Kiat Paket Deregulasi Efektif
Mari Pangestu ;
Profesor Ekonomi Internasional,
FEB-UI
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Sejak September 2015
ada gerakan untuk melakukan deregulasi dan reformasi oleh Pemerintah
Indonesia. Ada pendapat bahwa sejumlah paket deregulasi yang diumumkan lebih
sebagai suatu daftar yang perlu dituntaskan (wish list) dan tidak dalam suatu kerangka reformasi yang jelas,
dan bahwa banyak deregulasi yang diumumkan belum dilaksanakan.
Bagaimanapun, komitmen
Presiden Joko Widodo dan pemerintah perlu diapresiasi. Sejak September 2015
ada perubahan signifikan yang dirasakan dalam rangka respons pemerintah
terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan dunia. Sesuai
pengumuman September 2015, arah kebijakan pemerintah terpusat kepada tiga
hal: membangun ekonomi makro yang kondusif, menggerakkan ekonomi nasional,
dan melindungi masyarakat berpendapatan rendah.
Paket pertama
diluncurkan September 2015, dan sampai saat ini sudah ada 12 paket deregulasi
diumumkan. Dalam satu kesempatan pada pertemuan masyarakat di Washington DC,
AS, Oktober 2015, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa beliau siap melakukan
100 paket deregulasi jika diperlukan untuk menggerakkan ekonomi nasional.
Ditambah lagi, janji Presiden baru-baru ini untuk menghapus 3.000 peraturan
daerah (perda) yang mempersulit usaha bisa dimulai dan beroperasi.
Lima kiat
Kita tak meragukan
keseriusan pemerintah untuk melakukan deregulasi, debirokratisasi, dan
pemberian insentif fiskal dalam menggerakkan ekonomi nasional, dan kita semua
berharap semua ini dapat membuahkan peningkatan investasi, pertumbuhan
ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan bagi rakyat. Bagaimana
memastikan itu? Dari segi pengalaman Indonesia ataupun negara lain,
keberhasilan deregulasi dan reformasi paling tidak terkait lima kiat penting.
Pertama dan paling
fundamental tentu adalah kejelasan mengenai tujuan dari deregulasi yang
dijalankan. Saat ini, fokus paket lebih kepada deregulasi dan kepada
penyederhanaan, debirokratisasi dan perbaikan pelayanan untuk memperoleh
berbagai macam izin. Tentu ini positif untuk iklim usaha, tetapi ini bukan
hal baru dan lanjutan untuk menuntaskan penerapan pelayanan terpadu satu
pintu.
Target juga terkait
peningkatan peringkat Indonesia dalam Costs
of Doing Business Bank Dunia, dari ke-114 dari 182 negara saat ini (30 di
bawah Vietnam!). Perkembangan positif lain adalah kepastian untuk peningkatan
UMR dengan PP yang mengatur kenaikan UMR yang dikaitkan dengan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, serta keberpihakan kepada UMKM melalui kemudahan
perizinan dan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR).
Namun, ada perbedaan
antara deregulasi dan debirokratisasi dan reformasi. Alangkah lebih baik jika
paket-paket perubahan kebijakan ekonomi berada dalam kerangka reformasi yang
lebih luas, terarah, dan jangka pendek, serta jangka panjang, termasuk
mengantisipasi berbagai hal yang akan menjadi komitmen internasional
Indonesia ke depan. Reformasi berarti mengubah kebijakan secara fundamental,
misalnya untuk tenaga kerja bukan saja sekadar kepastian penetapan UMR,
melainkan juga bagaimana kaitannya kepada produktivitas dan berbagai
peraturan di UU Tenaga Kerja yang perlu diperbaiki. Reformasi juga bukan
sekadar mengurangi ekonomi biaya tinggi, melainkan juga mengubah kebijakan dan
hambatan yang menghambat peningkatan produktivitas dan inovasi ke depan.
Indonesia sudah
menjadi anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sedang dalam negosiasi untuk
East Asia RCEP (Regional Comprehensive
Economic Partnership), secara bilateral dengan Uni Eropa dan Australia
serta menyiapkan diri untuk Trans Pacific Partnership. Pertanyaan utama yang
harus dijawab adalah bukan apakah Indonesia siap atau tidak, melainkan apa
yang harus disiapkan dan perlu waktu berapa lama. Jika konteks ini digunakan
untuk merancang reformasi yang ingin dilakukan tanpa melupakan kepentingan
nasional, reformasi dalam negeri dapat disiapkan sehingga juga menunjang
komitmen internasional dan membuat daya saing Indonesia sebanding dengan
negara pesaingnya. Yang paling dekat di depan mata, antara lain, Blueprint
MEA 2016-2025 akan disepakati tahun ini. Cetak Biru tersebut bisa digunakan
sebagai kerangka besar reformasi dalam negeri dan hal tersebut juga akan
membantu kesiapan dalam negosiasi internasional yang lain.
Hambatan yang akan
masuk cetak biru MEA antara lain terkait berbagai regulasi/peraturan yang
masuk dalam kategori hambatan nontarif di bidang perdagangan, industri,
pertanian, dan investasi yang perlu dibuat transparan dan dibenahi. Sementara
untuk investasi tidak saja melakukan review terhadap daftar negatif investasi
(DNI), tetapi bagaimana DNI bagian dari instrumen untuk menarik investasi
yang akan meningkatkan peran Indonesia dalam proses yang bernilai tambah dan
di mata rantai produksi barang dan jasa-jasa. Terkait investasi, berbagai
peraturan dan UU yang tak konsisten dengan investasi serta kepastian posisi
Indonesia terhadap penyelesaian sengketa antara penanaman modal asing dan
pemerintah, juga bagian dari kebijakan yang perlu ada reformasi.
Kedua adalah peraturan
implementasi dan kesiapan lembaga dan SDM. Dari sejumlah paket deregulasi,
ada sejumlah peraturan implementasi yang belum diterbitkan, seperti Perpres
Daftar Negatif Investasi. Di samping itu, apakah SDM dan lembaga dan instansi
pemerintah yang terkait sudah disiapkan untuk dapat memberi pelayanan dengan
keberadaan SOP (standard operating
procedure) dan SLA (service level
agreement) seperti tercantum dalam penjelasan paket deregulasi? Memang
ada argumentasi kalau menunggu semua siap baru dilaksanakan, maka proses dan
kemajuan akan lamban. Jadi, lebih baik diumumkan walaupun belum seratus
persen siap agar ada timeline dan deadline yang harus dipenuhi. Secara
prinsip, pendapat kedua sah-sah saja asalkan memang dilaksanakan dalam waktu
yang tidak terlalu lama karena kalau tidak kredibilitas dari paket-paket ini
menjadi dipertanyakan. Untuk mencegah hal tersebut, kiat-kiat berikut menjadi
penting.
Ketiga, monitoring dan
evaluasi yang dilakukan secara independen dan obyektif. Hal ini bisa
dilakukan di dalam pemerintah dengan membuat tim monitoring dengan kejelasan
siapa yang harus melakukan apa dan kapan. Banyak cara untuk melaksanakan ini
dan umumnya dibentuk suatu tim nasional yang diketuai Presiden dan ketua
harian Menko Perekonomian. Apa pun nama dari tim itu, berdasarkan pengalaman,
yang penting adalah tim itu dilengkapi dengan sekretariat atau tim kerja yang
melakukan monitoring penuh waktu secara profesional dan mempunyai otoritas
untuk melacak kepada instansi-instansi terkait; tim melakukan pelaporan
secara berkala kepada pimpinan tertinggi, yaitu Presiden atau yang ditunjuk
dan didukung oleh Presiden sebagai koordinator; dan kemitraan dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk mengumumkan hasil monitoring
dan evaluasi secara transparan dan berkala.
Keempat, penilaian
kepuasan stakeholders atas implementasi deregulasi dan perubahan kebijakan di
lapangan. Seremoni pengumuman paket-paket deregulasi yang kelihatan banyak
bukan tujuan final pemerintah. Tujuan final seharusnya adalah bahwa deregulasi
dan reformasi kebijakan yang dilakukan efektif mencapai target dalam jangka
pendek dan menengah.
Mengukur efektivitas
Ada dua cara utama
menilai apakah kebijakan yang diambil tepat. Pertama dengan bermitra dengan
para stakeholder yang dapat berinteraksi dan memberi masukan secara berkala
sehingga jika ada kebijakan yang kurang tepat masih dapat dilakukan revisi.
Tentunya pihak pemerintah harus mempunyai cara yang obyektif untuk menilai
keabsahan dari masukan mitra. Cara kedua, melakukan survei independen untuk
menilai apakah stakeholders telah memperoleh pelayanan yang sesuai. Beberapa
tahun lalu, beberapa lembaga, seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan,
dan BKPM, menggunakan lembaga independen dan kredibel untuk melakukan survei
kepuasan stakeholders, dan atas survei itu, berbagai perubahan dan perbaikan
dilakukan.
Kelima, pengalaman
melaksanakan deregulasi dan reformasi yang efektif terpulang kepada adanya
champion atau penjuru yang ditugaskan oleh pemerintah sebagai pendorong
proses reformasi itu. Bisa di tingkat menteri atau beberapa menteri, dan
reformasi dapat dilakukan secara bertahap mengingat kompleksitas Indonesia
sebagai negara serta proses koordinasi yang tidak selalu mudah, termasuk
antar- kementerian dan antarpusat dan daerah. Misalnya, saat reformasi awal
di Kementerian Keuangan untuk pajak dimulai dengan pelayanan pembayar pajak
besar sebelum secara bertahap dilaksanakan untuk semua. Atau saat awal
penerapan Indonesia National Single Window, dimulai dengan beberapa instansi
yang SOP- nya diseragamkan dan dibuat dalam suatu sistem dan dijalankan di
Batam dan Tanjung Priok, sebelum diperluas untuk semua instansi dan pintu
masuk lain. Dalam konteks sekarang, izin awal investasi dalam 3 jam untuk
investasi di atas Rp 100 miliar dan di kawasan industri diharapkan dapat juga
diperluas untuk semua.
Kami optimistis bahwa
tekad dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan daya saing Indonesia dan
menggerakkan ekonomi nasional sangat serius. Tinggal bagaimana melakukannya
dengan lebih efektif dalam kerangka reformasi yang jelas dan terkait dengan
strategi pembangunan ekonomi nasional serta komitmen internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar