Demokrasi dan Kritik Internal Parpol
Isran Noor ;
Ketua Umum Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI)
|
KORAN SINDO, 09 Mei
2016
Pada
saat membuka Muktamar Islah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beberapa waktu
lalu di Asrama Haji Pondok Gede sekurangnya ada dua pesan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) yang menarik digarisbawahi dan dieksplorasi lebih jauh.
Pertama,
poin urgensi penguatan kelembagaan partai politik sebagai basis sosial (social base) bangunan demokrasi makro
yang stabil. Seperti dikutip media, Presiden menekankan perlunya entitas
institusionalisasi partai politik yang matang sebagai pilar dan infrastruktur
utama demokrasi modern.
Kedua,
menyangkut potret demokrasi makro kita yang makin mekar dan matang yang pada
saatnya secara mikro mensyaratkan kehadiran postur partai politik penopang
yang dewasa dan matang pula. Yakni, partai politik yang tidak larut dalam
konflik elite berkepanjangan, apalagi menjurus konflik elite zero sum game. Konflik tak terdamaikan
yang bermuara terbelahnya partai politik (dualisme kepengurusan). Lebih jauh
Presiden mengharapkan agar PPP pascaislah lebih memfokuskan upaya konsolidasi
internal dan resolusi konflik.
Bagi
Presiden, kontestasi dan rivalitas dalam politik seharusnya terjadi periodik
lima tahunan, baik dalam pilpres, pemilu, atau pilkada. Di luar itu adalah
momen harmoni dan konsolidasi. Presiden lantas mencontohkan tentang hubungan pribadinya
yang rukun dan harmonis dengan Prabowo Subianto pasca-Pilpres 2014. ”Saya dan mas Prabowo baik-baik saja. Saya
sudah berkunjung ke rumahnya dan mas Prabowo juga sudah ke Istana,” sebut
Presiden.
Pesan
dan harapan Jokowi ini terasa relevan dan kongruen, bukan saja dengan situasi
mutakhir konflik internal sebagian partai politik yang menjurus dualisme
kepengurusan. Pesan Presiden ini juga relevan sebagai renungan pentingnya
resolusi konflik politik elite. Secara simbolik seolah Presiden hendak menegur
agar elite partai politik introspeksi dan lebih dewasa serta tidak emosional
dalam menyikapi setiap momen kontestasi politik.
Ini
tersirat ketika dirinya mencontohkan sikap harmoni pribadinya dengan Prabowo,
mantan kompetitor pilpres lalu. Jokowi hendak mengajarkan bahwa rivalitas
politik tidak harus berakhir dengan emosi dan putusnya silaturahmi. Kompetisi
politik memang bisa berlangsung sangat keras dan menegangkan, namun itu tidak
menutup upaya harmoni. Inilah konflik yang happy ending.
Jika
dicemati lebih jauh, tuturan pengalaman pilpres di atas, selain menjadi
kritik dan pembelajaran resolusi konflik politik elite, sekaligus juga
menyiratkan ada jurang diskrepansi antara di satu pihak, potret masa depan
demokrasi makro kebangsaan kita yang tengah mekar optimistik, versus
demokrasi mikro internal partai politik yang kerap menimbulkan apatisme
politik.
Antara
keduanya terdapat perbedaan tajam. Sudah bukan rahasia lagi, potret makro
demokrasi kita kini kian membuncah dan kerap diapresiasi optimistis banyak
pihak. Sebagian bahkan dengan satir menyebut bangsa ini menganut
ultrademokrasi, menjadi negara demokrasi baru yang paling liberal. Selain
itu, sejauh ini kita juga termasuk sedikit yang diakui, jika bukan
satu-satunya, bangsa muslim yang sukses mempraktikkan demokrasi.
Pandangan
demikian ini memang tidak sepenuhnya keliru, terutama jika kita merujuk pada
pelaksanaan event politikseperti pelaksanaan pilpres yang berlangsung relatif
transparan, aman, dan terkendali, tanpa dihantui gejolak kekerasan. Demikian
pula dengan pelaksanaan pilkada baik pada level provinsi maupun
kabupaten/kota yang berjalan relatif damai. Selain itu, indikator penting
lain penilaian ultrademokrasi juga merujuk pada perkembangan institusi pers
di Tanah Air yang tidak kalah liberal.
Perkembangan
pers demikian terkadang memang membuat sebagian khawatir, pers yang
ultrabebas telah melampaui posisinya sebagai pilar keempat demokrasi, seolah
berubah menjadi bagian dari kekuatan politik itu tersendiri. Tentu ini
menjadi kritik dan introspeksi bersama, bagaimana kita musti memastikan pers
dan media mainstream, yang sebagian pemilik modalnya adalah elite politik,
tetap menjadi kekuatan check and
balance yang menyehatkan demokrasi.
Ringkasnya,
dengan dua indikator ini, tak diragukan lagi, potret demokrasi bangsa semakin
menumbuhkan harapan. Hal inilah yang kadang menjadikan pengamat asing sangat
optimistik dengan prospek demokrasi kita. Kita bahkan kerap dijadikan sebagai
salah satu rujukan terbaik (center
exemplary) negara baru demokrasi.
Kritik Parpol
Secara
normatif, partai politik adalah pilar dan infrastruktur utama demokrasi.
Tidak ada demokrasi otentik tanpa partai politik. Dalam pada itu partai
politik fungsionalitas sebagai wahana agregasi dan penyaluran politik
konstituensi. Melalui partai politiklah rakyat memercayakan hak-hak
politiknya kepada wakilnya di parlemen. Hal ini karena rakyat tak mungkin
memerintah langsung seperti praktik demokrasi di Athena, masa-masa awal lahir
demokrasi.
Kehadiran
partai politik dalam tatanan demokrasi merupakan keniscayaan tak terhindarkan
(sine qua non). Masalahnya, kemajuan dan prestasi demokrasi internal partai
politik sejauh ini belum berbanding lurus dengan praktik demokrasi makro yang
menjulang. Harus diakui perkembangan demokrasi partai politik kerap ketinggalan.
Idealnya, makro demokrasi yang maju dan modern tentu kongruen dengan partai
politik yang modern pula.
Akibat
itu, kerap muncul gugatan terhadap partai politik. Aspek yang kerap disorot
adalah praktik terbaik (best practices)
demokrasi makro yang belum bisa direplikasi di internal parpol. Menyangkut
aspek kandidat ketua umum dalam ajang sirkulasi elite parpol misalnya,
mengapa justru yang terjadi tidak dipilih secara transparan, sebagaimana
dalam agenda pilpres maupun pilkada. Akibat itu, kerap tak terhindarkan ajang
sirkulasi dan pergantian elite figur puncak, bermuara konflik tak
terkompromikan.
Kritik
dan image terhadap partai politik yang belum seoptimistis terhadap sosok
demokrasi makro kita harus disikapi dengan jujur karena ini menyiratkan
kecintaan dan harapan besar terhadap partai politik.
Saatnya
elite utama partai politik berbenah, membuka nalar dan hati tanpa saling
menyalahkan. Mengurus dan membenahi partai politik adalah mulia sebagai
investasi masa depan demokrasi yang optimistik. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar