Sabtu, 14 Oktober 2017

Malu Disebut Politisi

Malu Disebut Politisi
Moh Mahfud MD  ;   Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
                                                KORAN SINDO, 14 Oktober 2017



                                                           
“Sedang sarapan di Hotel Four Points Medan tiba-tiba ada yang menyalami, ‘Wah, tokoh politisi kita,’ katanya. Entah mengapa saya malu disebut politisi.”

Itulah cuitan pagi pertama saya, Kamis (12/7/17) dua hari lalu. Saat itu saya sedang berada di Medan, menginap di Hotel Four Points, dan pada saat breakfast saya didatangi banyak orang yang menyapa dan meminta berfoto. Nah di antara mereka yang menyapa saya itu ada yang mengatakan, “Wah, tokoh politisi kita.”

Maka setelah masuk kekamar, saya share cuitan di atas ke akun Twitter saya. Karena untuk setiap cuitan hanya dijatah dengan 140 huruf, penjelasannya saya jadikan cuitan kedua: “Saya pernah jadi politisi dan bangga sebagai politisi. Tapi entah mengapa, sekarang ini kalau disebut tokoh politisi kok malu. Mungkin saya baper saja.”

Cuitan saya itu mendapat respons dari kawan baik saya yang kini menjadi ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada yang bercuit, “Soekarno-Hatta pun politisi. Banyak akademisi, aktivis, dan media merendahkannya. Pada hal banyak yang bertingkah sebagai politisi.”

Cuitan Aidul seakan menegaskan pendapat saya bahwa menjadi politisi tidaklah jelek dan tidak perlu merasa malu karena tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Sahrir yang dikenal sebagai pahlawan bangsa itu adalah juga politisi. Sebenarnya dari dua cuitan saya pun sudah jelas bahwa kita tidak perlu takut atau malu menjadi politisi.

Yang saya ungkapkan dalam cuitan itu adalah adanya rasa malu bagi saya kalau disebut politisi sekarang dan dalam lingkup arti tertentu seba gaimana dipahami oleh orang awam. Makanya saya menulis bahwa dulu saya pernah men jadi politisi dan bangga men jadi politisi, tetapi sekarang kalau disebut politisi terbawa perasaan (baper) dan malu.

Melalui kolom di koran ini saya juga pernah menulis bahwa berpolitik itu adalah fitrah alias keniscayaan. Negara adalah organisasi politik tertinggi yang dimiliki suatu bangsa sehingga setiap warganya tentulah ikut kegiatan politik. Deliar Noer mengatakan bahwa apa pun sikap warga negara terhadap kontes politik, mereka adalah berpolitik juga.

Mendukung tokoh atau kelompok politik tertentu adalah berpolitik, beroposisi terhadap tokoh atau kelompok politik tertentu adalah berpolitik, bahkan menyatakan netral dan tidak ikut mendukung atau pun beroposisi adalah juga berpolitik. Mengapa? Karena setiap warga negara, yang mendukung, menolak atau beroposisi dan bersikap tidak ikut-ikutan, tetaplah akan terikat terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pemenang kontes politik.

Gus Dur pernah mengatakan bahwa ormas sosial keagamaan pun sebenarnya melakukan kegiatan politik meskipun tidak melalui partai politik. Jika politik diartikan sebagai policy atau kebijakan negara, ketika ormas seperti NU dan Muhammadiyah menyatakan petisi tentang pajak, perjudian, korupsi, perlindungan HAM, dan lain-lain, berati hal itu sudah merupakan kegiatan politik alis upaya menilai dan meluruskan policy atau kebijakan negara.

Dengan demikian politik tidak harus selalu diartikan kotor. Sebab selain banyak orang yang berpolitik dengan baik, pada dasarnya politik itu tidak bisa dihindari dan menjadi alat untuk menentukan arah perjalanan negara.

Ketika meluncurkan buku biografinya, politisi senior dari PDIP Sabam Sirait mengatakan bahwa politik itu suci karena ia merupakan sarana paling efektif untuk membangun negara secara baik. Yang kotor itu, kata Sabam, adalah sebagian dari pelaku-pelakunya. “Banyak, kok, politisi yang baik dan bisa dibanggakan,” sebutnya.

Kalau dari khazanah Islam, perlunya politik dalam arti mengendalikan kekuasaan tersebut dikonfirmasi oleh Imam Al- Ghazali, penulis kitab Al-Ihya al-Ulum al-Dien yang terkenal itu. Sang hujatul Islam Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan keluhuran ajaran agama dan memiliki kekuasaan politik itu adalah saudara kembar (al dien wa al sulthaan taw’amaan).

Anda tidak akan bisa memperjuangkan keluhuran nilai-nilai agama dengan baik jika tidak punya kekuasaan politik dan Anda akan sesat serta zalim saat punya kekuasaan politik jika tidak dibimbing oleh nilai-nilai luhur agama. Makna cuitan saya bahwa saya merasa (baper) malu jika di sebut politisi, itu hanya terkait dengan situasi politik kita sekarang dan dalam arti tertentu.

Dalam arti tertentu yang banyak dipahami oleh publik sekarang ini politisi diidentikkan dengan tokoh-tokoh partai politik dan anggota Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat (DPR). Itulah pengertian orang awam tentang politisi. Sekarang ini banyak tokoh politik dan anggota DPR yang terlibat atau bahkan menjadi biang korupsi meskipun sangat banyak juga yang bersih.

Semua partai politik yang memiliki kursi atau wakil di DPR periode sekarang ini sudah pernah punya wakil juga di penjara karena korupsi. Kalau ada yang bertanya secara spontan, siapa nama dari parpol anu yang korupsi, saya bisa menjawabnya dengan cepat. Masyarakat juga melihat bahwa otak dan pelaku-pelaku korupsi didominasi politisi.

Nah, dalam konteks ini sajalah saya mengatakan “merasa malu” jika disebut politisi. Konteks yang membawa saya baper (malu) itu pula yang pernah dirasakan dan diekspresikan oleh Muhammad Abduh melalui ta’awwudz (doa mohon dihindarkan).

Abduh sang pembaru (mujadid) Islam itu ber-ta’awwudz, “Audzu billahi minas siyaasati was siyaasiyyien (aku berlindung kepada Allah dari bobroknya politik dan politisi).” Ta’awwudz yang umum berbunyi, a udzu billahi minas syaithaanir rajiem (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Jadi politik dan politisi busuk itu disamakan dengan setan yang terkutuk. Itu menurut Muhammad Abduh, lho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar