Hentikan Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Bosowa, Makassar
|
KORAN SINDO, 07 Mei
2016
Kekerasan terhadap
perempuan dan anak di negeri ini termasuk teror baru dan sangat
mengkhawatirkan. Data Komisi Nasional Antikekerasan Perempuan pada 2015
menyebut setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan
seksual di Indonesia (KORAN SINDO, 4/5) dan hampir setengahnya masih
tergolong anak dalam undang-undang perlindungan anak.
Komnas Perempuan juga
mengidentifikasi kekerasan seksual antara lain perkosaan dan percobaan
perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual,
perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual, prostitusi paksa,
perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan
aborsi, dan sebagainya.
Hampir semua
berorientasi pada seksual yang diakukan dengan kekerasan. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) juga menengarai pencegahan kekerasan dalam rumah tangga
belum memadai. Indikasi itu mendekati realitas karena banyak pelecehan
seksual yang terhadap perempuan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
Salah satu bentuk
kekerasan seksual yang paling keji bagi perempuan (anak perempuan) adalah
pemerkosaan yang kemudian dianiaya, bahkan dibunuh untuk menghilangkan jejak
karena antara pelaku dan korban saling kenal. Ingin mengaburkan korban,
tetapi akhirnya polisi mampu mengungkapnya meski butuh waktu lama.
Lindungi Mereka
Kekerasan keji
terhadap seorang anak perempuan melanda seorang siswi SMP di Bengkulu. Ia
diperkosa dan dianiaya sampai meninggal dunia oleh 14 laki-laki mabuk sekitar
April lalu. Ada juga dosen perempuan di Universitas Muhammadiyah, Sumatra
Utara justru ditikam sampai meninggal dunia oleh mahasiswanya sendiri tepat
pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016.
Kekerasan terhadap
perempuan dua bulan terakhir juga terjadi di Magelang dengan cara ditembak
menggunakan senapan angin. Bahkan sudah ada 13 korban dengan sasaran
perempuan, barulah polisi menangkap pelakunya. Ada juga perempuan diiris
pahanya dengan silet saat mengendarai sepeda motor di Yogyakarta, dan
lagilagi dilakukan oleh seorang lelaki hanya karena persoalan sepele.
Ia merasa terhalang
melajukan motornya oleh korban. Motif pelaku melakukan teror yang amat sepele
itu bukan tidak mungkin akan terus terjadi sebagai bentuk teror baru. Wajar
jika muncul tudingan publik bahwa negara (pemerintah) belum mampu melindungi
keamanan dan keselamatannya rakyat.
Negara belum mampu
melakukan upaya pencegahan yang komprehensif, selain penindakan. Itu pun
dilakukan setelah ada kejadian yang meresahkan masyarakat. Negara dan aparat
hukumnya tak ubahnya ”pemadam kebakaran”, nanti ada kejadian barulah bergerak
dan menggalang opini bahwa kekerasan seksual bagi perempuan dan anak
merupakan musuh bersama.
Ramai-ramailah
mengecam tindakan itu, tetapi akhirnya dilupakan setelah ada peristiwa baru
yang menyusul. Kebiasaan yang tidak bijak itu seharusnya ditinggalkan karena
tidak berefek pada penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jikapun
dibawa ke ruang pengadilan, sanksi yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan
efek jera atau membuat takut bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Seharusnya negara
hadir dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat dengan memberikan
perlindungan dan rasa aman. Terutama pada perempuan dan anak yang hampir
setiap hari menjadi korban. Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan payung hukum
yang intinya memberikan perlindungan secara komprehensif bagi korban
kekerasan seksual.
Saat ini RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual sudah di DPR yang perlu segera disahkan menjadi
undangundang. Kita ingin UU Penghapusan Kekerasan Seksual memberikan pesan penting
bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian serius yang
harus segera dihentikan.
RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai arah dan kebijakan strategi,
yaitu memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak dari berbagai tindak
kekerasan. Gerakan nasional perlindungan perempuan dan anak, termasuk
pengawasan pelaksanaan penegakan hukum, harus menjadi prioritas. Bukan hanya
bergerak atau secara bergelombang melakukan kecaman setelah jatuh korban.
Kebijakan Afirmatif
Berdasarkan pengamatan
saya, aksi kekerasan itu telah membuat perempuan dan anak yang giat
beraktivitas di luar rumah berada dalam bayang-bayang teror. Mereka perlu
diberi perlindungan yang tidak biasabiasa. Misalnya, sekadar menangkap pelaku
dan membawanya ke ruang sidang pengadilan untuk dijatuhi pidana.
Dalam kondisi yang
mengkhawatirkan saat ini, penyelesaian di depan pengadilan tidak akan membawa
perbaikan yang signifikan. Apalagi, pelaku yang umumnya masih tergolong anak
sehingga proses peradilannya harus mengikuti UU Nomor 11/ 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak).
Penyidik, penuntut
umum, dan hakimpada setiaptahappemeriksaan wajib melakukan upaya ”diversi”,
yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana untuk mencapai perdamaian antara korban dan
anak sebagai pelaku. Tetapi, penggunaan diversi dalam Pasal 7 ayat (2) UU
Peradilan Anak hanya digunakan pada anak yang melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana di bawah tujuh tahun penjara, dan bukan pengulangan tindak
pidana.
Boleh jadi ini juga
cukup berpengaruh sehingga tidak mampu menimbulkan efek jera. Maka itu, wajar
jika pemerintah saat ini merencanakan perppu tentang pengebirian bagi pelaku
seksual anak yang dilakukan secara keji. Pelaku yang tergolong anak atau belum
berusia 18 tahun yang pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak perempuan
dapat dijatuhi ”penjara” atau dikenakan ”tindakan”.
Pasal 69 ayat (2) UU
Peradilan Anak menegaskan bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat
dikenakan ”tindakan”, yaitu dikembalikan kepada orang tua/walinya, wajib
mengikuti pendidikan atau pelatihan tertentu yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Selalu digaungkan bahwa ”perempuan itu tiang negara”, harus ada
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki (emansipasi).
Dasar itulah
sebetulnya yang seyogianya dipedomani negara dalam mengapresiasi hak-hak
perempuan dan anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menegaskan: ”setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Di pundak anak-anak
itulah masa depan negeri ini dipertaruhkan. Kita tidak boleh mempertontonkan,
apalagi membiarkan anak-anak perempuan berada dalam ancaman teror kekerasan
fisik dan seksual. Apalagi menjadikan mereka sebagai korban dari kekejian
pelaku yang membuat mereka trauma secara psikologis, cacatfisik,
bahkanmeninggaldunia.
Kebijakan”afirmatif”
terhadap perempuan dan anak harus diberikan sebagai wujud dari pemenuhan hak
konstitusional mereka yang harus dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah tanpa
reserve. Negeri ini punya kementerian yang berfungsi memberdayakan perempuan
dan melindungi anak.
Malah warga masyarakat
juga punya tanggung jawab melindungi dan mencegah aksi kekerasan seksual bagi
perempuan dan anak. Jika semuanya bersatu dalam satu langkah secara sinergis,
saya yakin perang terhadap teror seksual dapat segera dihentikan.
Maka itu, negara harus
tetap berada di garda paling depan sebab negara diberi amanah membuat hukum
melalui kebijakan afirmatif bagi perempuan dan anak, sekaligus bertindak
tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar