Rabu, 11 Mei 2016

Hentikan Kekerasan pada Perempuan dan Anak

Hentikan Kekerasan pada Perempuan dan Anak

Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
                                                    KORAN SINDO, 07 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekerasan terhadap perempuan dan anak di negeri ini termasuk teror baru dan sangat mengkhawatirkan. Data Komisi Nasional Antikekerasan Perempuan pada 2015 menyebut setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia (KORAN SINDO, 4/5) dan hampir setengahnya masih tergolong anak dalam undang-undang perlindungan anak.

Komnas Perempuan juga mengidentifikasi kekerasan seksual antara lain perkosaan dan percobaan perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, dan sebagainya.

Hampir semua berorientasi pada seksual yang diakukan dengan kekerasan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menengarai pencegahan kekerasan dalam rumah tangga belum memadai. Indikasi itu mendekati realitas karena banyak pelecehan seksual yang terhadap perempuan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.

Salah satu bentuk kekerasan seksual yang paling keji bagi perempuan (anak perempuan) adalah pemerkosaan yang kemudian dianiaya, bahkan dibunuh untuk menghilangkan jejak karena antara pelaku dan korban saling kenal. Ingin mengaburkan korban, tetapi akhirnya polisi mampu mengungkapnya meski butuh waktu lama.

Lindungi Mereka

Kekerasan keji terhadap seorang anak perempuan melanda seorang siswi SMP di Bengkulu. Ia diperkosa dan dianiaya sampai meninggal dunia oleh 14 laki-laki mabuk sekitar April lalu. Ada juga dosen perempuan di Universitas Muhammadiyah, Sumatra Utara justru ditikam sampai meninggal dunia oleh mahasiswanya sendiri tepat pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016.

Kekerasan terhadap perempuan dua bulan terakhir juga terjadi di Magelang dengan cara ditembak menggunakan senapan angin. Bahkan sudah ada 13 korban dengan sasaran perempuan, barulah polisi menangkap pelakunya. Ada juga perempuan diiris pahanya dengan silet saat mengendarai sepeda motor di Yogyakarta, dan lagilagi dilakukan oleh seorang lelaki hanya karena persoalan sepele.

Ia merasa terhalang melajukan motornya oleh korban. Motif pelaku melakukan teror yang amat sepele itu bukan tidak mungkin akan terus terjadi sebagai bentuk teror baru. Wajar jika muncul tudingan publik bahwa negara (pemerintah) belum mampu melindungi keamanan dan keselamatannya rakyat.

Negara belum mampu melakukan upaya pencegahan yang komprehensif, selain penindakan. Itu pun dilakukan setelah ada kejadian yang meresahkan masyarakat. Negara dan aparat hukumnya tak ubahnya ”pemadam kebakaran”, nanti ada kejadian barulah bergerak dan menggalang opini bahwa kekerasan seksual bagi perempuan dan anak merupakan musuh bersama.

Ramai-ramailah mengecam tindakan itu, tetapi akhirnya dilupakan setelah ada peristiwa baru yang menyusul. Kebiasaan yang tidak bijak itu seharusnya ditinggalkan karena tidak berefek pada penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jikapun dibawa ke ruang pengadilan, sanksi yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera atau membuat takut bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama.

Seharusnya negara hadir dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan rasa aman. Terutama pada perempuan dan anak yang hampir setiap hari menjadi korban. Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan payung hukum yang intinya memberikan perlindungan secara komprehensif bagi korban kekerasan seksual.

Saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah di DPR yang perlu segera disahkan menjadi undangundang. Kita ingin UU Penghapusan Kekerasan Seksual memberikan pesan penting bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian serius yang harus segera dihentikan.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai arah dan kebijakan strategi, yaitu memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan. Gerakan nasional perlindungan perempuan dan anak, termasuk pengawasan pelaksanaan penegakan hukum, harus menjadi prioritas. Bukan hanya bergerak atau secara bergelombang melakukan kecaman setelah jatuh korban.

Kebijakan Afirmatif

Berdasarkan pengamatan saya, aksi kekerasan itu telah membuat perempuan dan anak yang giat beraktivitas di luar rumah berada dalam bayang-bayang teror. Mereka perlu diberi perlindungan yang tidak biasabiasa. Misalnya, sekadar menangkap pelaku dan membawanya ke ruang sidang pengadilan untuk dijatuhi pidana.

Dalam kondisi yang mengkhawatirkan saat ini, penyelesaian di depan pengadilan tidak akan membawa perbaikan yang signifikan. Apalagi, pelaku yang umumnya masih tergolong anak sehingga proses peradilannya harus mengikuti UU Nomor 11/ 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak).

Penyidik, penuntut umum, dan hakimpada setiaptahappemeriksaan wajib melakukan upaya ”diversi”, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak sebagai pelaku. Tetapi, penggunaan diversi dalam Pasal 7 ayat (2) UU Peradilan Anak hanya digunakan pada anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah tujuh tahun penjara, dan bukan pengulangan tindak pidana.

Boleh jadi ini juga cukup berpengaruh sehingga tidak mampu menimbulkan efek jera. Maka itu, wajar jika pemerintah saat ini merencanakan perppu tentang pengebirian bagi pelaku seksual anak yang dilakukan secara keji. Pelaku yang tergolong anak atau belum berusia 18 tahun yang pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak perempuan dapat dijatuhi ”penjara” atau dikenakan ”tindakan”.

Pasal 69 ayat (2) UU Peradilan Anak menegaskan bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenakan ”tindakan”, yaitu dikembalikan kepada orang tua/walinya, wajib mengikuti pendidikan atau pelatihan tertentu yang dilaksanakan oleh pemerintah. Selalu digaungkan bahwa ”perempuan itu tiang negara”, harus ada persamaan hak antara perempuan dan laki-laki (emansipasi).

Dasar itulah sebetulnya yang seyogianya dipedomani negara dalam mengapresiasi hak-hak perempuan dan anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menegaskan: ”setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Di pundak anak-anak itulah masa depan negeri ini dipertaruhkan. Kita tidak boleh mempertontonkan, apalagi membiarkan anak-anak perempuan berada dalam ancaman teror kekerasan fisik dan seksual. Apalagi menjadikan mereka sebagai korban dari kekejian pelaku yang membuat mereka trauma secara psikologis, cacatfisik, bahkanmeninggaldunia.

Kebijakan”afirmatif” terhadap perempuan dan anak harus diberikan sebagai wujud dari pemenuhan hak konstitusional mereka yang harus dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah tanpa reserve. Negeri ini punya kementerian yang berfungsi memberdayakan perempuan dan melindungi anak.

Malah warga masyarakat juga punya tanggung jawab melindungi dan mencegah aksi kekerasan seksual bagi perempuan dan anak. Jika semuanya bersatu dalam satu langkah secara sinergis, saya yakin perang terhadap teror seksual dapat segera dihentikan.

Maka itu, negara harus tetap berada di garda paling depan sebab negara diberi amanah membuat hukum melalui kebijakan afirmatif bagi perempuan dan anak, sekaligus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar