Jumat, 13 Mei 2016

Gawat Darurat Kekerasan di Sekolah

Gawat Darurat Kekerasan di Sekolah

Retno Listyarti ;   Praktisi Pendidikan;  Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia
                                                         KOMPAS, 12 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016, kita dikejutkan dua berita besar terkait kekerasan pada anak. Pertama, kasus tewasnya Yuyun, siswi SMP berusia 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh 14 pemuda di Rejang Lebong, Bengkulu. Dua di antara pelaku adalah teman sekolah korban. Kedua, kasus video perundungan (bullying) siswa senior terhadap siswa yunior SMAN 3 Jakarta. Korban tidak hanya ”dimaki”, tetapi juga ”dipaksa” merokok.

Kedua kasus tersebut menambah panjang daftar kekerasan pada anak. Meski tidak menimbulkan korban jiwa sekalipun, setiap kasus kekerasan pasti menimbulkan traumatik bagi anak. Meski tidak mengalami kekerasan fisik, tetapi perundungan berdampak sangat berbahaya bagi perkembangan anak.

Tak lagi jadi ”taman”

Berbagai kasus perundungan yang terjadi di sekolah membuktikan sekolah tidak lagi jadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Plan International dan International Center for Research on Women pada 2014, yang mengungkapkan bahwa 84 persen siswa atau 7 dari 10 siswa di Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah, di mana 43 persen di antaranya tak melakukan apa pun saat melihat tindak kekerasan di sekolah.

Kisah tewasnya Ringgo, siswa SDN 09 Makassar, Jakarta Timur, 2014, jadi contoh bahwa sekolah tak lagi aman bagi anak. Penganiayaan pada Ringgo oleh kakak kelasnya terjadi di kelas pada jam istirahat dan disaksikan beberapa teman kelasnya. Namun, tidak ada siswa yang berani mencegah, bahkan mereka takut melaporkan ke gurunya.

Setahun kemudian, terjadi kembali kasus siswa SD tewas karena kekerasan fisik yang dilakukan teman sekelasnya. Kali ini menimpa siswa SDN 07 Pagi Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan. Peristiwa itu terjadi pada saat sedang berlangsung lomba menggambar dan mewarnai di sekolah tersebut. Sulit dibayangkan bahwa hal ini terjadi di lingkungan sekolah, pada jam sekolah dan pada jenjang SD.

Di luar kekerasan yang bersifat fisik, anak-anak juga berbagi tentang penggunaan kata-kata yang mempermalukan, bahasa kekerasan, dan bentuk-bentuk emosional lain yang menjadikan sekolah tak lagi aman dan nyaman buat peserta didik.

Contohnya, kasus di Bekasi, korban perundungan bahkan sampai bunuh diri karena merasa tertekan dan malu karena terus-menerus diejek ”anak tukang bubur”. Guru dan wali kelas mengetahui ejekan tersebut, tetapi tidak peka untuk menghentikan sehingga korban yang secara psikis tertekan tidak merasa mendapatkan empati dari orang dewasa di lingkungan sekolahnya. Korban pun putus asa sampai kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya.

Di berbagai kasus, kekerasan jadi hal biasa, dan itu menjadi normal bagi anak-anak, di mana mereka tak melaporkan perilaku itu dan tidak menganggapnya sebagai satu kesalahan. Di Yogyakarta, misalnya, kasus kekerasan yang dialami seorang siswi oleh beberapa siswi teman sekolahnya hanya gara-gara atribut ”hello kitty” yang dipakai korban. Korban disekap dan mengalami kekerasan fisik. Para pelaku notabene semuanya perempuan. Ada dugaan, pihak sekolah tidak bisa diharapkan menyelesaikan masalah ini, sehingga orangtua korban lebih memilih melaporkan kasus tersebut ke polisi.

Kasus perundungan di sekolah tidak dapat diselesaikan dari satu sektoral saja. Namun, banyak pihak yang harus turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tak hanya guru, orangtua, dan siswa juga harus diberi pendidikan untuk menjauhi tindakan perundungan dan disadarkan bahayanya perundungan bagi perkembangan kejiwaan anak.

Orangtua dan guru harus memiliki kepekaan terhadap perubahan sikap anak yang tak seperti biasanya.Kepekaan ini penting agar dapat segera menangani pengalaman kekerasan yang menimpa anak. Jangan sampai anak-anak merasa tak memiliki orang dewasa untuk mengadu.

Kepekaan dan kemampuan mengatasi kekerasan dari para guru dan kepala sekolah harus diupayakan pemerintah pusat/daerah. Sebab, dalam berbagai kasus menunjukkan fakta bahwa banyak guru dan kepala sekolah gagap dalam menangani kekerasan di sekolah. Misalnya, cara kepala SMAN 3 Jakarta yang akan menahan ijazah siswa kelas XII pelaku perundungan sebagai bentuk hukuman adalah cara yang kurang tepat. Apa pun alasannya, menahan ijazah peserta didik tidak diperkenankan. Sanksi ini pun tidak akan memberikan efek jera.

Memutus rantai kekerasan

Tak kalah penting adalah kesungguhan birokrasi pendidikan dalam mendukung sekolah memutus mata rantai kekerasan. Sayangnya, banyak birokrasi pendidikan di daerah yang gagap, misalnya, pejabat Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang menganggap manajemen sekolah tidak bisa dibilang ”gagal” ketika perundungan terjadi di luar sekolah, meski dalam video itu para korban masih mengenakan seragam batik sekolah tersebut.

Ketentuan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 mendorong sekolah dan pemerintah daerah melakukan upaya penanggulangan terhadap tindak kekerasan. Lingkupnya mulai dari tindakan kekerasan terhadap siswa, tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, terjadi dalam kegiatan sekolah yang digelar di luar wilayah sekolah, hingga tawuran antarpelajar.

Kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama biasanya direncanakan dan kerap terjadi lebih dari sekali, meski yang ketahuan publik baru satu video karena diunggah ke Instagram. Manajemen sekolah seharusnya dapat mendeteksi indikasi yang muncul karena perundungan biasanya tak muncul spontan. Saat siswa yunior dikumpulkan, pastilah sudah ada pemberitahuan dari seniornya untuk kumpul pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan, minimal sehari sebelumnya. Ini sesungguhnya bukti kelalaian manajemen.

Anak-anak pelaku kekerasan adalah juga korban kekerasan dari senior sebelumnya. Mereka pelaku sekaligus korban. Korban dari sebuah sistem pendidikan yang tidak adil terhadap peserta didik. Sekolah adalah tempat paling subur membangun budaya, seharusnya yang disuburkan adalah budaya positif yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Kekerasan dalam bentukdan dengan alasan apa pun adalah melanggar harkat kemanusiaan. Sekolah harus jadi zona aman dan nyaman bagi peserta didik. Pendidikan seharusnya mempertajam pikiran dan menghaluskan nurani kemanusiaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar