Arab
Saudi Menuju Era Baru?
Ibnu Burdah ; Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
05 Oktober
2017
Kerajaan Arab Saudi seakan
sedang berubah. Pada 26 September lalu, Raja Salman bin Abdul Aziz
mengeluarkan keputusan yang memperbolehkan perempuan menyetir mobil-suatu hal
yang biasa di negeri lain, tapi luar biasa di Saudi. Keputusan itu akan
diberlakukan secara efektif mulai pertengahan tahun depan.
Hingga saat ini, perempuan di
Saudi dilarang untuk mengendarai mobil. Keputusan baru itu sangat
kontroversial karena bertentangan dengan yang berlaku puluhan tahun di sana
dan didasarkan pada fatwa agama. Pelarangan mengendarai mobil juga didasarkan
pada fatwa para pembesar Haiah Kibar al-Ulama, otoritas agama Islam tertinggi
di Saudi, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Aziz bin Ali Syekh,
dan Syekh Ali Fauzan. Tapi, setelah Raja Salman mencabut larangan itu, Haiah
Kibar al-Ulama juga menyatakan bahwa keputusan baru raja itu tidak
bertentangan dengan agama, bahkan sesuai dengan maslahat umum rakyat Saudi.
Berita kontroversial lain
adalah mengenai peringatan hari nasional Saudi yang dirayakan dengan berbagai
kegiatan. Hal itu di antaranya adalah nyanyian di tempat-tempat terbuka
dengan laki-laki dan perempuan berada bersama di tempat tersebut. Sebagian
dari mereka juga berjoget dengan cara masing-masing, kendati baju yang
dikenakan perempuan kebanyakan juga masih menggunakan abaya lengkap disertai
cadar. Yang laki-laki juga mengenakan pakaian lengkap khas Arab Teluk.
Hal ini benar-benar tak biasa terjadi di negeri itu. Masyarakat Saudi
melakukan pemisahan secara ketat antara laki-laki dan perempuan di ruang
publik. Apalagi mereka berjoget dan bernyanyi di tempat-tempat umum. Ini
sungguh sangat janggal. Lebih mengejutkan lagi, dari banyak berita yang
beredar, banyak perempuan bahkan melepaskan sebagian pakaian abayanya.
Hal yang kurang-lebih sama
kontroversialnya adalah dibukanya tempat-tempat wisata, terutama pantai, yang
memperkenankan perempuan dan laki-laki tak berpakaian rapat sebagaimana
biasa. Bahkan, banyak yang tidak menutup aurat. Hal lainnya adalah pembukaan
bioskop dan tempat konser musik. Selama ini, bioskop dan konser musik
dilarang keras di sana.
Benarkah masyarakat Arab Saudi
saat ini memang sedang berubah menuju sebuah era baru, katakanlah era
keterbukaan? Semua masyarakat tentu dinamis. Tak ada masyarakat yang
benar-benar statis. Apalagi masyarakat Saudi yang memiliki akses besar ke
dunia luar, baik berkat kemakmurannya maupun lewat sarana komunikasi dan
media sosial baru.
Namun apa yang terjadi di Saudi
sesungguhnya perubahan artifisial saja. Peristiwa-peristiwa kontroversial di
atas sama sekali tidak menandai adanya perubahan mendasar, baik secara sosial
maupun politik. Dari sisi politik, tak ada perubahan berarti dalam masyarakat
tersebut.
Penguasanya tetaplah sebuah keluarga dengan sistem monarki absolut.
Rakyat tidak memiliki hak untuk menentukan masa depan negerinya.
Mereka yang mengkampanyekan
sistem kekuasaan yang lebih demokratis, seperti sistem monarki konstitusional
atau pendirian partai, berakhir di penjara. Bahkan, hanya mencuit harapan di
media sosial agar rakyat Saudi dan Qatar diberkahi Allah saja juga berakhir
di penjara. Rezim Saudi bukannya semakin membuka aspirasi masyarakat dalam
menentukan urusan bersama, melainkan justru semakin otoriter terhadap segala
perbedaan politik. Secara sosial, Saudi masih tertutup dan tak siap dengan
perbedaan pemikiran dan pendapat.
Apa yang dilakukan rezim Saudi saat
ini dengan memberi kelonggaran perempuan mengendarai mobil, pembukaan
bioskop, konser musik, dan seterusnya tak lain adalah jalan pintas rezim
untuk mengurangi tekanan. Tekanan sosial, ekonomi, dan politik terhadap rezim
saat ini sangatlah kuat. Rezim ini sepertinya sedang dalam ancaman serius,
baik dari dalam maupun dari luar.
"Konsesi" rezim
dengan memberikan kebebasan artifisial kepada masyarakat itu diharapkan akan
mengurangi kekecewaan masyarakat terhadap rezim. Namun mereka sepertinya lupa
bahwa kerajaan itu sesungguhnya dibangun di atas fondasi keislaman yang
sangat konservatif. Dengan "liberalisasi" tersebut, rezim ini
sesungguhnya telah membongkar fondasinya sendiri. Apalagi, hal ini dilakukan
tanpa didahului diskusi yang memadai di ruang publik.
Sejauh ini memang belum ada
perlawanan terbuka dan penggalangan massa dari ulama terkemuka di Saudi
terhadap beberapa keputusan rezim. Bahkan, tak lama setelah pengumuman
pembolehan perempuan mengendarai mobil, Haiah Kibar al-Ulama segera
memberikan legitimasi atas keputusan itu.
Tapi sikap liberalisasi rezim
ini jelas mengecewakan kalangan luas yang menjadi pendukung utama kerajaan,
baik kalangan ulama maupun muslim konservatif. Kendati disambut masyarakat,
perubahan yang serba mendadak dan atas-bawah seperti itu bisa berakibat fatal
bagi rezim itu dalam beberapa waktu ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar