Senin, 16 Mei 2016

Tuduhan Mafia Peradilan

Tuduhan Mafia Peradilan

Amzulian Rifai ;   Ketua Ombudsman Republik Indonesia
                                                    KORAN SINDO, 09 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tuduhan adanya mafia peradilan jelas menyakitkan. Terkesan hanya memojokkan para hakim. Padahal, jika pun memang ada mafia peradilan, ada banyak pihak yang terlibat dalam proses peradilan hingga keluarnya putusan.

Isu mafia peradilan kembali mengemuka. Penyebabnya karena ada beberapa operasi tangkap tangan oleh KPK yang mengarah kepada para oknum di pengadilan. Apalagi saat penggeledahan di kediaman pejabat tinggi Mahkamah Agung ditemukan uang dalam jumlah signifikan, menambah daftar prasangka buruk publik.

Dalam acara hukum salah satu televisi swasta, Ombudsman RI menampilkan beberapa temuan signifikan terkait runyamnya peradilan kita. Malah Komisioner KPK Saut Situmorang dalam acara itu menyatakan, bahkan uang Rp50.000 pun diterima untuk pembacaan putusan hakim di suatu pengadilan. Sedemikian parahkah kondisinya sebagaimana diungkapkan komisioner KPK itu?

Makna Mafia Peradilan

Mereka “yang waras”, sama sekali tidak pernah terlibat, mestinya marah besar dengan sebutan mafia peradilan. Mafia adalah jenis sindikat kriminal terorganisasi yang melindungi berbagai perbuatan para outlaws, melakukan berbagai transaksi ilegal. Juga aktivitas terlarang perjudian, peredaran obat terlarang, dan pemerasan. Layakkah istilah ini digunakan menggambarkan dunia peradilan kita di semua tingkatan?

Sudah telanjur menyebar memang walau tanpa terlalu paham makna sesungguhnya. Memang idealnya kita tidak gegabah menggunakan istilah tersebut. Bertambah tidak sederhana persoalannya jika kita juga menuntut penjelasan siapa yang terlibat dalam mafia peradilan. Untuk sampai kepada putusan hakim ada polisi, jaksa, pengacara, staf pengadilan yang terlibat dalam proses tersebut. Memang runyamnya, ada tuduhan perilaku koruptif itu terjadi di semua lapisan dan tahapan.

Bukan Isu Baru

Ketika belajar di Australia pada 1998 saya pernah “dimarahi profesor” karena menyatakan ada suap-menyuap dalam peradilan Indonesia. Dia marah besar karena meyakini hakim adalah profesi mulia, orang-orang profesional. Malah, andaikan beliau tahu pasti lebih marah lagi karena di Indonesia para hakim itu disebut juga “wakil Tuhan.” Paham yang belum tentu dianut banyak negara lain.

Profesor Australia itu baru turun tensi amarahnya ketika saya menunjukkan artikel yang ditulis oleh Menteri Kehakiman pada masa itu, Oetojo Oesman, yang menulis, “More than fifty percent Indonesian judges, taking bribery.” Tentu saja Profesor itu “setengah tidak percaya” ketika dikemukakan bahwa pernyataan itu oleh Menteri Kehakiman Indonesia yang, di masa itu, membawahi seluruh hakim. Kebetulan saya juga pernah membantu Federal Court of Australia (Pengadilan Federal Australia) pada 1995 yang juga melatih para hakim Indonesia.

Dalam interaksi saya pada saat itu terungkap praktik-praktik penyimpangan, perilaku koruptif. Bahkan ada hakim kita yang berani mengemukakan perilaku koruptif itu. Ada cerita soal perkara basah dan perkara kering. Isu soal siapa yang membagikan perkara yang biasanya oleh ketua pengadilan. Isunya, jangan coba-coba tidak sejalan dengan sang ketua pengadilan karena akan kebagian perkara kering atau malah mungkin tidak mendapatkan perkara sama sekali.

Sebagai orang awam, saya tidak terlalu percaya dengan cerita-cerita negatif itu. Saya meyakini ada banyak hakim dan staf pengadilan yang bekerja profesional, berintegritas. Sedihnya, mereka ini digeneralisasi oleh kelakuan oknum hakim dan pegawai pengadilan yang memang korup. Bahkan mungkin di antara mereka masih bebas berkeliaran menjalankan aksi terlarangnya.

Masalah Menyakitkan

Memang “ada terungkap” kasus-kasus yang melibatkan hakim, jaksa, polisi juga pengacara yang mempertegas adanya mafia peradilan. Namun, tetap saja, sekilas penggunaan istilah ini tergolong bombastis dan menyakitkan insan peradilan. Sebutan mafia peradilan sangat menyakitkan karena berbagai alasan.

Pertama, ada banyak hakim yang berintegritas, jujur, hidup hanya atas dasar hakhaknya saja. Walaupun kita juga menemukan oknum yang tampil kebalikannya. Alasan kedua, karena ada banyak pihak yang pantas dicurigai sebagai pelaku utama dalam mafia peradilan, jangan hanya tertuju kepada hakim. Ada para staf pengadilan yang berhubungan langsung dengan pihak beperkara.

Ada di antara staf memiliki kekayaan di luar batas kewajaran. Suatu istilah yang sangat menyakitkan bagi para hakim yang dengan segala risiko mempertaruhkan integritas mereka. Tidak ada cara-cara duniawi yang berhasil memengaruhi mereka. Saya menyaksikan ada di antara mereka yang hidup apa adanya dengan segala risiko pekerjaan.

Demikian juga ada banyak staf yang tetap berintegritas sekalipun dengan berbagai keterbatasannya. Para pencari keadilan justru paling tersakiti dengan istilah atau eksisnya istilah mafia peradilan. Mungkin mereka sungguh tidak bersalah, tapi speechless dihadapkan dengan proses yang korup. Itu sebabnya harapan akhir mereka pada hakim. Betapa menyakitkannya ketika “kekalahan mereka” atau “masuk penjaranya mereka” karena adanya proses peradilan yang korup.

Jalan Keluar

Jalan keluar pertama, keharusan efektifnya pengawasan internal di lingkungan pengadilan di semua tingkatan. Seberapa ampuh dan efektif pengawasan terhadap para staf pengadilan dengan berbagai jabatannya? Apa tindakan nyata pengadilan ketika para pejabat pengadilan nyata-nyata bersalah? Pengawas internal pengadilan harus sensitif apabila menyaksikan kekayaan luar biasa “tak wajar” di lingkungan kerjanya. Mesti ada alarm, kecurigaan, ketika di antara mereka ada yang nyeleneh menampakkan kekayaannya.

Mafia peradilan juga dapat terhindar jika kontak langsung dikurangi. Ada banyak soal ketika ada kontak langsung dalam beperkara. Kondisi ini memunculkan berbagai masalah mulai dari tafsir negatif hingga kejadian sesungguhnya. Sedapat mungkin digunakan teknologi informasi dalam administrasi peradilan. Cyber court, pengadilan cyber harus segera diterapkan di semua tingkatan.

Putusan pengadilan harus bisa didapat melalui internet/ website. Tidak perlu datang ke pengadilan. Selama ini bahkan putusan pengadilan untuk diri sendiri saja seakan masuk kategori “barang langka dan barang mahal” yang rentan disalahgunakan. Cyber court harus dapat menjadikan jadwal persidangan akurat. Jadwal sidang yang tidak pasti dapat memunculkan keputusasaan dan menggerus wibawa peradilan.

Kondisi ini memicu penggunaan jalan pintas dan perilaku curang. Kita mestinya “marah besar” dengan tuduhan mafia peradilan, ada banyak pihak yang tersakiti. Para hakim, para staf pengadilan yang sungguh mengabdi. Harus ada mekanisme internal yang efektif menutup ruang para calo, panitera, bahkan oknum hakim yang mungkin saja ada meneror administrasi pengadilan.

Bahkan, hasil investigasi Ombudsman pun memang merefleksikan masih banyak praktik menyimpang. Sungguhpun menyakitkan, dalam batas tertentu tuduhan itu juga sebagai bahan aksi nyata. Berbagai kekurangan peradilan menjadi tanggung jawab kita semua, terutama pihak-pihak yang beperkara, untuk memperbaikinya.

Tuduhan adanya mafia peradilan sangat menyakitkan bagi mereka yang tidak melakukannya, tetapi dalam keseharian memang berada di dalam lingkaran peradilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar