Minggu, 15 Mei 2016

Melawan Kekerasan dengan Kearifan

Melawan Kekerasan dengan Kearifan

Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KASUS yang terjadi pada Yuyun jelas sangat memukul dunia pendidikan pada umumnya. Pelaku kekerasan seksual yang dilakukan anak-anak yang masih berada di bangku sekolah itu jelas menunjukkan kegagalan semua pemangku kepentingan dunia pendidikan, seperti orangtua, guru, kepala sekolah, dan birokrasi dalam menjaga muruah pendidikan kita yang menjunjung tinggi budi pekerti. Fenomena Yuyun jelas merupakan puncak perilaku tak terkontrol anak-anak kita karena selain tidak memperoleh perhatian yang layak dari para orangtua mereka, juga rusaknya lingkungan tempat mereka tinggal.

Kekerasan memang akan terus ada sepanjang kesadaran kita tentang kehidupan ini sebagai sebuah tantangan. Karena itu, kita harus pandai pula berpikir tentang lawan dari kekerasan yang seharusnya menjadi bagian dari perilaku kita. Menurut saya, lawan dari kekerasan ialah perdamaian, dan damai ialah karakter. Untuk mencapainya dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang melalui sebuah skenario.

Jika skenario ialah sebuah rencana, pendidikan ialah domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk menggali potensi damai dalam diri masing-masing. Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar tentang semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi damai.

Problem kekerasan terhadap anak seolah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Modus kekerasan terhadap anak juga sangat beragam, mulai dari problem psikologis orangtua hingga kerusakan struktural masyarakat karena hilangnya rasa saling memiliki. Pendek kata, bisa jadi kekerasan terhadap anak saat ini sudah menjadi epidemi keempat setelah kemiskinan, kekurangan gizi, serta rendahnya kesempatan belajar anak. Saat ini lebih dari 200 juta anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang berisiko tidak mencapai potensi penuh pembangunan mereka karena menderita konsekuensi negatif dari kemiskinan, kekurangan gizi, dan kesempatan belajar yang tidak memadai (Lancet 2007).

Mengontrol sekolah

Kata mengontrol sebaiknya berlaku bagi semua pemangku kepentingan. Orangtua dalam hal ini tidak boleh dibiarkan asing dan minim informasi tentang apa yang terjadi di sekolah. Peta informasi keseharian sekolah setidaknya harus sampai kepada orangtua setiap seminggu sekali. Dosa besarlah bagi setiap sekolah yang hanya memberikan laporan kemajuan anak hanya melalui capaian akademik semata, tetapi lalai dalam mengelola informasi yang terjadi sehari-hari di sekolah. Tuesday folder yang berisi informasi harian aktivitas anak di sekolah merupakan salah satu contoh eksemplar yang bisa digunakan sekolah untuk mengontrol perilaku anakanak mereka.

Saya kira setiap kepala sekolah, guru, orangtua, dan para pendidik harus membaca memoar Jodee Blanco, Please Stop Laughing at Me... One Womans's Inspirational Story yang diterbitkan oleh Penerbit Alvabet menjadi `Bencana Sekolah! Memoar Mengejutkan, Menggugah, dan Menginspirasi tentang Bullying’ (2013).

Dalam pengakuan Jodee, “Saya membiarkan para siswa tahu bahwa bullying bisa merusak kita selamanya, dan bahwa bullying bukan cuma berarti hal-hal keji yang kita lakukan, melainkan juga hal-hal baik yang tidak kita lakukan, seperti membiarkan seseorang duduk sendirian saat makan siang, selalu memilih terakhir orang yang sama ketika membagi-bagi tim di kelas, atau berbicara tentang seseorang alih-alih berbicara dengan mereka.” Kita harus terus meyakinkan para orangtua, sekolah, guru, siswa, pegawai, dan para pendidik bahwa kekerasan bukan pilihan utama untuk men jalankan proses pendidikan yang baik dan benar.

Setiap orang belajar melalui sebuah interaksi yang intens dengan sesama. Selain itu, karena kelebihannya sebagai makhluk yang berpikir, manusia juga belajar melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Hasil dari proses belajar melalui interaksi ini tentu saja sangatlah beragam karena mencakup hampir semua domain pendidikan yang melingkupi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Melalui serangkaian interaksi, proses belajar pada akhirnya dapat membawa seseorang bagaimana harus bertindak dan bersikap berdasarkan pemahaman, keterampilan, dan perasaannya. (lihat Kirsi Tirri and Elina Kuusisto: Interaction in Educational Domains, 2013).

Akumulasi kegagalan

Pertanyaan menarik sesungguhnya datang dari efek proses belajar-
mengajar yang dapat berujung pada perilaku kekerasan. Kekerasan yang terjadi dengan intensitas tinggi yang memuncak dengan tragedi Yuyun patut diuji melalui serangkaian analisis, baik secara sosiologis maupun pedagogis.

Secara sosial, jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat kita itu merupakan akumulasi dari gagalnya lembaga pendidikan kita dalam melakukan transfer pendidikan secara damai dan berkeadilan, sedangkan secara pedagogis, jangan-jangan sekolah-sekolah kita memang tak memiliki kendali operasional resolusi konfl ik yang dapat melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola konflik di sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif.

Selain itu, ada satu cara lagi yang sangat efektif dalam konteks mengontrol sekolah, yaitu proses mediasi melalui mendengar. Bagi anak, jika orangtua, guru, dan kepala sekolah mau menjadi pendengar yang baik pasti proses belajar-mengajar akan menumbuhkan karakter anak yang sehat dan positif. Mendengar ialah salah satu kunci pokok dari sebuah proses komunikasi efektif dalam proses belajar antara anak dan orangtua serta anak dan guru mereka.

Keterampilan mendengar tentu sangat dipengaruhi tingkat pendidikan, kematangan, dan kedewasaan seseorang, terutama juga dari seberapa sering seseorang berinte raksi dengan orang lain. Dalam konteks pendidikan, tentulah orangtua dan guru yang paling banyak berinteraksi dengan anak-anak mereka. Karena itu, seharusnyalah guru dan para orangtua memiliki kemampuan mendengar lebih baik dari siapa pun.

Patut juga dicatat, bahwa mendengar, termasuk di dalamnya melalui proses mendongeng, sesungguhnya merupakan keterampilan pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia. Di dalam ajaran Islam, misalnya jelas disebutkan bahwa ketika seorang jabang bayi terlahir di muka bumi, keterampilan pertama yang diberikan Tuhan ialah mendengar (sam’a), baru disusul keterampilan melihat (abshar), dan mengelola pengetahuan dengan hati (af’idah). Bagi saya, ketiga keterampilan ini merupakan strategi belajar yang diinginkan Tuhan secara tidak langsung kepada orangtua dan guru, agar ketika melakukan proses belajar mengajar, mendengar terlebih dahulu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar