Gerakan Tutup Mulut
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 08 Mei
2016
Gerakan Tutup Mulut
(GTM) yang biasa kita kenal adalah aksi bersama oleh satu kelompok tertentu
untuk tidak mau bicara tentang suatu hal tertentu oleh karena alasan
tertentu. Misalnya, penduduk yang tinggal di pegunungan Poso tidak akan mau
mengaku kalau ditanya oleh petugas keamanan di mana keberadaan kelompok
Santoso. Alasannya, kalau dia dianggap tidak mau kerja sama dengan petugas,
paling-paling dia dibentak atau yang paling sial dimasukkan sel. Tetapi kalau
dia mengaku pada petugas dan diketahui oleh kelompok Santoso, dia bisa
disembelih seperti kambing kurban di musim Idul Adha.
Tetapi saya bukan mau
ngomongin GTM model itu. Juga bukan GTM para anggota ISTI (Ikatan Suami Takut
Istri) yang tidak mau bicara sedikit pun tentang selingkuhannya, walaupun
istrinya mengancam mau pulang ke rumah orang tuanya. Yang mau saya bicarakan
adalah kebiasaan baru wanita Indonesia, yang banyak saya lihat di televisi
dan juga di tempat umum mana saja yang suka menutup mulutnya ketika tertawa.
GTM perempuan ini baru
saya lihat akhir-akhir ini saja, mungkin setahun terakhir ini. Sebelumnya,
sejak saya masih anak-anak, belum pernah saya lihat perempuan-perempuan
Indonesia menutup mulutnya ketika tertawa. Paling-paling demi sopan santun,
wanita Jawa hanya diajarkan supaya tidak tertawa keras-keras atau
lebar-lebar, karena wanita Jawa perlu menjaga marwahnya dengan cara
senantiasa menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang halus (bukan ”makhluk
halus” loh ) dan berbudi pekerti lembut (tetapi bukan lelembut ), tetapi
tidak perlu menutup mulut.
GTM yang saya biasa
lihat sebelumnya adalah di siaran-siaran TV Jepang, atau ada berita tentang
Jepang yang ada wanitanya tertawa, atau kalau ada wanita Jepang yang
dihadirkan di TV nasional. Saya perhatikan kalau mereka tertawa, selalu
tangan mereka menutupi mulut, seakan-akan malu kalau terlihat giginya yang
indah itu. Saya rasa ini aneh, karena apa yang salah dengan gigi yang indah?
Tapi ya sudahlah, namanya juga adat, atau budaya. Kata pepatah: ”Lain lubuk,
lain ikannya; lain ladang lain belalang; lain kandang lain ayamnya”.
Tetapi sekarang
kebiasaan GTM ini menular ke tanah Jawa, termasuk Jakarta. Artisartis cantik
selalu menutupi mulutnya kalau tertawa. Maka di acara-acara komedi yang
melibatkan artis cantik, si artis itu selalu menutup mulut mereka setiap kali
tertawa, padahal tertawanya sering sekali karena mana bisa orang menahan tawa
ketika melihat ulah para pelawak yang memang disengaja untuk memancing tawa.
Latah GTM yang ditiru
artis-artis Indonesia dan kemudian dicontoh oleh wanita awam, supaya
kelihatan seperti artis selebritas, menunjukkan bahwa orang Indonesia memang
cepat sekali meniru. Dalam hal lain harus kita akui bahwa grup band ABG cowok
dan cewek adalah copy paste dari bandband K-pop (Korean Pop ) yang tidak
kalah dahsyatnya ketika ditiru oleh orang Indonesia.
Bahkan bukan hanya
musik dan koreografinya yang ditiru, melainkan juga busananya, bahkan warna
kulit. Rambut lurus dan raut wajah ingin juga ditiru. Maka larislah
salon-salon tukang catok rambut, dokter-dokter kulit dan ahli bedah kosmetik
untuk memenuhi selera para Tuti (Tukang Tiru) itu. Tetapi sebetulnya kebiasaan
suka meniru itu bukan kebiasaan bangsa Indonesia saja.
Semasa saya masih SMP,
pada tahun 1950-an, Indonesia kebanjiran barang-barang dari Jepang, seperti
kamera dan jam tangan. Barang-barang itu tertulis made in Jepang, tetapi
mengambil merek terkenal dari Jerman yang sudah sangat ngetop, seperti kamera
merek Agfa, Ricoh, Leica, atau Zeiss (mudah-mudahan saya nggak mencampurkan
dengan buatan Amerika), atau jam-jam tangan merek Timex dan Junghans
(mudah-mudahan benar merek-merek itu sudah beredar sejak 1950-an).
Merek dan tampilan
kamera serta jam tangan benar-benar persis sama, tetapi kualitasnya jauuuh
lebih rendah.
Pokoknya kalau membeli
barang-barang made in Japan ketika itu, orang sudah tahu bahwa benda itu
hanya buat gaya-gayaan sebentar, sesudah itu... rusak. Tetapi sekarang?
Barang-barang made in Japan jenis apa pun (mobil, elektronik dll) paling
dicari di seluruh dunia. Bahkan, Korea pun adalah bangsa peniru.
Dalam bidang telepon
genggam, sekarang Samsung sudah jauh mengalahkan Nokia yang bikinan
Finlandia. Padahal awalnya, ketika orang Indonesia belum mengenal Samsung
sama sekali, Samsung hanya meniru Nokia. Kesimpulannya, orang Jepang dan
Korea memang peniru ulung, tetapi mereka meniru, membuat dan memproduksi
produk, dan berusaha lebih baik dan lebih baik lagi dari produk yang
dikeluarkan oleh negara aslinya. Adapun orang Indonesia hanya mampu meniru
gaya dan perilaku saja.
Setiap keluar
smartphone model terbaru, sebagian besar orang Indonesia pasti membeli untuk
bermain Instagram, WhatsApp, Facebook dsb. Ke mana HP yang lama? Dilungsur
saja ke adik atau temannya. Kita tidak pernah berpikir bagaimana membuat
fitures baru yang bisa lebih unggul dari fitures yang lama.
Memang sekarang sudah
mulai ada orang-orang Indonesia asli yang sudah bisa mulai menggunakan akal
sehatnya untuk menciptakan fitures-fitures yang khas Indonesia. Namun, jumlah
mereka masih terlalu sedikit. Kita memerlukan sebuah BANGSA Indonesia yang
kreatif, bukan hanya beberapa orang yang kreatif, sementara bangsa itu
sendiri lebih senang meniru GTM buat gaya-gayaan biar dikira selebritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar