Pelajaran dari Kemenangan Sadiq Khan
Firman Noor ;
Peneliti Puslit Politik LIPI
dan Dosen FISIP UI;
Saat ini Bermukim London
|
KORAN SINDO, 12 Mei
2016
”Congratulations
@SadiqKhan. Can’t wait to work with you to create a London that is fair for
all! #YesWeKhan”
Demikian
pesan singkat yang disampaikan Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh, kepada
Sadiq Khan sesaat dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan wali Kota
London. Pesan singkat itu mencerminkan ikut bergembiranya ketua Partai Buruh
yang terpilih tahun lalu di tengah kemunduran perolehan suara partainya pada
pemilihan lokal 2016 yang dilakukan serempak di beberapa wilayah Inggris
baru-baru ini.
Dapat
dikatakan, kemenangan Khan adalah pelipur lara bagi Corbyn, bahkan menurut
Maajid Nawaz—seorang kolumnis The Daily Beast, satu-satunya yang bisa
dirayakan oleh Corbyn dari hasil yang tidak memuaskan dalam pemilihan kali
ini. Hubungan Khan dan Corbyn sendiri sebenarnya tidak begitu erat.
Berbeda
dengan pesaingnya dari Partai Konservatif Zac Goldsmith yang memiliki
hubungan cukup harmonis dengan PM David Cameron dan Wali Kota London Boris
Johnson, Khan cenderung membangun jarak dengan Corbyn. Salah satu alasannya,
agar citra Corbyn yang kekiri-kirian dan (dikesankan) cenderung menganut
anti-Semitism tidak mengena kepadanya.
Hubungan
yang kurang harmonis inilah yang mungkin menjadi jawaban dari ketidakhadiran
Corbyn saat perayaan kemenangan Khan. Kendati demikian, hubungan dingin itu
tidak sampai pula mendorong Corbyn sebagai pimpinan partai untuk melakukan
langkah-langkah destruktif pencalonan Khan.
Hal
ini karena mekanisme pemilihan internal partai yang baku, yang menyebabkan
potensi seorang politisi terlindungi dari intervensi pimpinan partai. Atas
dasar mekanisme yang ditaati itu, seorang pimpinan partai seperti Corbyn
tidak dapat mendikte apa yang harus dilakukan Khan yang dikenal memiliki
ide-ide cemerlang dan brilian.
Tampak
jelas bahwa dalam kasus Khan ini kekuatan ide dan pesona individu berada di
atas kekuasaan pimpinan partai, yang tidak bisa tidak, akhirnya harus
mengakomodasinya. Kekuatan ide ini pulalah yang menyebabkan Khan dapat
diterima oleh mayoritas masyarakat London atau kerap disebut Londoners.
Kemenangan
44% pada perhitungan pertama dan 57% pada perhitungan kedua, yang berarti
sekitar 1,3 juta pemilih, mengindikasikan mengenanya pilihan isu dan
alternatif kebijakan yang dikedepankan Khan. Sejak awal Khan memfokuskan diri
pada penciptaan lebih banyak lagi perumahan (termasuk menyediakan 80.000
rumah per tahun dan penyewaan rumah layak tinggal yang murah) bagi masyarakat
London.
Sebuah
program yang akan, yang memang amat, dinanti oleh masyarakat London pada
masa-masa belakangan ini, di samping tentu saja persoalan keamanan,
lingkungan, pengurangan pengangguran, dan transportasi.
Selain
program yang tepat, Khan juga berhasil menjelmakan dirinya sebagai sosok yang
seutuhnya Londoners. Dia mencitrakan dirinya sebagai bagian dari kaum pekerja
yang dibesarkan dari keluarga menengah (ayahnya adalah imigran yang bekerja
sebagai supir bus dan ibunya adalah tukang jahit) dan tinggal di perumahan
yang disediakan pemerintah.
Kondisi
ini adalah kondisi umum masyarakat London, yang sekitar 37% (sensus 2011)
adalah mereka yang lahir di luar Inggris, dengan tingkat pendapatan yang
sedang-sedang saja. Khan memang ”diuntungkan” dengan situasi London yang
memang kota pekerja dan secara tradisi memiliki pendukung Partai Buruh yang
kuat.
Di
berbagai kesempatan dia menekankan bagaimana dia bangga kepada London, kota
yang telah memberikan banyak kebahagiaan dan kesempatan. Karena itu, Khan
mengatakan akan terus menciptakan kesempatan untuk dapat hidup lebih baik itu
bagi semua kalangan. Selain itu, Khan juga menyadari hakikat London sebagai
melting pot atau kota untuk semua ras dan penganut beragam latar belakang
agama.
Karena
itu, dia menghormati keberagaman, yang terakhir terlihat dengan kesediaannya
menghadiri acara peringatan Holocaust beberapa hari setelah dilantik. Sebagai
seorang muslim yang mengaku menjalankan salat dan puasa secara tertib, dia
juga seorang pengacara yang banyak berkutat dengan persoalan hak-hak
minoritas.
Dengan
demikian, instingnya sebagai pembela masyarakat tertindas sudah relatif
teruji. Pelajaran dari Khan oleh karenanya adalah kemampuannya menjadi bagian
dari rakyat yang diwakili dan dipimpinnya. Dia tidak mencoba menarik garis
permusuhan kepada siapa pun, melainkan menghormatinya dengan tulus.
Setidaknya
itu yang dirasakan para pendukungnya. Dia, sekali lagi, ingin menjadi wali
kota bagi seluruh Londoners. Tidak heran jika kemudian banyak kalangan dari
berbagai latar belakang agama, ras, status sosial, bahkan orientasi seksual
mendukungnya. Tepat jika dikatakan bahwa dia terpilih bukan karena statusnya
sebagai seorang muslim, melainkan karena program-programnya dan sosok dirinya
tidak memiliki jarak psikologis dengan kebanyakan masyarakat London.
Kecuali,
bagi kalangan yang cenderung Islamofobia atau mereka yang termakan dengan
pencitraan negatif Khan sebagai sosok ekstremis. Kemenangan mutlak ini juga
ditopang oleh kegagalan Partai Konservatif dalam mencari sosok yang tepat
bagi para Londoners.
Meski
berusaha mati- matian mendekati masyarakat menengah bawah, citra Zac sebagai
orang mapan tidak cukup menarik perhatian Londoners. Tidak itu saja, Zac dan
timnya juga gagal mengembangkan strategi kampanye yang tepat. Ketika Khan
sibuk membangun argumentasi yang solid tentang akan seperti apa London pada
masa-masa datang, pada saat yang sama Zac dan timnya sibuk melakukan serangan
personal (black campaign) kepada Khan dengan terus-menerus mengulik latar
belakangnya sebagai seorang muslim.
Zac
misalnya terus mengingatkan potensi anti-Yahudi kepada komunitas Yahudi dari
sosok Khan, selain juga figur yang tidak menguntungkan bagi kalangan
keturunan India, mengingat dirinya seorang Pakistani- Brit yang juga
kelihatannya akan menaikkan pajak bagi barang-barang berharga dan termasuk
perhiasan yang banyak dikelola oleh orangorang India.
Khan
juga dicitrakan sebagai muslim moderat yang bersedia bekerja sama dengan
kalangan fundamentalis Islam dan teroris. Uniknya, dalam konteks pemilihan
kali ini banyak kalangan konservatif sendiri yang kecewa dan muak dengan
strategi kampanye yang dipilih Zac.
Sebagian
elite Konservatif, termasuk mantan pimpinan Partai Konservatif Lady Sayeeda
Warsi mengutuk dikedepankannya kampanye negatif yang berpotensi memecah belah
masyarakat London. Bahkan ada beberapa konservatif yang terang-terangan tidak
memilih Zac. Tidak kurang Jemima Goldsmith, adik Zac, menyayangkan model
kampanye abangnya dengan mengatakan tidak mencerminkan Zac yang dia tahu
selama ini.
Situasi
ini memberikan pelajaran lain bagi kita semua bahwa tema-tema yang
mengedepankan sentimen-primordial selalu ada dalam momen-momen pemilihan
politik, bahkan di negara Barat sekalipun. Ingat juga kasus Obama yang pernah
dipersoalkan karena latar belakang keluarganya.
Kendati
demikian, setidaknya dalam kasus terpilihnya Khan dan Obama, pengedepanan
sentimen semacam itu gagal total. Baik Khan maupun Obama sekali lagi
memperlihatkan kekuatan ide, pesona, dan daya tarik pribadi mampu mengungguli
kampanye negatif berlandaskan primordial.
Kemenangan
Khan mengisyaratkan dan memberikan pelajaran lagi kepada kita bahwa setiap
orang hendaknya dilihat dan dinilai dari kemampuannya (termasuk apa yang
telah dibuatnya), bukan dari warna kulit, keturunan, status sosial, dan hal
lain yang tidak relevan.
Ini
berarti pula seorang pemilih harus mampu dengan cerdas melihat calon
pemimpinnya atas dasar kapabilitasnya, bukan primordialitas. Apalagi,
terhipnosis oleh aksi-aksi sensasional hasil rekayasa tanpa makna. Saya
percaya pada masamasa datang kita semua sebagai makhluk rasional dapat
melakukan itu. Yes we Khan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar