Sabtu, 14 Oktober 2017

Pengakuan Bersalah Zuckerberg

Pengakuan Bersalah Zuckerberg
Agus Sudibyo  ;   Direktur Indonesia New Media Watch
                                                      KOMPAS, 14 Oktober 2017



                                                           
Untuk semua yang saya sakiti tahun ini, saya minta maaf. Bahwa apa yang saya dirikan digunakan untuk memecah belah masyarakat, bukan untuk membangun kebersamaan, saya minta maaf dan akan mencoba menjadi lebih baik lagi.” Pengakuan bersalah ini datang dari CEO Facebook Mark Zuckerberg pada momentum perayaan Yom Kippur akhir September lalu (Kompas.com, 2/10/2017).

Facebook disalahkan oleh banyak pihak terkait dengan pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat tahun lalu. Media sosial terpopuler sejagat itu dianggap turut serta dalam menyebarkan hoaks yang memecah-belah publik di negeri ”Paman Sam”.

Beberapa analisis meyakini ada pihak dari Rusia yang sengaja menginterupsi pilpres AS guna memenangkan Donald Trump dengan menyebarkan hoaks tentang rival politiknya melalui Facebook. Facebook dianggap tahu hal ini, membiarkannya terjadi, bahkan memanfaatkannya untuk menaikkan popularitas dan meraih keuntungan ekonomi.

Tanggung jawab perusahaan media sosial

Pada awalnya, Zuckerberg getol membantah tuduhan itu dan bersikeras Facebook telah melakukan yang terbaik untuk menangani hoaks. Sikap Zuckerberg mulai berubah setelah terungkap ada lebih dari 3.000 pesan politik yang berasal dari Rusia yang dianggap memanaskan situasi politik dan turut mengiring pilihan politik masyarakat AS. Hingga akhirnya muncul pengakuan bersalah yang menghebohkan itu.

Pertanyaan menggelitik dapat diajukan di sini. Apakah Facebook juga akan meminta maaf kepada warga Jakarta karena situasi konfliktual dan pecah-belah juga mewarnai Pilkada DKI Jakarta di mana episentrumnya juga ruang media sosial yang ricuh dan sarat ujaran kebencian?

Mungkin berlebihan jika semua kekesalan ditumpahkan kepada media sosial seakan-akan media sosial menjadi penyebab tunggal dari konflik atau perpecahan yang mewarnai sebuah proses suksesi kepemimpinan.

Meski demikian, pengakuan bersalah pemilik Facebook menunjukkan bahwa media sosial turut berkontribusi terhadap konflik dan perpecahan. Kontribusi yang kelihatan menonjol karena belakangan media sosial menjadi ruang publik baru yang terbukti mampu menyedot perhatian masyarakat, penyelenggara pemilu, para kandidat, tim sukses, dan simpatisan.

Pengakuan bersalah itu lebih jauh lagi memperlihatkan bahwa media sosial bukanlah sebuah area entah-berantah yang tidak bertuan. Media sosial sesungguhnya menunjukkan bekerjanya sebuah institusi. Institusi sosial yang menjalankan misi sosial sekaligus institusi ekonomi yang berorientasi bisnis. Karena bergerak di ruang publik dan secara faktual memberikan pengaruh kepada masyarakat, pelaksanaan misi sosial sekaligus ekonomi itu mesti disertasi dengan perumusan tanggung jawab moral maupun hukum yang jelas.

Penumpang gelap

Pemahaman ini sangat relevan untuk konteks Indonesia saat ini. Banyak orang memahami media sosial dengan perumpamaan lapangan sepak bola. Facebook, Twitter, ataupun Instagram adalah kapitalis baik hati yang secara cuma-cuma menyediakan lapangan sepak bola yang terbuka untuk semua orang.

Kita bisa mengekspresikan diri, berinteraksi sosial, berteriak selantang-lantangnya, berdebat sebebas-bebasnya di lapangan sepak bola itu. Namun, jika terjadi keributan di sana, jangan salahkan si pemilik lapangan. Kami hanya menyediakan sarana, penggunaan sarana itu di luar tanggung-jawab kami! Begitu kira-kira prinsip perusahaan pengelola media sosial.

Banyak orang mengamini prinsip ini dan membela perusahaan media sosial ketika mereka dipersalahkan karena hal-hal tidak pantas yang beredar di media sosial. ”Dengan semua kebaikannya, tidak seharusnya Facebook, Twitter dibebani tanggung jawab macam-macam.” Begitulah pandangan umum tentang media sosial di Indonesia sejauh ini yang juga memengaruhi pandangan para penegak hukum. Ketika muncul kasus Saracen, juga kasus Buni Yani, perhatian penegak hukum hanya pada pengguna media sosial yang memproduksi hoaks.

Perusahaan media sosial yang sebenarnya lebih berperan dalam penyebaran hoaks luput dari perhatian, imun dari dugaan dan sangkaan.

Kata sosial dalam istilah media sosial begitu menghegemoni pikiran masyarakat. Banyak orang tidak menyadari bahwa media sosial sesungguhnya juga institusi bisnis. Media sosial memfasilitasi masyarakat untuk berkomunikasi dengan cara yang baru, tetapi juga secara instrumentalistik mengomodifikasi cara komunikasi tersebut.

Jika pengandaian tentang lapangan sepak bola tetap digunakan, perlu dibayangkan pula bahwa pengelola media sosial memasang CCTV di sekeliling lapangan sepak bola itu untuk merekam semua aktivitas pengguna lapangan. Hasilnya adalah limpahan data perilaku pengguna media sosial (behavioral data).

Data perilaku bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus). Jika tahun lalu Facebook digunakan sebanyak 1,6 miliar orang di seluruh dunia, data perilaku orang sebanyak itu pula yang dikelola Facebook dan menjadi dasar bagi aktivitas periklanan digital. Dari komodifikasi data perilaku pengguna, perusahaan media sosial meraup keuntungan ekonomi luar biasa besar.

Dengan kata lain, tak ada yang murni bersifat sosial dalam hubungan antara pengguna dan perusahaan layanan media sosial. Tidak ada yang benar-benar gratis. Apalagi, jika kita menghitung besarnya uang, waktu, tenaga, dan energi yang secara akumulatif digunakan 1,6 miliar orang itu untuk mengakses internet setiap hari. Berapa pulsa telepon, paket internet, dan konsumsi listrik yang kita gunakan setiap hari untuk bermedia sosial?

Dalam konteks inilah desakan agar perusahaan media sosial lebih bertanggung jawab atas dampak-dampak media sosial semakin menguat belakangan. Muncul anggapan perusahaan-perusahaan media sosial cenderung menjadi penumpang gelap (free rider) yang mengambil banyak keuntungan dari demokratisasi digital, tanpa menanggung beban tanggung jawab semestinya atas ekses yang muncul.

Media sosial memiliki kekuatan besar untuk mengarahkan masyarakat, mengambil keuntungan bisnis dari ketergantungan masyarakat terhadap media sosial, sehingga sudah semestinya turut bertanggung jawab atas dampak yang muncul.

Anomali penanganan hoaks

Pada titik ini, kita bisa melihat anomali penanganan hoaks di Indonesia, seperti dalam kasus Saracen dan Buni Yani. Penegak hukum belum meletakkan perusahaan media sosial sebagai pihak yang semestinya turut bertanggung jawab atas penyebaran hoaks.

Facebook dan lain-lain belum ditempatkan sebagai subyek hukum yang memiliki hak beroperasi dan berbisnis di Indonesia, tetapi juga memiliki tanggung jawab menangani dampak penggunaan media sosial.

Bagaimana tanggung jawab ini dirumuskan? Transparansi dan keterlibatan perusahaan media sosial jelas sangat dibutuhkan untuk mengungkap kasus semacam Saracen. Apa yang sedang dirintis Pemerintah Jerman tentang rumusan kewajiban perusahaan media sosial dapat dipelajari. Perusahaan media sosial yang beroperasi di Jerman diwajibkan untuk mendirikan ”Unit Penanganan Hoaks” yang berkantor di Jerman dan melayani pengaduan 24 jam sehari.

Jika ada hoaks yang menyebar melalui media sosial, perusahaan media sosial harus menghapusnya dalam waktu 24 jam. Untuk setiap hoaks yang tidak dihapuskan dalam waktu tersebut dikenakan denda sebesar 500.000 euro atau setara dengan Rp 7 miliar kepada perusahaan media sosial.

Bentuk tanggung jawab perusahaan media sosial juga dapat berupa kewajiban menyisihkan sebagian keuntungan bisnis guna mendukung program literasi masyarakat. Hal ini perlu ditegaskan karena literasi media sesungguhnya adalah cara paling ampuh untuk mengantisipasi dampak-dampak buruk media sosial. Literasi media baru bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga tanggung jawab industri media sosial itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar