukan berarti rumus pentingnya
stabilitas untuk memastikan pembangunan ekonomi telah usang. Justru pada
hari-hari demokrasi kita dewasa ini, tertib politik semakin dirasakan
urgensinya. Pandangan neo-Huntingtonian ilmuwan politik David Runciman dalam
Politics (2015) kembali mempertegas politik sebagai kata kunci. Apakah suatu
negara bergerak menuju ”surga” (heaven) atau bergerak menuju ”neraka” (hell),
tergantung pada politik.
Politik identik dengan kemampuan pemegang mandat kekuasaan
untuk mengelola segenap potensi konflik dan mencegah kekerasan-kekerasan
terjadi guna menjamin stabilitas. Kegagalannya hanyalah akan membuat negara
terjungkal ke ”neraka” negara gagal. Sebaliknya, keberhasilannya akan mampu
membuat negara mana pun bisa menjadi negara seperti Denmark atau
negara-negara Skandinavia yang dipersonifikasi sebagai ”surga”.
Maka, stabilitas politik tetap kata kunci. Tidak saja
pemerintah yang berkepentingan kepadanya, tetapi juga semua pihak, bahkan
kalangan antipemerintah sekalipun. Di zaman kita, ikhtiar pencapaian kondisi
politik yang stabil tentu tidak boleh keluar dari pakem demokrasi. Rumus
bakunya diarahkan untuk menemukan kondisi stabilitas politik yang demokratis.
Otoriterisme kekuasaan atau negara ialah momok demokrasi. Cara-cara otoriter
tentu akan menuai penolakan karena melawan kodrat demokrasi.
Meski demikian, demokrasi sering kali cukup memberikan
kelonggaran bagi hadirnya kegaduhan-kegaduhan politik yang bernuansa
konfliktual kontraproduktif. Ruang demokrasi yang luas mudah dibajak oleh
kelompok-kelompok antidemokrasi. Dalam situasi seperti ini, muncul dilema
yang tidak mudah dihadapi oleh negara atau rezim kekuasaan yang terpilih
secara demokratis. Pendekatan jalan pintas neo-otoriterisme tak boleh
diambil, justru ketika kegaduhan bisa semakin memicu konflik politik ekstrem
yang ”mengganggu jalannya pembangunan”.
Pendekatan demokratis dalam merawat stabilitas itulah yang
kita perlukan. Kita perlu mencari suatu rumus baku yang pas untuk diterapkan.
Salah satunya, kepatuhan semua pihak pada aturan-aturan main dan etika
berdemokrasi. Memahami dan menerapkan etika, tidak saja etika jabatan dan
profesi, tetapi juga etika dalam berbangsa, semakin menjadi kebutuhan utama
bagi praktik berdemokrasi. Ideal etika politik, pada praktiknya memang tidak
mudah. Oleh karenanya, suatu kegaduhan politik justru sering kali terasa
sebagai ekspresi para elite yang merasa tidak mempunyai tanggung jawab
demokrasi.
Kegaduhan dan kontestasi
Kegaduhan politik belakangan ini perlu dicermati apakah
fenomenanya sekadar dinamika politik yang lazim dalam negara demokrasi,
ataukah sudah merupakan gejala-gejala menuju kemerosotan politik. Terdapat
dua jenis kegaduhan. Yang pertama, kegaduhan antarelite kelembagaan strategis
di pemerintahan terkait isu-isu tertentu. Selanjutnya, kegaduhan yang semakin
tidak terelakkan mendekati puncak tahun politik kontestatif 2019.
Fenomena pertama dapat diurai lagi, apakah kegaduhan
tersebut semata-mata timbul dari lemahnya koordinasi dan krisis komunikasi
antarelite kekuasaan, ataukah sudah merupakan bagian dari kontestasi politik.
Kalau masalahnya yang pertama, maka munculnya kegaduhan merupakan momentum
yang baik bagi pemerintah untuk membenahi diri.
Namun, manakala konteksnya sudah mengarah pada kontestasi
politik, elite pemicu kegaduhan sudah
merupakan para pelanggar etika jabatan, sekaligus etika politik. Merupakan
hal yang lazim, manakala para elite yang memimpin kelembagaan yang berasas
netralitas politik, apakah militer, kepolisian, ataupun birokrasi,
menjalankan tugasnya sesuai dengan koridor.
Konsekuensinya, mereka harus menjaga diri untuk tidak
larut, apalagi secara vulgar, masuk ke dalam labirin politik. Demokrasi
memberikan ruang tersendiri bagi elite mana pun untuk berkontestasi ketika
mereka telah menjelma sebagai aktor-aktor politik formal. Oleh karenanya,
para pejabat lembaga-lembaga kenegaraan dan pemerintahan yang netral politik
harus mampu menahan diri untuk tidak dikesankan memanfaatkan posisi jabatan
dan institusinya sebagai panggung untuk pelejitan popularitas dan
elektabilitas mereka dalam kontestasi politik.
Pada akhirnya, semua pihak harus merasa punya tanggung
jawab moral dalam mewujudkan praktik demokrasi yang semakin berkualitas.
Demokrasi memberikan ruang para elite untuk muncul dan berkontestasi. Akan
tetapi, jangan sampai para elite tersebut tidak memahami posisi dan etika
berpolitik sehingga kegaduhan yang terjadi menjadi kontraproduktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar